KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya kepada penyusun. Sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pendidikan Wanita Dalam Islam” guna untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam
Dalam penyusunan makalah ini penyusun tidak terlepas dari bantuan beberapa pihak, oleh karena itu penyusun mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dosen Mata Kuliah Sejarah Pendidikan Islam
Sebagai pembimbing Mata Kuliah, yang telah memberikan pengarahan, penjelasan serta petunjuk dalam pembuatan makalah ini.
2. Kedua orang tua
Yang telah memberikan dorongan baik berupa materi maupun berupa do’a restu sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu serta tidak ada halangan suatu apapun.
3. Teman-teman
Yang telah memberikan sedikit gambaran dan penjelasan tentang pembuatan dan penyusunan makalah.
Penyusun berharap semoga makalah ini memberikan manfaat, khususnya bagi penyusun, dan umumnya bagi para pembaca sekalian. Kritik dan saran senantiasa penulis harapkan sebagai masukan positif guna perbaikan di masa yang akan datang.
Penyusun,
Kelompok IX
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Sebenarnya islam tidak membedakan antara wanita dan laki-laki dalam pendidikan. Islam memberikan kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam menuntut ilmu. Selain ditemui pengajaran bagi anak anak perempuan, pengajaran bagi wanita juga ada. K.Hitti menandaskan bahwa anak anak perempuan juga dibolehkan mengikuti sekolah dasar, Fayyaz Mahmud menegaskan bahwa pada masa Dinasti Abbasiyah, anak perempuan juga mempunyai kesempatan belajar dimaktab maktab. Akan tetapi tidak banyak data yang menerangkan bahwa wanita pun belajar dilembaga pendidikan tinggi.
Dalam sistem pendidikan islam dimasa klasik, pendidikan islam bukanlah diperuntukkan hanya laki laki saja. Wanita pun tidak dilarang kemasjid untuk mengikuti pelajaran. Akan tetapi, apakah mereka mereka dibolehkan berlibat langsung dengan murid laki laki. Memang dalam kitab aghani. Sebagaimana dijelaskan oleh Syalabi, ditemukan teks menerangkan adanya dua kasus yang meriwayatkan bahwa ada dua oarang wanita yang telah mengikuti pelajaran pada sekolah dasar. Kedua perempuan tersebut adalah seorang wanita hamba sahaya, bukan orang merdeka. Oleh karena itu, Syalabi menolak bahwa pengajaran untuk budak dapat dinilai sebagai pendidikan karena pengajaran untuk budak hanyalah untuk menaikkan harga mereka dengan cara mengajar mereka membaca dan menulis. Dengan demikian, riwayat tersebut tidak bisa dipakai sebagai sejarah bahwa anak perempuan merdeka pernah mengikuti pengajaran tingkat dasar dikuttab bersama murid laku-laki.
Perempuan tidak memperoleh pelajaran terbuka dengan laki-laki akan tetapi mereka memperoleh pelajaran dengan cara mendatangkan guru kerumah mereka privat mereka.
Pengajaran wanita menurut Munirudin Ahmad, ada indikasi yang menunjukkan bahwa ada kelompok belajar wanita akan tetapi dilaksanakn dengan terpisah. Misalnya Ahmad bin Hanbal ang mengjarkan kelas wanita pada sore hari. Kelas wanita biasanya dilaksanakan dirumah seorang ulama tertentu. Sedangkan wanita yang tidak dari keluarga ulama mereka belajar kepada ayah mereka atau mendatangkan guru pribadi.
Menurut Jonathan Berkey, Alasan pemisahan pendidikan murid wanita dan murid laki laki dalam pendidikan islam adalah karena kehadiran wanita ditengah kaum laki laki dianggap tabu dan dikhawatirkan akan menganggu konsentrasi belajar siswa laki-laki. Karena ancaman inilah, Al-Din bin Jama’ah sebagaimana dikutip oleh Berkey, melarang wanita belajar dimadrasa atau berada disuatu tempat dimana siswa biasanya lewat atau melengok kehalaman sekolah melalui jendela.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pendidikan Wanita Pada Zaman Dahulu
Para wanita Arab sebelum datangnya Islam telah mempunyai hak dan kesempatan belajar yang terkenal pada masa itu, maka di kalangan wanita telah terdapat wanita-wanita tukang tenung dan penyai’r-penya’ir dan orang-orang yang mempunyai pengetahuan dalam menulis. Di dalam buku-buku yang berbahasa Arab disebutkan banyak sekali nama-nama wanita yang terkenal pada masa jahiliyah dan masa permulaan Islam.
Pendidikan wanita dalam Islam tidak terlepas pada sejarah awal penyebaran Islam di masa Nabi Muhammad SAW, Islam mengajarkan persamaan status pria dengan wanita dalam aspek-aspek spritual dan kewajiban keagamaan dan yang membedakan adalahnya akhlak yang baik dan buruk. Sebagaimana di contohkan pada masa Nabi masih hidup seorang wanita bangsawan dan berketurunan tinggi dari kalangan Quraisy penah mencuri dan karenanya ia dikenakan hukuman. Dan ada seseorang yang ingin membelanya. Kemudia Nabi mengambil sikap, seraya berkata, “apakah engkau akan membela seseorang dalam hukum yang telah ditentukan Tuhan ?”. Selanjutnya beliau berpidato yang isinya menyebutkan. ”Wahai manusia sesungguhnya orang-orang sebelum kamu menjadi sesat, karena apabila seorang bangsawan mencuri, mereka membiarkannya, dan apabila orang-orang lemah mencuri mereka menegakan hukum terhadapnya, Demi Allah sekiranya Fathimah anaka Muhammad mencuri, Muhammad akan memotong tangannya”.
Kalau kita teliti tentang kandungan matan hadits diatas, sangat jelas kedudukan wanita dan pria sama kedudukannya dalam hukum. Demikian pula dalam keagamaan, mereka akan mendapat pahala yang sama. Allah menegaskan posisi wanita dalam Al Quran sebagai berikut :
“Dan para wanita mendapat hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruk. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan dari pada isterinya”
a) Pendidikan Wanita Pada masa Nabi SAW
Pada zaman Nabi SAW, wanita mulai mendapatkan kedudukan yang terhormat dan sederajat dengan kaum pria, karena sebelumnya pada zaman jahiliyah, kaum wanita mendapatkan kedudukan yang sangat rendah dan hina, hingga kelahiran seorang anak perempuan dalam keluarga dianggap suatu yang aib dan harus membunuh anak itu semasa bayi.
Pada masa ini, Nabi meyamakan kedudukan wanita dan pria dalam hal menuntut ilmu sebagai manifestasi ayat ini diriwayatkan pula dari Nabi s.a.w bahwa beliau menganjurkan agar istrinya diajarkan menulis, dan untuk ini beliau berkata kepada Asy-Syifa’ (seorang penulis di masa jahiliyah) tidak maukah Anda mengajar mantera kepada Hafsah sebagaimana engkau telah mengajarkannya menulis.
b) Pendidikan Wanita Pada masa Sahabat
Pada masa ini telah banyak bermunculan ahli ilmu agama dan pengetahuan, seperti Sitti Hafsah isteri Nabi pandai menulis, dan ‘Aisyah binti Sa’ad juga pandai menulis. Siiti Aisyah isteri Nabi pandai membaca Al Quran dan tidak pandai menulis tetapi beliau adalah seorang ahli fiqh yang terkenal sebagaimana diakui oleh ‘Urwah bin Zuabair seorang ahli fiqh yang termasyhur dalam hal ini beliau berkata : “belum pernah saya melihat seorang yanglebih ‘alim dalam ilmu Fiqh, ilmu kedokteran dan ilmu syi’ir selain dari ‘Aisyah”. Kemudian adapula Ummu Salamah dapat membaca dan tidak pandai menulis, Al-Khansa’ seorang penyair yang loyal, nasionalis dan pejuang. Hindun binti ‘‘tabah, Laila binti Salma dan Sitti Sakinah binti al-Husain, seorang ahli yang mahir dalam bidang sya’’r. Demikian pula ‘Aisyah binti Talhah seorang yang ahli dalam kritik syi’ir.
Pada masa kemelut politik pertentangan antara Khalihah Ali dengan Mu’awwiyah, ada beberapa wanita yang terkenal ikut dalam kancah politik, seprti Hindun binti ‘Idi bin Qais, ‘Akrasyah binti al-Athrusy dll yang mereka itu membantu ‘Ali melawan Mu’awiyah. Setelah itu Mu’awiyah tertarik menggunakan wanita dalam kancah politik kerajaan, maka tersebutlah al-Khaizuran dan Syajaratud-Durr.
c) Pendidikan Wanita Pada masa Dinasti Abasiyah
Pada masa ini, agama Islam telah tersebar luas, demikian juga kebudayaan serta kemajuan pada masa Bani Abbas di bagian Timur dan Barat, telah memunculkan para wanita yang ikut serta dalam kegiatan intelektual dan kesenian, pengatahuan agama, sastera dan kesenian. Para budak wanita mempunyai kesempatan yang besar untuk mempersiapkan diri dalam bidang satera dan kesenian sehingga harga budak wanita menjadi lebih tinggi sesuai dengan kecakapan yang dimilkinya. Wanita-wanita yang terkenal dalam bidang pengetahuan dan syi‘ir antara lain, ‘Aliyah binti al-Mahdi, Fadhlun, ‘Aisyah binti Ahmad bin Qadim al-Qurthubiyah, Lubna, Walladah binti al-Khalifah al-Mustakfi Billah, Qamar.
Sebagian wanita adapula yang ahli dibidang ilmu agama dan hadits dan para sarjana wanita Muslimah yang terkenal jujur dalam ilmu dan amanah dalam riwayatnya. Seorang ahli hadits yang terbesar bernama Al-Hapiz az-Zahabi dalam menyaring rijalul hadits yang telah mengeluarkan hadits sebanyak 4000 perawi hadits dan dalam hal ini beliau berkata, “saya tidak melihat dari kalangan wanita orang yang terkena tuduhan dan tidak pula orang-orang yang mencoreng nama mereka (sebagai perawi hadits yang terpercaya). Wanita-wanita yang terkenal dalam perawi hadits adalah Karimah Al-Marwaziyah dan Sayyidah Al-Wuzara’.
Ibnu Abi Ushaibi’ah menyebutkan dalam bukunya Thabaqatul Athibba’ tentang dua orang wanita yang bekerja sebagai dokter dan mereka mengobati wanita-wanita istna Khalifah al-Mansur di ANdalus. Diantara mereka andalah Zainab, seorang dokter mata yang terkenal dari Bani Uwad.
Apabila kita bandingkan kondisi pendidikan dan peranan wanita Islam abad pertangahan dengan wanita yang ada di Eropa Kristen maka akan sangat terlihat perbedaan yang mencolok, di Griek (Eropa) kecuali Sparta dan Plato, saat itu wanita tidak diberikan persamaan hak dalam pendidikan dan sosial sebagai mana yang diperoleh oleh laki-laki, mereka menganggap wanita sebagai benda yang dapat menjamin kepuasan dan kesenangan mereka, walaupun mereka mencapai peradaban yang tinggi dan kemajuan dalam ilmu pengetahuan.
2. Beberapa Pendapat Tentang Pendidikan Wanita
Adalah kewajiban bagi wanita untuk memperoleh pendidikan ilmu agama seperti shalat, puasa, zakat, haji, sebagaimana kewajiban untuk berdagang dan bertransaksi. Jika suaminya tidak mampu untuk memberikan padanya ilmu tersebut, maka wanita tersebut menurut Islam wajib untuk mencarinya. Shaikh Usman dan Fodio, seorang guru terkenal dari Nigeria mengatakan dalam Irshad al-Ikhwan,”Jika sisuami tidak mengizinkannya, maka si istri dibolehkan keluar mencari ilmu tanpa seizinnya, dan tidak ada kesalahan baginya dan pula tidak dosa baginya karena itu. Peraturan ini seharusnya mendorong para suami agar mendukung istrinya dalam mencari ilmu, sewajib bagi suami untuk menafkahi keluarganya, sesungguhnya ilmu adalah utama (dan wajib dipelihara dan diamalkan)”.
Akan tetapi dalam praktek persamaan spiritual, tidak selalu disertakan dengan persamaan dalam bidang intelektual di antara wanita dan pria. Hal ini dapat kita lihat kadang-kadang dalam bidang pendidikan. Studi tentang pendidikan bagi wanita dalam umat Islam memperlihatkan dua pendapat yang berbeda yaitu yang menerima dan bahkan yang menolak.
a) Pendapat yang menolak pendidikan wanita
Para ulama yang menolak pendidikan wanita , yaitu tidak boleh mengajar wanita selain agama dan Al Quran, dan dilarang mengajarkan menulis. Wanita yang diberi pelajaran menulis diserupakan dengan ular yang menghirup racun. Pendukung pendapat ini mengambil dasar dari Ali bin Abi Thalib yang menjumpai seorang pria yang sedang mengajarkan menulis kepada seorang wanita, lalu beliau menegur, “jangan kamu menambah kejahatan dengan kejahatan.” Selanjutnya pendukung pendapat ini meriwayatkan bahwa ‘Umar bin Khattab melarang wanita belajar menulis. Disamping itu mereka menisbahkan para wanita dengan kekurangan dari segi akal dan agama, dan kekurangan ini merupakan faktor yang menyebabkan tidak boleh mengajarkan pengetahuan kepada para wanita.
b) Pendapat yang memperbolehkan pendidikan wanita
Para pendukung yang memberi pengajaran kepada wanita dengan menggunakan dalil-dalil dari hadits Nabi yang menganjurkan untuk memberi pengajaran kepada wanita, sebagian dari hadits tersebut ialah, “menuntut ilmu diperlukan atas setiap muslim dan muslimah”. “setiap orang yang memilki walidah (hamba) dan mengajarkannya serta mendidiknya, kemudian ia memerdekakannya dan mengawininya, maka ia akan mendapat dua buah pahala.”
3. Kesimpulan
Sebagai kesimpulan makalah ini, Islam memberikan persamaan hak dan kewajiban dalam menuntut ilmu bagi waita sebagaimana laki-laki, namun yang menjadi perhatian khusus adalah tentang penekan pendidikan akhlaq. Sebagai contoh Ibnu Urdun berpendapat bahwa anak-anak perempuan harus mempelajari shalat dan agama serta menambahkan pelajaran-pelajaran yang lain, akan tetapi ia tidak sepakat mengajarkan syi’ir dan menulis kepada anak perempuan, serta ia tidak menyetujui memberikan pendidikan anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki dalam sebuah tempat, meskipun ada pendapat yang membolehkan belajar bersama-sama antara anak perempuan dan anak laki-laki.
DAFTAR PUSTAKA
Fahmi, Asma Hasan,.Dr, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Bulan Bintang, Jakarta 1979
Zuhairini, Dra, dkk Sejarah Pendidikan Islam, , Bumi Aksara bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Lembaga Pengembangan Pendidikan Islam Departemen Agama, Jakarta, 1999
Soekarno dan Ahmad Supardi, Sejarah Dan Filsafat Pendidikan Islam, Angkasa Bandung, 1983
Asrohah, Hanun, M.Ag, Sejarah Pendidikan Islam. PT. Logos Wacana Ilmu, Jakart.1999
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar yang sopan