Usaha

 photo cooltext934587768.png
Home » » DARURAT DALAM PERSPEKTIF ISLAM

DARURAT DALAM PERSPEKTIF ISLAM




Muqaddimah
Pada hakikatnya, kemunculan hukum-hukum islam itu adalah dimaksudkan untuk menjaga kemuliaan manusia dan memelihara kepentingan, baik yang bersifat khusus maupun umum. Syariat-syariat langit menentukan ada lima kebutuhan yang berisikan: Menjaga kehidupan manusia dengan mengharamkan membunuhnya, menjaga kehormatanya, menjaga akalnya, menjaga hartanya, dan menjaga agamanya.
Syariat islam adalah merupakan syariat terakhir yang membawa petunjuk bagi umat manusia. Dengan syariat itu Allah telah memberikan beberapa keistimewaan, antara lain; hal-hal yang bersifat umum, abadi dan meliputi segala bidang. Didalamnya telah diletakkan dasar-dasar hukum bagi manusia dalam memecahkan segala permasalahan.

Hakikat Darurat
Darurat secara bahasa adalah berasal dari kalimat "adh dharar" yang berarti sesuatu yang turun tanpa ada yang dapat menahannya.[1]
Makna idhtirar ialah ihtiyaj ilassyai' yaitu membutuhkan sesuatu. Dalam mu'jamul wasith disebutkan bahwa kalimat idhtiraru ilaihi bermakna seseorang sangat membutuhkan sesuatu.[2] Jadi darurah adalah sebuah kalimat yang menunjukkan atas arti kebutuhan atau kesulitan yang berlebihan.
Darurat secara istilah menurut para ulama ada beberapa pengertian diantaranya adalah[3]:
  • Darurat ialah posisi seseorang pada suatu batas dimana kalau tidak mau melanggar sesuatu yang dilarang maka bisa mati atau nyaris mati. Posisi seperti ini memperbolehkan ia melanggarkan sesuatu yang diharamkan.
  • Abu Bakar Al Jashas, "Makna darurat disini adalah ketakutan seseorang pada bahaya yang mengancam nyawanya atau sebagian anggata badannya karena ia tidak makan.
  • Menurut Ad Dardiri, "Darurat ialah menjaga diri dari kematian atau dari kesusahan yang teramat sangat.
  • Menurut sebagian ulama dari Madzhab Maliki, "Darurat ialah mengkhawatirkan diri dari dari kematian berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan.[4]
  • Menurut Asy Suyuti, "Darurat adalah posisi seseorang pada sebuah batas dimana kalau ia tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau nyaris binasa.[5]
  • Darurat adalah menjaga jiwa dari kehancuran atau posisi yang sangat darurat sekali, maka dalam keadaan seperti ini kemudaratan itu membolehkan sesuatu yang dilarang.[6]

Dalil-dalil yang menunjukkan diperbolehkannya sesuatu yang diharamkan dalam keadaan darurat
Pertama; dalil dari al quran
"Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[7]
Firman Allahl, "Sedang dia tidak menginginkannya" Artinya dalam memakannya sehingga melebihi yang dibutuhkannya. Dalam firman Allah dan tidak (pula) melampaui batas Artinya begitu seseorang mendapatkan pilihan memakan hal-hal yang diharamkan tersebut iapun memakannya.
Menurut As Sa'dit, makna firman Allahl, "sedang dia tidak menginginkannya" ialah seseorang memakan hal-hal yang diharamkan tersebut semata-mata karena memang terpaksa. Bukan malah dengan menikmati atau merasakan enaknya. Itu berarti ia menginginkannya. Adapun makna firman Allahl, "Dan tidak melampaui batas" ialah makannya hingga melampaui batas kenyang.[8]
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[9]
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".[10]
Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas.[11]

Kedua; dalil dari as sunnah
عَنْ أَبِيْ وَاقِدٍ اللَّيْشِي قَالَ, قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّا بِأَرْضٍ تُصِيْبُنَا بِهَا مَخْمَصَةٌ فَمَا يُحِلُّ لَنَا مِنَ المَيْتَةِ؟ قَالَ: اِذَا لَمْ تَصْطَبِحُوْا وَلَمْ تَعْتَبِعُوْا وَلَمْ تَحْتَفِئُوْا بَقْلاً فَشَأْنُكُمْ بِهَا
Bersumber dari abu waqid al laits ia berkata, "Aku bertanya kepada rasulullah n, "Rasulullah, kami berada disebuah daerah yang tengah dilanda bencana ke;aparan. Apakah kami halal memakan bangkai? Beliau menjawab, "Kalau memang kalian tidak menemukan makanan yang bisa kalian makan pada pagi dan sore hari dan bahkan tidak mendapatkan sayuran yang bisa kalian cabut, maka silahkan kalian makan bangkai itu.[12]

Hikmah dari diperbolehkannya sesuatu yang haram karena darurat
Adalah rahmat Allah bagi hamba-hambanya kalau Dia mensyariatkan beberapa ketentuan hukum yang dapat menerangi jalan mereka dalam urusan-urusan dunia dan akhirat. Begitu juga untuk menghilangkan kesempitan dari orang-orang mukallaf. Dan menjaga keselamatam nyawa orang yang bersangkutan.

Batasan darurat
Dalam masalah ini ada dua masalah:

Pertama, batasan darurat yang memeperbolehkan sesuatu yang diharamkan.
Disebutkan dalam catatan pinggir kitab al muqni', sesungguhnya darurat itu hanya yang berkait dengan kekhawatiran terhadap kematian saja. Demikian menurut pendapat yang shahih. Pendapat yang dikutib dari imam ahmad bin hanbal menyatakan, disebut dalam keadaan darurat kalau seseorang yakin bahwa nyawanya nyaris terancam melayang kalau sampai ia tidak mau memakan sesuatu yang haram. Ada yang berpendapat, tidak harus. Seseorang yang takut akan terjadi resiko pada dirinya saja sudah bisa dikatakan ia dalam keadaan darurat.[13]
Menurut Imam Suyuthit, "Darurat ialah posisi seseorang yang sudah berada dalam batas maksimal jika ia tidak mau mengkonsumsi sesuatu yang dilarang agama ia bisa mati atau hamper mati. Atau khawatir salah satu anggata tubuhnya bisa celaka.[14]

Kedua, ukuran yang boleh dikonsumsi orang yang sedang dalam keadaan darurat.
Tidak ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama, bahwa jika seseorang mengalami rasa lapar yang cukup lama dan terus menerus ia boleh memakan bangkai sampai kenyang. Hukum ini berlaku bagi makanan-makanan lainnya yang dilarang. Maksudnya ia memakan sekedarnya saja, tidak boleh memakannya melebihi dari kenyang.

Hukum mengkonsumsi makanan yang haram dalam keadaan darurat
Al 'Izzuddin Bin Abdissalam t mengatakan, "Misalkan seseorang terpaksa harus memakan barang yang najis ia wajib memakanya, karena resiko hilangnya nyawa jauh lebih besar daripada resiko yang diakibatkan memakan barang-barang najis.[15]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata, "Seseorang yang sedang dalam keadaan darurat wajib memakan atau meminum sesuatu yang dapat mempertahankan nyawanya. Jika ia terpaksa harus memakan bangkai atau meminum air najis lalu ia tidak mau melakukannya hingga meninggal dunia, maka ia masuk neraka.
Dan berkata lagi, "Semua barang-barang yang jelek itu diperbolehkan bagi seseorang yang sedang dalam keadaan darurat. Dalam keadaan darurat ia harus makan bangkai, darah dan daging babi. Dan dalam keadaan darurat pula ia harus meminum air sesuatu yang dapat menyegarkannya seperti air yang najis dan air kencing.
Menurut pendapat yang di unggulkan, dalam keadaan darurat seseorang wajib mengkonsumsi sesuatu yang diharamkan. Jika ia sampai menolak lalu mati maka ia berdosa, kecuali kalau ia memang tidask tahu. Soalnya ia sanggup untuk mempertahankan hidupnya denga sesuatu yang telah dihalalkan oleh Allah kepadanya. Jadi ia harus memakannya, sama seperti kalau ia punya makanan yang halal.
Menolak mengkonsumsi bangkai dan sebagainya hingga meninggal dunia sama seperti bunuh diri atau membawa pada kebinasaan, karena dalam keadaan darurat perbuatan itu telah dijamin kebolehannya oleh agama.

Kaidah-kaidah yang berkenaan tentang darurat

Pertama, الضَـــرَرُ يُـــزَالُ (kemudharatan itu harus dihilangkan).[16] Dasar kaidah ini adalah firman Allah swt,
"Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi" [Qs Al Baqarah: 11].
"Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan." [Qs Al Qashas:77]. Dan hadits nabi saw,
لاَضَرَرَ وَلاَضِرَار
"Dan membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain"[17]
Masalah-masalah hukum fikih yang tercakup dalam kaidah ini banyak, misalnya:
  1. Didalam muammalat, mengembalikan barang yang telah dibeli lantaran adanya cacat diperboehkan. Demikian pula macam-macamkhiyar dalam transaksi jual beli karena terdapat beberapa sifat yang tidak sesuai dengan yang telah disepakati.
  2. Pada bagian jinayat, agama menentukan hukumnya qishas, hudud, kafarat, menganti rugi kerusakan, mengangkat para penguasa untuk menumpas pengacau atau pemberontak dan menindak para pelaku kriminalitas dan lain-lainnya.
  3. Pada bagian munakahat, islam membolehkan perceraian yaitu didalam situasi dan kondisi kehidupan rumah tangga yang sudah tidak teratasi, agar kedua suami istri tidak mengalami penderitaan batin terus menerus.

Kedua, الـــضَرُوْرَاتُ تُبِيْحُ المَحْـــــــظُوْرَاتِ (Kemudharatan-kemudharatan itu membolehkan hal-hal yang dilarang).[18]

Ketiga, لاَحَــــرَامَ مَعَ الضَرُوْرَاتِ وَلاَ كَــــرَاهَةَ مَعَ الحَاجَةِ (Tidak ada hukum haram beserta dharurat dan hukum makruh beserta kebutuhan).[19] Dasar kaidah ini adalah firman Allah Qs Al Baqarah: 173, Al Maidah: 4.
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[20]
Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[21]

Jadi kaidah ini dapat disimpulkan, bahwa dalam keadaan sangat terpaksa, maka orang diizinkan melakukan perbuatan yang dalam keadaan biasa terlarang, karena apabila tidak demikian, mungkin akan menimbulkan suatu kemudharatan pada dirinya. Contoh: orang yang sedang mengalami kelaparan. Makanan yang ada hanya bangkai saja. Bangkai ini baginya halal dimakan. Didalam kondisi yang sama karena kehausan orang boleh minum minuman keras, sebab yang ada hanya minuman keras itu saja.

Keempat, مَا اُبِيــــــْحُ لِلضَّرُوْرَةِ يُقَــــدَّرُ بِقَدَرِهَا (Apa yang dibolehkan karena adanya kemudharatan diukur menurut kadar kemudharatan).[22]
Yang membolehkan seseorang menempuh jalan yang semula haram, itu adalah karena kondisi yang memaksa. Manakala keadaannya sudah normal, maka hukum akan kembali menurut statusnya. Pleh sebab itu wajar syara' memeberi batas didalam mempergunakan kemudahan karena darurat itu, menurut ukuran daruratnya semata-mata untuk melepaskan diri dari bahaya.
Contoh: Boleh makan bangkai hanya sekedar pelepas kelaparan saja. Tidak boleh berlebihan apalagi terus menerus. Bila sudah kenyang dan kondisi fisik telah pulih kembali, batas kehalalan habis sampai disini. Boleh mengambil rerumputan tanpa izin pemiliknya untuk memberi makan ternak peliharaan ternaknya yang sedang kelaparan, akan tetapi tidak boleh mengambil lagi untuk dijual kepada orang lain yang binatangnya sedang kelaparan juga. Boleh seorang dokter memeriksadan mengobati pasien wanita pada bagian-bagian tubuhnya yang memang sakit, tidak melebihi daripada apa yang meamang benar-benar diperlukan.

Kelima, مَا جَازَ لِعُـــذْرٍ بَــطَلَ بِزَوَالِهِ (Apa yang diizinkan karena udzur, hilang keizinan itu sebab hilangnya udzur).[23] Contoh: Tayamum tidak lagi diizinkan karena adanya air sebelum masuk waktu shalat. Izin tidak hadirnya petugas karena sakit, akan batal karena sembuhnya.

Keenam, الـــــضَّرَرُ لاَيُزَالُ بِـــــــالضَّرَرِ (Kemudharatan itu tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan).[24] Contoh: Tidak boleh bagi seorang yang sedang kelaparan mengambil makanan orang lain yang juga akan mati kelaparan apabila makannanya hilang. Demikian juga tidak boleh dokter mengobati pasien yang memerlukan tambahan darah dengan mengambil darah pasien lain, yang apabila diambil darahnya akan lebih parah sakitnya.

Ketujuh, دَرْءُ المَفَاسِدِ اَوْلَى مِنْ جَلْبِ المَصَالِحِ فَإِذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَةٌ وَمَصْلَحَةٌ قٌدِّمَ دَفْعُ المَفْسَدَةِ غاَلِبًا (Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada menarik kemaslahatan, dan apabila berlawanan antara mafsadah dan maslahah, didahulukan yang menolak mafsadah).[25]
Dasar kaidah ini adalah firman Allah swt Qs Albaqarah: 219,
y7tRqè=t«ó¡o ÇÆtã ̍ôJyø9$# ÎŽÅ£÷yJø9$#ur ( ö@è% !$yJÎgŠÏù ÖNøOÎ) ׎Î7Ÿ2
"Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". Dan sabda beliau saw,
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوْا مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ
"Apabila aku memerintah kepadamu suatu perintah, maka hendaklah kamu laksanakan perintah itu sekuatmu. Dan apabila saya melarang kepadamu dari mengerjakan sesuatu maka tinggalkanlah perbuatan itu.[26]

Kedelapan, اِذَا تَعَارَضَ مَفْسَـــدَتَانِ رُوْعِيَ اَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَــــابِ اَخَفِّهَا (Apabila dua mafsadah bertentangan, maka diperhatikan mana yang lebih besar madharatnya dengan dikerjakan yang lebih ringan madharatnya).[27]
Jadi apabila datang pada suatu ketika secara bersamaan dua mafsadah atau lebih, mana harus diteliti mana yang lebih kecil atau lebih ringan dari kedua mafsadah tersebut. Yang lebih besar mafsadahnya ditinggalkan dan dikerjakan yang lebih ringan madharatnya.
Contoh: Tim dokter boleh membedah kandungan mayit bila bayi yang dikandungnya masih ada harapan hidup. Membedah perut mayit itu sendiri adalah perbuatan merusak seperti halnya membiarkan bayi mati didalam kandungan. Namun resiko akibat pembedahan dipandang lebih ringan daripada membiarkannya mati didalam perut. Memotong pohon milik orang lain itu dilarang, tetapi bila tidak dilakukan bisa jadi menutup jendela yang akan mengganggu kelancaran sirkulasi udaraataupun gangguan lain-lainnya. Oleh sebab itu menebas pohon yang menimbulkan gangguan itu boleh karena dipandang lebih rinagan daripada membiarkan pohon terus mengganggu. Melaksanakan shalat dengan  tidak menutup aurat adalah boleh, kalau memang tidak mungkin, sebab meninggalkan shalat mafsadahnya lebih besar. Demikian pula boleh pada suatu waktu bersikap diam melihat kemunkaran, karena apabila melarangnya akan membawa bencana/bahaya yang lebih besar.
Kesembilan, الحَــــــاجَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَرُوْرَةِ عَامَّةً كــــــاَنَتْ اَوْ خَاصَّةً (Kebutuhan itu menduduki kedudukan dharurat, baik hajat umum (semua orang) ataupun hajat khusus (satu golongan atau perorangan).[28]
Keringanan itu tidak terbatas karena dharurat saja, tetapi juga terdapat karena hajat atau dengan kata lain bahwa keringanan itu diperbolehkan karena adanya hajat sebagaimana dibolehkan karena adanya dhararat.
Contoh: Seorang laki-laki boleh memakai pakaian sutra karena sakit kulit dan sebagainya, sedangkan dalam keadaan biasa tidak boleh.
Dharuri atau kebutuhan tingkat primer adalah sesuatu yang harus ada untuk keberadaan manusia atau tidak manusia  tanpa terpenuhimya kebutuhan tersebut. Ada lima hal yang harus ada pada manusia sebagai ciri atau kelengkapan kehidupan manusia. Secara berurutan peringkatnya adalah agama, jiwa, akal, harta dan keturunan [dharuriyah al khams].[29]
Dalam hubungan dengan kaidah ini, bahwa kebutuhan seseorang itu ada 5 tingkat, yaitu[30]:
  1. Tingkat darurat, tidak boleh tidak, seperti orang yang sudah sangat lapar, dia tidak boleh tidak harus mamakan apa saja yang dapat dimakan. Sebab kalau tidak makan, dia akan mati atau hampir mati.
  2. Tingkat hajat, seperti orang yang lapar. Dia harus makan, sebab kalau dia tidak makan dia akan payah, walaupun tidak membahayakan hidupnya.
  3. Tingkat manfaat, seperti kebutuhan makan yang bergizi dan memberikan kekuatan, sehingga dapat hidup wajar.
  4. Tingkat zienah, untuk keindahan dan kewewahan hidup, seperti makan makanan yang lezat, pakaian yang indah, perhiasan dan sebagainya.
  5. Tingkat fudlul, berlebih-lebihan, misalnya banyak makan makanan yang subhat atau yang haram dan sebagainya.
Kesepuluh, دَرْءُ المَفَاسِد أَوْلىَ مِنْ َجَلْبُ المَصَالِح ِ[menolak kerusakan itu lebih didahulukan daripada mendatangkan kemaslahatan].[31]

REFERENSI:
  • Al Quran Al 'Adhim dan terjemahannya
  • Dr. Abdul Aziz Ar Rabi'ah, Suwar Min Samahatil Islam [Edisi Indonesia Kemudahan Dalam Islam], Cet ke I tahun 2001 M, Pustaka AZZAM
  • Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam Dan Ahmad Muhammad Al Hashary, Alqawaid Al Fikhiyah Dirasah Ilmiyah Tahliliyah Muqaranah, Cet Tahun 2003-2004 M
  • Drs. Totok Jumantoro, Ma, dan Drs. Samsul Munir Amin Mag, Kamus Ilmu Ushul Fikih, cet I tahun 2005, Pustaka Amzah
  • Dr. Muhammad Ar Ruqy, Qawaid Al Fikhi Al Islami Min Khilali Kitab Al Iysraf Ala Masail Al Khilaf Li Al Qadhi Abdul Wahhab Al Baghdadi Al Maliky, cet I tahun 1419 H, Dar Al Qalam
  • Syaikh Dr. Muhammad Shidqy Bin Ahmad Bin Muhammad Al Burnu Abil Harits Al Ghazzy, Al Wajiz fi Idhahi Qawaid Al Fikhi Al Kulliyah, cet IV tahun 1416 H, Muassasah Ar Risalah
  • Dr. Abdullah Bin Muhammad Bin Ahmad Ath Thariqy, Al Ithtirar Ilal Atimmah Wal Adwiyah Al Muharramat [Fikih Darurat], cet I 2001 M, Pustaka Azzam
  • M. Ali Hasan, Masail Fikhiyah Al Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, cet IV 2000 M, Pustaka Rajawali Pers
  • Ibrahim Musthafa Dkk, Almu'jamul Wasith, I-II, Al Majlis Al Islami Al Asyawy
  • Drs H Abdul Mudjid, Kaidah-Kaidah Ilmu Fikih, Cet III tahun 1999 M, Pustaka Kalam Mulia
  • Syaikh Abdurrahman Bin Nashir As Sa'di, Risalah Fi Al Qawaid Al Fikhiyah Wa Maaha Risalah Latifah Jamiah Fi Ushulil Fikhi Al Muhimmah, cet 2003 M, Dar Ibnu Rajab
  • Ibnu Rajab, Jami' Al Ulum Wa Alhikam Fi Syarhi Khamsin Haditsan Min Jawami' Al Kalim, Dar Al Ma'rifah
  • Syaikh Abdurrahman Bin Nashir As Sa'di, Taisir Al Karim Ar Rahman Fi Tafsir Kalam Al Manan, cet I tahun 1416 H, Muassasah Ar Risalah
  • Al Imam Yahya Bin Syarafuddin An Nawawi, Hadits Al Arbain An Nawawiyah
  • Al Alamah Abil Barkat Ahmad Bin Muhammad Bin Ahmad Ad Dardiri, As Syarhu Asy Shaghir Ala Aqrabi Al Masail Ila Madzhab Imam Malik, cet tahun 1410 H
  • Al Imam Muwafiqudin Abdullah Bin Ahmad Bin Qudamah Al Maqdisy, Al Muqni' Fikhi Imam As Sunnah Ahmad Bin Hanbal Asy Syaibany, cet tahun 1400 H, Maktabah Ar Riyadh Al Haditsah
  • Ahmad bin ali Ar Razy Al Jashas Abu Baker, Ahkamul Quran, V Jilid, Dar Ihya' At Turats Al Araby, Bairut,Tahun 1405 H, Al Muhaqqiq: Muhammad Ash Shadiq Qamhawy.
  • Abdurrahman bin Abi Bakar As Sututhy, Al Asybah Wa An Nadhair, Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Bairut, cet I tahun 1403 H, I Jilid
  • Abi Muhammad Izzuddin Abdul Aziz Bin Abdissalam As Silmi, Qawaidul Ahkam Fi Mashalihil Anam, Dar Al Kutub Al Ilmiyah Bairut, I jilid


[1] Fikih Darurat, hal: 16
[2] Mu'jamul Wasith, I/537-538
[3] Fikih Darurat Hal: 17-18
[4] Ahkamul Quran I/159
[5] Al Asybah Wa An Nadhair, hal: 85
[6] Syarhu As Shaghir, II/183-184
[7] Qs Al Baqarah: 173
[8] Taisirul Karim Ar Rahman Fi Tafsir Kalamil Manan, hal: 64
[9] Qs Al Maidah: 3
[10] Qs Al Anam: 145
[11] Qs Al baqarah: 173
[12] Fikih Darurat, hal: 24. Dinukil dari Mukhtar Ash Shihah, hal: 354 dan 467 dan Al Futhur Rabbani Li Targhib Musnad Imam Ahmad XVII/83
[13] Al Muqni', III/531
[14] Fikih Darurat, hal: 34. Dinukil Dari  Al Asybah Wan Nadhair Oleh As Suyuthi
[15] Qawaidul Ahkam Fi Mashalihil Anam I/81
[16] Qawaid Al Fikhi Al Islami, hal: 197 dan Masail Fikhiyah Al Haditsah, hal: 117
[17] Hadits hasan, diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Daruquthni dan selain keduanya secara musnad dari Abi Said Bin Malik Bin Sinan Al Khudri dan Imam Malik dalam kitab Muwattha' secara mursal dari Amri Bin Yahya dalam kitab Jami' Al 'Ulum Wa Al Hikam Fi Syarhi Khamsin Haditsan Min Jawami' Al Kalim, hal: 285-286
[18] Risalah Fi Al Qawaid Al Fikhiyah, hal: 53 dan Kemudahan Dalam Islam, hal: 48
[19] Kaidah-Kaidah Ilmu Fikih, hal: 36
[20] Qs Albaqarah: 173
[21] Qs Al Maidah: 3
[22] Al Wajiz Fi Idhahi Al Qawaid Al Fikhi Al Kulliyah, hal: 239
[23] Ibid: 241
[24] Al Qawaid Al Fikhiyah, hal: 182
[25] Kaidah-Kaidah Ilmu Fikih, hal: 39
[26] Diriwayatkan Oleh Imam Bukhari Dari Abu Hurairah Dalam Matan Hadits Al Arbain, hal: 43
[27] Kaidah-Kaidah Ilmu Fikih, hal: 40
[28] Al Wajiz Fi Idhahi Al Qawaid Al Fikhi Al Kulliyah, hal: 241
[29] Kamus Ilmu Ushul Fikih, hal: 57
[30] Kaidah-Kaidah Fikih, hal: 42-43
[31] Al Qawaid Al Fikhiyah, hal: 203
Share this games :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar yang sopan