Betapa banyak kaum
muslimin yang mampu untuk menjalankan perintah Allah U dengan baik, bisa menjalankan sunnah-sunnah Nabi r, mampu untuk menjauhkan dirinya dari zina, berkata
dusta, minum khomer, bahkan mampu untuk sholat malam setiap hari, senantiasa
pusa senin kamis, namun…..mereka tidak mampu menghindarkan dirinya dari ghibah.
Bahkan walaupun mereka telah tahu bahwasanya ghibah itu tercela dan merupakan
dosa besar namun tetap saja mereka tidak mampu menghindarkan diri mereka dari
ghibah.
Allah U
benar-benar telah mencela penyakit ghibah ini dan telah menggambarkan orang
yang berbuat ghibah dengan gambaran yang sangat hina dan jijik. Berkata Syaikh
Nasir As-Sa’di : “Kemudian Allah U
menyebutkan suatu permisalan yang membuat (seseorang) lari dari gibah. Allah U
berfirman :
وَلاَ يغتبَْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ
لَحْمَ أَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُ وَاتَّقُوْا اللهَ إِنَّ اللهَ تَوَّابٌ
رَحِيْمٌ
Dan janganlah sebagian kalian
mengghibahi sebagian yang lain. Sukakah salah seorang dari kalian memakan
daging bangkai saudaranya yang telah mati, pasti kalian membencinya. Maka
bertaqwalah kalian kepada Allah, sungguh Allah Maha Menerima taubat dan Maha
Pengasih.
(Al Hujurat 12)
Allah U telah menyamakan mengghibahi
saudara kita dengan memakan daging saudara (yang digibahi tadi) yang telah
menjadi bangkai yang (hal ini) sangat dibenci oleh jiwa-jiwa manusia
sepuncak-puncaknya kebencian. Sebagaimana kalian membenci memakan dagingnya
-apalagi dalam keadaan bangkai, tidak bernyawa- maka demikian pula hendaklah
kalian membenci mengghibahinya dan memakan dagingnya dalam keadaan hidup”.[1]
Memakan bangkai hewan yang sudah busuk saja menjijikkan, namun hal ini masih
lebih baik daripada memakan daging saudara ععkita. Sebagaimana dikatakan oleh ‘Amru bin Al-‘Ash t:
َ عنْ قَيْسٍ قَالَ : مَرَّ عَمْرُو بْنُ العَاصِ عَلَى ببَغْلٍ
مَيِّتٍ, فَقَال: وَاللهِ لأََنْ يَأْكُلَ أَحَدُكُمْ مِنْ لَحْمِ هَذَا (حَتَّى
يمْلَأََ بَطْنَهُ) خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ (الْمُسْلِم)
Dari
Qois berkata : ‘Amru bin Al-‘Ash t
melewati bangkai seekor begol (hasil persilangan kuda dan keledai), maka beliau
berkata :”Demi Allah, salah seorang dari kalian memakan daging bangkai ini
(hingga memenuhi perutnya) lebih baik baginya daripada ia memakan daging
saudaranya (yang muslim)”[2].
Syaikh Salim Al-Hilaly
berkata : “..Sesungguhnya memakan daging manusia merupakan sesuatu yang paling
menjijikan untuk bani Adam secara tabi’at walaupun (yang dimakan tersebut)
orang kafir atau musuhnya yang melawan, bagaimana pula jika (yang engkau makan
adalah) saudara engkau seagama ?, sesungguhnya rasa kebencian dan jijiknya
semakin bertambah. Dan bagaimanakah lagi jika dalam keadaan bangkai? karena
sesungguhnya makanan yang baik dan halal dimakan, akan menjadi menjijikan jika
telah menjadi bangkai…” [3]
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ tأَنَّ رَسُوْلَ اللهِ rقَالَ : كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى
الْمُسْلِمِ حَرَامٌ، دَمُهُ وَعِرْضُهُ وَمَالُهُ
Dari Abu Huroiroh t bahwasanya Rosulullah r bersabda : Semua muslim
terhadap muslim yang lain adalah harom, yaitu darahnya, kehormatannya, dan
hartanya.
(Muslim)
Orang yang mengghibah berati dia telah
mengganggu kehormatan saudaranya, karena yang dimaksud dengan kehormatan adalah
sesuatu yang ada pada manusia yang bisa dipuji dan dicela.
Definisi ghibah
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ tأَنَّ رَسُوْلَ اللهِr قَالَ : أَتَدْرُوْنَ مَا الْغِيْبَةُ ؟
قَالُوْا : اللهُ وَ رَسُوْلُهُ أَعْلَمُ، قَالَ : ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا
يَكْرَهُ، فَقِيْلَ : أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيْ أَخِيْ مَا أَقُوْلُ ؟ قَالَ :
إِنْ كَانَ فِيْهِ مِا تَقُوْلُ فَقَدِ اْغْتَبْتَهُ, وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ
مِا تَقُوْلُ فَقَدْ بَهَتَّهُ
Dari
Abu Huroiroh t
bahwsanya Rosulullah r
bersabda : Tahukah kalian apakah ghibah itu? Sahabat menjawab : Allah dan
Rosul-Nya yang lebih mengetahui. Nabi r
berkata : “Yaitu engkau menyebutkan sesuatu yang tidak disukai oleh
saudaramu”, Nabi r
ditanya : Bagaimanakah pendapatmu jika itu memang benar ada padanya ? Nabi r
menjawab : “Kalau memang sebenarnya begitu berarti engkau telah mengghibahinya,
tetapi jika apa yang kau sebutkan tidak benar maka berarti engkau telah
berdusta atasnya”.[4]
Hal
ini juga telah dijelaskan oleh Ibnu Mas’ud t:
عَنْ حَمَّاد عَنْ إبْرَاهِيْمَ قَالَ : كَانَ اِبْنُ مَسْعُوْدٍ tيَقُوْلُ : الْغِيْبَةُ أَنْ تَذْكُرَ
مِنْ أَخِيْكَ مَا تَعْلَمُ فِيْهِ. وَإِذَا قُلْتَ مَا لَيْسَ فِيْهِ فَذَاكَ
الْبُهْتَانُ
Dari
Hammad dari Ibrohim berkata : Ibnu Mas’ud t
berkata :”Ghibah adalah engkau menyebutkan apa yang kau ketahui pada
saudaramu, dan jika engkau mengatakan apa yang tidak ada pada dirinya berarti
itu adalah kedustaan” [5]
Dari
hadits ini para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ghibah adalah
:”Engkau menyebutkan sesuatu yang ada pada saudaramu yang seandainya dia tahu
maka dia akan membencinya”. Sama saja apakah yang engkau sebutkan adalah
kekurangannya yang ada pada badannya atau nasabnya atau akhlaqnya atau
perbuatannya atau pada agamanya atau pada masalah duniawinya. Dan engkau
menyebutkan aibnya dihadapan manusia dalam keadaan dia goib (tidak hadir).
Berkata Syaikh Salim Al-Hilali :”Ghibah adalah menyebutkan aib (saudaramu) dan
dia dalam keadaan goib (tidak hadir dihadapan engkau), oleh karena itu
saudaramu) yang goib tersebut disamakan dengan mayat, karena si goib tidak
mampu untuk membela dirinya. Dan demikian pula mayat tidak mengetahui bahwa
daging tubuhnya dimakan sebagaimana si goib juga tidak mengetahui gibah yang
telah dilakukan oleh orang yang mengghibahinya ”[6].
Adapun
menyebutkan kekurangannya yang ada pada badannya, misalnya engkau berkata pada
saudaramu itu : “Dia buta”, “Dia tuli”, “Dia sumbing”, “Perutnya besar”,
“Pantatnya besar”, “Kaki meja (jika kakinya tidak berbulu)”, “Dia juling”, “Dia
hitam”, “Dia itu orangnya bodoh”, “Dia itu agak miring sedikit”, “Dia kurus”,
“Dia gendut”, “Dia pendek” dan lain
sebagainya.
عَنْ أَبِيْ حُذَيْفَةَ عَنْ عَائِشَةَ, أَنَّهَا ذَكَرَتِ امْرَأَةً
فَقَالَتْ :إِنَّهَا قَصِيْرَةٌ....فَقَالَ النَّبِيُّ r: اِغْتَبْتِيْهَا
Dari
Abu Hudzaifah dari ‘Aisyah bahwasanya beliau (‘Aisyah) menyebutkan seorang
wanita lalu beliau (‘Aisyah) berkata :”Sesungguhnya dia (wanita tersebut)
pendek”….maka Nabi r
berkata :”Engkau telah mengghibahi wanita tersebut” [7]
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : قُلْتُ لِلنَّبِيِّ rحَسْبُكَ مِنْ صَفِيَّة كَذَا وَ
كَذَاز قَالَ بَعْضُ الرُّوَاةُ : تَعْنِيْ قَصِيْرَةٌ, فَقَالَ : لَقَدْ قُلْتِ
كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ الْبَحْرِ لَمَزَجَتْهُ.
Dari
‘Aisyah beliau berkata : Aku berkata kepada Nabi r:
“Cukup bagimu dari Sofiyah ini dan itu”. Sebagian rowi berkata :”’Aisyah
mengatakan Sofiyah pendek”. Maka Nabi r
berkata :”Sungguh engkau telah mengucapkan suatu kalimat yang seandainya
kalimat tersebut dicampur dengan air laut niscaya akan merubahnya” [8]
عَنْ جَرِيْرِ بْنِ حَازِمٍ قَالَ : ذَكَرَ ابْنُ سِيْرِيْنَ رَجُلاً
فَقَألَ : ذَاكَ الرَّجُلُ الأَسْوَدُ. ثُمَّ قَالَ : أَسْتَغْفِرُ اللهَ, إِنِّيْ
أَرَانِيْ قَدِ اغْتَبْتُهُ
Dari
Jarir bin Hazim berkata : Ibnu Sirin menyebutkan seorang laki-laki kemudian dia
berkata :”Dia lelaki yang hitam”. Kemudian dia berkata :”Aku
mohon ampunan dari Allah”, sesungguhnya aku melihat bahwa diriku telah mengghibahi
laki-laki itu”[9]
Adapun
pada nasab misalnya engkau berkata :”Dia dari keturunan orang rendahan”, “Dia
keturunan maling”, “Dia keturunan pezina”, “Bapaknya orang fasik”, dan
lain-lain. Adapun pada akhlaknya, misalnya engkau berkata :”Dia akhlaqnya
jelek…orang yang pelit”, “Dia sombong, tukang cari muka (cari perhatian)”, “Dia
penakut”, “Dia itu orangnya lemah”, “Dia itu hatinya lemah”, “Dia itu
tempramental”. Adapun pada agamanya, misalnya engkau berkata :”Dia pencuri”,
“Dia pendusta”, “Dia peminum khomer”, “Dia pengkhianat”, “Dia itu orang yang
dzolim, tidak mengeluarkan zakat”, “Dia tidak membaguskan sujud dan ruku’ kalau
sholat”, “Dia tidak berbakti kepada orang tua”, dan lain-lain. Adapun pada
perbuatannya yang menyangkut keduniaan, misalnya engkau berkata : “Tukang
makan”, “Tidak punya adab”, “Tukang tidur”, “Tidak ihtirom kepada manusia”,
“Tidak memperhatikan orang lain”, “Jorok”, “Si fulan lebih baik dari pada dia”
dan lain-lain.
Imam Baihaqi meriwayatkan
dari jalan Hammad bin Zaid berkata :Telah menyampaikan kepada kami Touf bin
Wahbin, dia berkata : “Aku menemui Muhammad bin Sirin dan aku dalam keadaan
sakit. Maka dia (Ibnu Sirin) berkata :”Aku melihat engkau sedang sakit”, aku
berkata :”Benar”. Maka dia berkata :”Pergilah ke tabib fulan, mitalah resep
kepadanya”, (tetapi) kemudian dia berkata :”Pergilah ke fulan (tabib yang
lain) karena dia lebih baik dari pada si fulan (tabib yang pertama)”.
Kemudian dia berkata : “Aku mohon ampun kepada Allah, menurutku aku telah mengghibahi
dia (tabib yang pertama)”. [10]
Termasuk
ghibah yaitu seseorang meniru-niru orang lain, misalnya berjalan dengan
pura-pura pincang atau pura-pura bungkuk atau berbicara dengan pura-pura
sumbing, atau yang selainnya dengan maksud meniru-niru keadaan seseorang, yang
hal ini berarti merendahkan dia. Sebagaimana disebutkan dalam suatu hadits :
قَالَتْ : وَحَكَيْتُ لَهُ إِنْسَانًا فَقَالَ : مَا أُحِبُّ أَنِّيْ
حَكَيْتُ إِنْسَانًا وَ إِنَّ لِيْ كَذَا
‘Aisyah
berkata : “Aku meniru-niru (kekurangan/cacat) seseorang seseorang pada Nabi r”.
Maka Nabi r pun berkata :”Saya
tidak suka meniru-niru (kekurangan/cacat) seseorang (walaupun) saya mendapatkan
sekian-sekian” [11]
Termasuk
ghibah yaitu seorang penulis menyebutkan seseorang tertentu dalam kitabnya
seraya berkata :”Si fulan telah berkata demikian-demikian”, dengan tujuan untuk
merendahkan dan mencelanya. Maka hal ini adalah harom. Jika si penulis
menghendaki untuk menjelaskan kesalahan orang tersebut agar tidak diikuti, atau
untuk menjelaskan lemahnya ilmu orang tersebut agar orang-orang tidak tertipu
dengannya dan menerima pendapatnya (karena orang-orang menyangka bahwa dia
adalah orang yang ‘alim –pent), maka hal ini bukanlah ghibah, bahkan merupakan
nasihat yang wajib yang mendatangkan pahala jika dia berniat demikian.
Demikian
pula jika seorang penulis berkata atau yang lainnya berkata : “Telah berkata
suatu kaum -atau suatu jama’ah- demikian-demikian…, dan pendapat ini merupakan
kesalahan atau kekeliruan atau kebodohan atau keteledoran dan semisalnya”, maka
hal ini bukanlah ghibah. Yang disebut ghibah jika kita menyebutkan orang
tertentu atau kaum tertentu atau jama’ah tertentu. [12]
Ghibah
itu bisa dengan perkataan yang jelas atau dengan yang lainnya seperti isyarat
dengan perkataan atau isyarat dengan mata atau bibir dan lainnya, yang penting
bisa dipahami bahwasanya hal itu adalah merendahkan saudaranya yang lain.
Diantaranya yaitu jika seseorang namanya disebutkan di sisi engkau lantas
engkau berkata: “Segala puji bagi Allah U yang telah menjaga kita dari
sifat pelit”, atau “Semoga Allah U melindungi kita dari memakan
harta manusia dengan kebatilan”, atau yang lainnya, sebab orang yang mendengar
perkataan engkau itu faham bahwasanya berarti orang yang namanya disebutkan
memiliki sifat-sifat yang jelek.[13]
Bahkan lebih parah lagi, perkataan engkau tidak hanya menunjukkan kepada
ghibah, tetapi lebih dari itu dapat menjatuhkan engkau ke dalam riya’. Sebab
engkau telah menunjukan kepada manusia bahwa engkau tidak melakukan sifat jelek
orang yang disebutkan namanya tadi.
Bagaimana jika yang dighibahi adalah orang kafir ?
Berkata As-Shon’ani : “Dan perkataan Rosulullah r
(dalam hadits Abu Huroiroh di atas) أَخَاكَ (saudaramu) yaitu saudara seagama
merupakan dalil bahwasanya selain mukmin boleh mengghibahinya”. Berkata Ibnul
Mundzir :”Dalam hadits ini ada dalil bahwasanya barang siapa yang bukan saudara
(se-Islam) seperti yahudi, nasrani, dan seluruh pemeluk agama-agama (yang
lain), dan (juga) orang yang kebid’ahannya telah mengeluarkannya dari Islam,
maka tidak ada (tidak mengapa) ghibah terhadapnya”. [14]
Bagaimana jika kita memberi laqob (julukan) yang
jelek kepada saudara kita, namun saudara kita tersebut tidak membenci laqob
itu, apakah tetap termasuk ghibah?
Berkata As-Shon’ani : “ Dan pada perkataan Rosulullah r
بِمَا يَكْرَهُ (dengan
apa yang dia banci), menunjukan bahwa jika dia (saudara kita yang kita
ghibahi tersebut) tidak membencinya aib yang ditujukan kepadanya, seperti
orang-orang yang mengumbar nafsunya dan orang gila, maka ini bukanlah ghibah”.[15]
Berkata
Syaikh Salim Al-Hilal :”Jika kita telah mengetahui hal itu (yaitu orang yang
dipanggil dengan julukan-julukan yang jelek namun dia tidak membenci
julukan-julukan jelek tersebut –pent) bukanlah suatu ghibah yang harom, sebab
ghibah adalah engkau menyebut saudaramu dengan apa yang dia benci, tetapi orang
yang memanggil saudaranya dengan laqob (yang jelek) telah jatuh di dalam
larangan Al-Qur’an (yaitu firman Allah:ولاَ تَنَابَزُوْا بِالأَلْقَابِ Dan janganlah kalian saling- panggil-memanggil dengan
julukan-julukan yang buruk. (Al-Hujurot: 11)-pent) yang jelas melarang
saling panggil-memanggil dengan julukan (yang jelek) sebagaimana tidak samar
lagi (larangan itu)”. [16]
Hukum ghibah
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ t قَال : قَالَ رَسُوْلُ
الله r: مَرَرْتُ لَيْلَةَ
أُسْرِيَ بِيْ عَلَى قَوْمٍ يَخْمِشُوْنَ وُجُوْهَهُمْ بِأَظَافِرِيْهِمْ,
فَقُلْتُ : يَا جِبْرِيْلُِ مَنْ هَؤُلآءِ؟ قَالَ : الَّذِيْنَ يَغْتَابُوْنَ
النَّاسَ, وَيَقَعُوْنَ فِيْ أَعْرَاضِهِمْ
Dari
Anas bin Malik t
berkata : Rosulullah r
bersabda :”Pada malam isro’ aku melewati sebuah kaum yang mereka melukai
(mencakar) wajah-wajah mereka dengan kuku-kuku mereka”, lalu aku berkata
:”Siapakah mereka ya Jibril?”, Beliau berkata :”Yaitu orang-orang yang
mengghibahi manusia, dan mereka mencela kehormatan-kehormatan manusia”.
Dalam
riwayat yang lain :
قَالَ رَسُوْلُ الله r: لَمَّا عُرِجَ بِيْ,
مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمِشُوْنَ وُجُوْهَهُمْ وَ
صُدُوْرَهُمْ فَقُلْتُ : مَنْ هَؤُلآء يَا جِبْرِيْلُِ؟ قَالَ : هَؤُلآء
الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ لُحُوْمَ النَّاسَ وَيَقَعُوْنَ فِيْ أَعْرَاضِهِمْ
Rosulullah
r bersabda : Ketika aku
dinaikkan ke langit, aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari
tembaga, mereka melukai (mencakari) wajah-wajah mereka dan dada-dada mereka.
Maka aku bertanya :”Siapakah mereka ya Jibril?”, beliau berkata :”Mereka
adalah orang-orang yang memakan daging-daging manusia dan mereka
mencela kehormatan-kehormatan manusia”.[17]
Hukum ghibah adalah harom berdasarkan Al-Kitab dan
As-Sunnah dan ijma’ kaum muslimin. Namun terjadi khilaf diantara para ulama,
apakah ghibah termasuk dosa besar atau termasuk dosa kecil?. Imam Al-Qurthubi
menukilkan ijma’ bahwasanya ghibah termsuk dosa besar. Sedangkan Al-Gozhali dan
penulis Al-‘Umdah dari Syafi’iyah berpendapat bahwasanya ghibah termasuk dosa
kecil. Berkata Al-Auza’i : “Aku tidak mengetahui ada orang yang jelas
menyatakan bahwa ghibah termasuk dosa kecil selain mereka berdua”. Az-Zarkasyi
berkata : “Dan sungguh aneh orang yang menganggap bahwasanya memakan bangkai
daging (manusia) sebagai dosa besar (tetapi) tidak menganggap bahwasanya ghibah
juga adalah dosa besar, padahal Allah menempatkan ghibah sebagaimana memakan
bangkai daging manusia. Dan hadits-hadits yang memperingatkan ghibah sangat
banyak sekali yang menunjukan akan kerasnya pengharaman ghibah. [18]
Berkata Syaikh Nasir As-Sa’di :”Dalam ayat ini (Al-Hujurot
:12) ada peringatan keras terhadap gibah dan bahwasanya gibah termasuk
dosa-dosa besar karena diserupakan dengan memakan daging bangkai (manusia) dan
hal itu (memakan daging bangkai) termasuk dosa besar”. [19]
Alasan
mereka yang menyatakan bahwa ghibah adalah dosa kecil diantaranya perkataan
mereka :”Kalau seandainya ghibah itu bukan dosa kecil maka sebagian besar
manusia tentu menjadi fasik, atau seluruh manusia menjadi fasik, kecuali hanya
sedikit sekali yang bisa lolos dari penyakit ini. Dan hal ini adalah kesulitan
yang sangat besar”. Namun alasan ini terbantahkan, karena bahwasanya tersebarnya
suatu kemaksiatan dan banyak manusia yang melakukannya tidaklah menunjukan
bahwa kemaksiatan tersebut adalah dosa kecil. Dan alasan ini juga tertolak
sebab tersebarnya kemaksiatan ini hanya kalau ditinjau pada zaman sekarang.
Adapun pada zaman dahulu (zaman para salaf) kemaksiatan-kemaksiatan (termasuk
ghibah) tidak tersebar sebagaimana sekarang. Justru yang tersebar adalah
kebaikan.
Hukum mendengarkan ghibah
Berkata Imam Nawawi dalam Al-Adzkar :”Ketahuilah bahwasanya
ghibah itu sebagaimana diharamkan bagi orang yang menggibahi, diharamkan juga
bagi orang yang mendengarkannya dan menyetujuinya. Maka wajib bagi siapa saja
yang mendengar seseorang mulai menggibahi (saudaranya yang lain) untuk melarang
orang itu kalau dia tidak takut kepada mudhorot yang jelas. Dan jika dia takut
kepada orang itu, maka wajib baginya untuk mengingkari dengan hatinya dan
meninggalkan majelis tempat ghibah tersebut jika memungkinkan hal itu.
Jika
dia mampu untuk mengingkari dengan lisannya atau dengan memotong pembicaraan
ghibah tadi dengan pembicaraan yang lain, maka wajib bagi dia untuk
melakukannya. Jika dia tidak melakukannya berarti dia telah bermaksiat.
Jika
dia berkata dengan lisannya :”Diamlah”, namun hatinya ingin pembicaraan gibah
tersebut dilanjutkan, maka hal itu adalah kemunafikan yang tidak bisa
membebaskan dia dari dosa. Dia harus membenci gibah tersebut dengan hatinya
(agar bisa bebas dari dosa-pent).
Jika
dia terpaksa di majelis yang ada ghibahnya dan dia tidak mampu untuk
mengingkari ghibah itu, atau dia telah mengingkari namun tidak diterima, serta
dia tidak memungkinkan baginya untuk meninggalkan majelis tersebut, maka harom
baginya untuk istima’(mendengarkan) dan isgo’ (mendengarkan dengan saksama)
pembicaraan ghibah itu. Yang dia lakukan adalah hendaklah dia berdzikir kepada
Allah U dengan lisannya dan
hatinya, atau dengan hatinya, atau dia memikirkan perkara yang lain, agar dia
bisa melepaskan diri dari mendengarkan gibah itu. Setelah itu maka tidak
mengapa baginya untuk mendengar ghibah (yaitu sekedar mendengar namun tidak
memperhatikan dan tidak faham dengan apa yang didengar –pent), tanpa
mendengarkan dengan baik ghibah itu jika memang keadaannya seperti ini (karena
terpaksa tidak bisa meninggalkan majelis gibah itu –pent). Namun jika (beberapa
waktu) kemudian memungkinkan dia untuk meninggalkan majelis dan mereka masih
terus melanjutkan ghibah, maka wajib baginya untuk meninggalkan majelis”[20].
Allah U berfirman :
وَإذَا رَأَيْتَ الَّذِيْنَ يَخُوْضُوْنَ فِيْ آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ
عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوْضُوْا فِيْ حَدِيْثٍ غَيْرِهِ, وَ إِمَّ يُنْسِيَنَّكُمُ
الشَّيْطَانُ فَلاَ تَقْعُدْ بَعْدَ الذِكْرِ مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِيْنَ
Dan
apabila kalian melihat orang-orang yang mengejek ayat Kami, maka berpalinglah
dari mereka hingga mereka mebicarakan pembicaraan yang lainnya. Dan apabila
kalian dilupakan oleh Syaithon, maka janganlah kalian duduk setelah kalian
ingat bersama kaum yang dzolim. (Al-An’am 68)
Benarlah
perkataan seorang penyair…
وَسَمْعَكَ
صُنْ عَنْ سَمَاعِ الْقَبِيْحِ
كَصَوْنِ اللِّسَانِ عَنِ النُّطْقِ بِهْ
فَإِنَّكَ
عِنْدَ سَمَاعِ الْقَبِيْحِ
شَرِيْكٌ لِقَائِلِهِ فَانْتَبِهْ
Dan pendengaranmu, jagalah dia dari mendengarkan
kejelekan
Sebagaimana menjaga lisanmu dari mengucapkan kejelekan
itu.
Sesungguhnya ketika engkau mendengarkan kejelekan,
Engkau telah sama dengan orang yang mengucapkannya, maka
waspadalah
Dan
meninggalkan mejelis ghibah merupakan sifat-sifat orang yang beriman,
sebagaimana firman Allah U:
وَإِذَا سَمِعُوْا اللَّغْوَ أَعْرَضُوْا عَنْهُ
Dan
apabila mereka mendengar lagwu (kata-kata yang tidak bermanfaat) mereka
berpaling darinya. (Al-Qosos : 55)
وَالَّذِيْنَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضِيْنَ
Dan orang-orang yang
menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna (Al-Mu’minun :3)
Bahkan
sangat dianjurkan bagi seseorang yang mendengar saudaranya dighibahi bukan
hanya sekedar mencegah gibah tersebut tetapi untuk membela kehormatan
saudaranya tersebut, sebagaimana sabda Rosulullah r:
عَنْ أَبِيْ الدَّرْدَاءِ tعَنِ النَّبِيِّ r
قَالَ : مَنْ رَدَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيْهِ, رَدَّ اللهُ وَجِهَهُ النَّارَ
Dari Abu Darda’ t berkata : Nabi r bersabda : Siapa yang
mempertahankan kehormatan saudaranya yang akan dicemarkan orang, maka Allah
akan menolak api neraka dari mukanya pada hari kiamat.[21]
Dan demikinlah pengamalan
para salaf ketika ada saudaranya yang digibahi mereka membelanya, sebagaimana
dalam hadits-hadits berikut :
عَنْ عِتْبَانَ بْنِ مَالِكٍ tقَالَ : قَامَ النَّبِيُّ rيُصَلِّي فَقَالَ : أَيْنَ مَلِكُ بْنُ
الدُّخْشُمِ؟ فَقَالَ رَجُلٌ : ذَالِكَ مُنَافِقٌ, لاَ يُحِبُّ اللهَ وَ
رَسُوْلَهُ, فَقَالَ النَّبِيُّ r: لاَ تَقُلْ ذَالِكَ,
أَلاَ تَرَاهُ قَدْ قَالَ لاَ إِلِهَ إِلاَّ اللهُ يُرِيْدُ بِذَالِكَ وَجْهَ اللهِ وَإِنَّ
اللهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَى الَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلِهَ إِلاَّ اللهُ يَبْتَغِيْ
بِذَالِكَ وَجْهَ اللهِ
Dar
‘Itban bin Malik t
berkata : Nabi r
menegakkan sholat, lalu (setelah selesai sholat) beliau berkata : “Di manakah
Malik bin Addukhsyum?”, lalu ada seorang laki-laki menjawab :”Ia munafik, tidak
cinta kepada Allah dan Rosul-Nya”, Maka Nabi r
berkata : Janganlah engkau berkata demikian, tidakkah engkau lihat bahwa ia
telah mengucapkan la ila ha illallah dengan ikhlash karena Allah ?, dan Allah telah
mengharamkan api neraka atas orang yang mengucapkan la ilaha illallah dengan
ikhlash karena Allah (Bukhori dan Muslim)
عَنْ كَعْبِ بْنِ مَالِكً tقَالَ : قَالَ النَّبِيُّ rوَهُوَ جَالِسٌ فِيْ الْقَوْمِ
بِتَبُوْكَ : مَا فَعَلَ كَعْبُ بْنُ مَالِكٍ؟ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ بَنِى سَلَمَةَ
: يَا رَسُوْلَ اللهِ حَبَسَهُ بُرْدَاهُ وَ النَّظَرُ فِيْ عِطْفَيْهِ. فَقَالَ
لَهُ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ t: بِئْسَ مَا قُلْتَ,
وَاللهِ يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا عَلِمْنَا عَلَيْهِ إِلاَّ خَيْرًا, فَسَكَتَ
رَسُوْلُ اللهِ r
Ka’ab
bin Malik t berkata : Ketika Nabi r
telah sampai di Tabuk, dan dia sambil duduk bertanya : “Apa yang dilakukan
Ka’ab ?”, maka ada seorang laki-laki dari bani Salamah menjawab :”Wahai Rosulullah, ia
telah tertahan oleh mantel dan selendangnya”. Lalu Mu’adz bin Jabal t
berkata : “Buruk sekali perkataanmu itu, demi Allah wahai Rosulullah, kami
tidak mengetahui sesuatupun dari dia melainkan hanya kebaikan”. Rosulullah r
pun diam. (Bukhori dan Muslim)
Bertaubat dari ghibah
Berkata Syaikh Utsaimin : “…Yaitu engkau membicarakan dia
dalam keadaan dia tidak ada, dan engkau merendahkan dia dihadapan manusia dan
dia tidak ada. Untuk masalah ini para ulama berselisih. Diantara mereka ada
yang berkata (bahwasanya) engkau (yang menggibah) harus datang ke dia (yang
digibahi) dan berkata kepadanya :”Wahai fulan sesungguhnya aku telah
membicarakan engkau dihadapan menusia, maka aku mengharapkan engkau memaafkan
aku dan merelakan (perbuatan)ku”. Sebagian ulama (yang lainnya) mengatakan
(bahwasanya) engkau jangan datang ke dia, tetapi ada perincian : Jika yang
digibahi telah mengetahui bahwa engkau telah mengghibahinya, maka engkau harus
datang kepadanya dan meminta agar dia merelakan perbuatanmu. Namun jika dia
tidak tahu, maka janganlah engkau mendatanginya (tetapi hendaknya) engkau
memohon ampun untuknya dan engkau membicarakan kebaikan-kebaikannya di
tempat-tempat engkau mengghibahinya. Karena sesungguhnya kebaikan-kebaikan bisa
menghilangkan kejelekan-kejelekan. Dan pendapat ini lebih benar, yaitu
bahwasanya ghibah itu, jika yang dighibahi tidak mengetahui bahwa engkau telah
mengghibahinya maka cukuplah engkau menyebutkan kebaikan-kebaikannya di tempat-tempat
kamu mengghibahinya dan engkau memohon ampun untuknya, engkau berkata :”Ya
Allah ampunilah dia” sebagaimana yang terdapat dalam hadits :
كَفَّارَةُ مَنِ اغْتَبْتَهُ أَنْ
تَسْتَغْفِرْ لَهُ (Kafarohnya orang yang kau ghibahi adalah engkau memohon
ampunan untuknya)[22]
Berkata Ibnu Katsir
:”…Berkata para ulama yang lain :”Tidaklah disyaratkan dia (yang mengghibah)
meminta penghalalan (perelaan dosa ghibahnya-pent) dari orang yang dia ghibahi.
Karena jika dia memberitahu orang yang dia ghibahi tersebut bahwa dia telah
mengghibahinya, maka terkadang malah orang yang dighibahi tersebut lebih
tersakiti dibandingkan jika dia belum tahu, maka jalan keluarnya yaitu dia (si
pengghibah) hendaknya memuji orang itu dengan kebaikan-kebaikan yang dimiliki
orang itu di tempat-tempat dimana dia telah mencela orang itu…”[23]
Cara menghindarkan diri dari ghibah
Untuk menghindari ghibah kita harus sadar bahwa segala apa yang kita ucapkan
semuanya akan dicatat dan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah U. Allah U berfirman :
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ
Tiada suatu ucapanpun yang
diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.(Q 18)
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ
وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُوْلاً
Dan janganlah kalian
mengikuti apa yang kalian tidak mengetahuinya, sesungguhnyapendengaran,
penglihatan, dan hati itu semua akan ditanyai (dimintai pertanggungjawaban) (Al-Isro’ 36)
Dan jika kita tidak menjaga
lisan kita -sehingga kita bisa berbicara seenak kita tanpa kita timbang-timbang
dahulu yang akhirnya mengakibatkan kita terjatuh pada ghibah atau yang lainnya-
maka hal ini akibatnya sangat fatal. Sebab lisan termasuk sebab yang
paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka. Sebagaimana sabda Nabi r
وَ هَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِيْ النَّارِ عَلَى وُجُوْهِهِمْ إِلاَّ
حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ ؟
Bukankah
tidak ada yang menjerumuskan manusia ke dalam neraka melainkan akibat
lisan-lisan mereka ?
Demikian
juga sabda Nabi r
:
أَكْثَرُ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ الأَجْوَفَانِ : الفَمُ و
الْفَرَجُ
Yang
paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka adalah dua lubang, mulut dan
kemaluan.[24]
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ tأَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ r يَقُوْلُ : إِنَّ الْعَبْدَ
لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَة مِنْ سَخَطِ اللهِ لاَ يُلْقِيْ لَهَا بَالاً يَهْوِيْ
بِهَا فِيْ جَهَنَّمَ
Dari Abu Huroiroh t bahwasanya beliau mendengar
Nabi r bersabda :”Sungguh
seorang hamba benar-benar akan mengatakan suatu kalimat yang mendatangkan murka
Allah yang dia tidak menganggap kalimat itu, akibatnya dia terjerumus dalam
neraka jahannam gara-gara kalimat itu”. (Bukhori)
Sehingga karena saking
sulitnya menjaga lisan, Rosulullah r pernah bersabda :
عَنْ سَهْلٍ بْنِ سَعْدٍ tقَالَ : قَالَ رَسُوْلُ الله ِ r: مَنْ يَضْمَنْ لِيْ مَا
بَيْنَ لِحْيَيْهِ وَ مَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ
Dari
Sahl bin Sa’d t
dia berkata : Rosulullah r
bersabda :”Barangsiapa yang menjamin kepadaku (keselamatan) apa yang ada
diantara dagunya (yaitu lisannya) dan apa yang ada diantara kedua kakinya (yaitu
kemaluannya) maka aku jamin baginya surga”. (Bukhori dan Muslim)
Berkata
Imam Nawawi : “Ketahuilah, bahwasanya ghibah adalah seburuk-buruknya hal yang
buruk, dan ghibah merupakan keburukan yang paling tersebar pada manusia
sehingga tidak ada yang selamat dari ghibah ini kecuali hanya segelintir
manusia” [25]
Berkata Imam Syafi’i :
اِحْفَظْ
لِسَانَكَ أَيُّهَا الإِنْسَـانُ لاَ يَـلْدَغَنَّكَ فَإِنـَّهُ
ثُعْـبَانٌ
كَمْ
فِيْ الْمَقَايِرِ مِنْ قَتِيْلِ لِسَانِهِ
كَانَتْ تَهَابُ لِقَائَهُ الشُّجْعَانُ
Jagalah
lisanmu wahai manusia
Janganlah
lisanmu sampai menyengat engkau, sesungguhnya dia seperti ular
Betapa banyak penghuni kubur yang terbunuh oleh lisannya
Padahal dulu orang-orang yang pemberani takut bertemu
dengannya
Ghibah yang dibolehkan
Berkata Syaikh Salim Al-Hilali : “Ketahuilah bahwasanya
ghibah dibolehkan untuk tujuan yang benar yang syar’i yang tidak mungkin bisa
dicapai tujuan tersebut kecuali dengan ghibah itu” [26]
Dan
hal-hal yang dibolehkan ghibah itu ada enam (sebagaimana disebutkan oleh
An-Nawawi dalam Al-Adzkar), sebagaimana tergabung dalam suatu syair :
الـذَّمُّ
لَيْـسَ بِغِيْبَةٍٍ فِيْ سِتـَّةٍ
مُتَظَلِّطٍ وَ مـُعَرِّفٍ وَ مُـحَذَِّرٍ
وَ
لِمُظْهِرٍ فِسـْقًا وَ مُسْتَفْـتٍ
وَمَنْ طَلَبَ الإِعَانَةِ فِيْ إِزَالَةِ مُنْكَرٍ
Celaan
bukanlah ghibah pada enam kelompok
Pengadu,
orang yang mengenalkan, dan orang yang memperingatkan
Dan terhadap orang yang menampakkan kefasikan, dan
peminta fatwa
Dan orang yang mencari bantuan untuk mengilangkan
kemungkaran
Pertama
: Pengaduan, maka dibolehkan bagi orang yang teraniaya mengadu kepada
sultan (penguasa) atau hakim dan yang selainnya yang memiliki kekuasaan dan
kemampuan untuk mengadili orang yang menganiaya dirinya. Maka dia (boleh)
berkata : “Si fulan telah menganiaya saya demikian-demikian”. Dalilnya firman
Allah :
لاَ يُحِبُّ اللهُ الْجهْرَ بِالسُّوْءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلاَّ مِنْ
ظُلِمَ
Allah
tidak menyukai ucapan yang buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali
oleh orang yang dianiyaya. (An-Nisa’ 148).
Pengecualian
yang terdapat dalam ayat ini menunjukan bahwa bolehnya orang yang didzholimi
mengghibahi orang yang mendzoliminya dengan hal-hal yang menjelaskan kepada
manusia tentang kedzoliman yang telah dialaminya dari orang yang mendzoliminya,
dan dia mengeraskan suaranya dengan hal itu dan menampakkannya di tempat-tempat
berkumpulnya manusia. Sama saja apakah dia nampakkan kepada orang-orang yang
diharapkan bantuan mereka kepadanya, atau dia nampakkan kepada orang-orang yang
dia tidak mengharapkan bantuan mereka.[27]
Kedua
: Minta bantuan untuk mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku
kemaksiatan kepada kebenaran. Maka dia (boleh) berkata kepada orang yang
diharapkan kemampuannya bisa menghilangkan kemungkaran : “Si fulan telah
berbuat demikian, maka hentikanlah dia dari perbuatannya itu” dan yang selainnya.
Dan hendaknya tujuannya adalah sebagai sarana untuk menghilangkan kemungkaran,
jika niatnya tidak demikian maka hal ini adalah harom.
Ketiga
: Meminta fatwa : Misalnya dia berkata kepada seorang mufti : “Bapakku telah
berbuat dzolim padaku, atau saudaraku, atau suamiku, atau si fulan telah
mendzolimiku, apakah dia mendapatkan hukuman ini?, dan bagaimanakah jalan
keluar dari hal ini, agar hakku bisa aku peroleh dan terhindar dari
kedzoliman?”, dan yang semisalnya. Tetapi yang yang lebih hati-hati dan lebih baik
adalah hendaknya dia berkata (kepada si mufti) : “Bagaimana pendapatmu tentang
seseorang atau seorang suami yang telah melakukan demikian ..?”. Maka dengan
cara ini tujuan bisa diperoleh tanpa harus menyebutkan orang tertentu, namun
menyebutkan orang tertentupun boleh sebagaimana dalam hadits Hindun.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : قَالَتْ هِنْدُ امْرَأَةُ أَبِيْ سُفْيَانَ
لِلنَّبِيِّ r: إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ
رَجُلٌ شَحِيْحٌ وَلَيْسَ يُعْطِيْنِيْ مَا يَكْفِيْنِيْ وَوَلَدِِيْ إِلاَّ مَا
أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لاَ يَعْلَمُ, قَالَ : خُذِيْ مَا يَكْفِيْكِ وَوَلَدِكِ
بِالْمَعْرُوْفِ
Dari ‘Aisyah berkata :Hindun
istri Abu Sofyan berkata kepada Nabi r:”Sesungguhnya Abu Sufyan
seorang yang kikir dan tidak mempunyai cukup belanja untukku dan unutuk
anak-anakku, kecuali jika saya ambil diluar pengetahuannya”. Nabi r berkata : “Ambillah apa
yang cukup untukmu dan untuk anak-anakmu dengan cara yang baik” (jangan
terlalu banyak dan jangan terlalu sedikit)”. [28]
Keempat
: Memperingatkan kaum muslimin dari kejelekan. Hal ini diantaranya :
Apa
yang telah dilakukan oleh para Ahlul Hadits dengan jarh wa ta’dil. Mereka
berdalil dengan ijma’ akan bolehnya bahkan wajibnya hal ini.
Karena para salaf umat ini senantiasa menjarh orang-orang yang berhak
mendapatkannya dalam rangka untuk menjaga keutuhan syari’at.[29]
Seperti perkataan ahlul hadits :”Si fulan pendusta”, “Si fulan lemah
hafalannya”, “Si fulan munkarul hafits”, dan lain-lainnya.
Contoh
yang lain yaitu mengghibahi seseorang ketika musyawarah untuk mencari nashihat.
Dan tidak mengapa dengan menta’yin (menyebutkan dengan jelas) orang yang
dighibahi tersebut. Dalilnya sebagaimana hadits Fatimah.
عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ قَالَتْ : أَتَيْتُ النَّبِيَّ r فَقُلْتُ : إِنَّ أَبَا الْجَهْمِ وَ
مُعَاوِيَةَ خَطَبَانِ, فَقَالَ رَسُوْلُ الله r: أَمَّا مُعَاوِيَةُ
فَصُعْلُوْكٌ لاَ مَالَ لَهُ. وَأَمَّا أَبُوْا الْجَهْمِ فَلاَ يَضَعُ الْعَصَا
عَنْ عَاتِقِهِ.(وَفِيْ رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ : وَأَمَّا أَبُوْا الْجَهْمِ
فَضَرَّابُ لِلنِّسَاءِ)
Fatimah binti Qois berkata :
Saya datang kepada Nabi r dan berkata :Sesungguhnya
Abul Jahm dan Mu’awiyah meminang saya. Maka Nabi r berkata : “Adapun
Mu’awiyah maka ia seorang miskin adapun Abul Jahm maka ia tidak pernah
melepaskan tongkatnya dari bahunya”. (Bukhori dan Muslim). Dan dalam
riwayat yang lain di Muslim (no 1480) :”Adapun Abul Jahm maka ia tukang
pukul para wanita (istri-istrinya)” [30]
Kelima
: Ghibah dibolehkan kepada seseorang yang terang-terangan menampakkan
kefasikannya atau kebid’ahannya. Seperti orang yang terang-terangan meminum
khomer, mengambil harta manusia dengan dzolim, dan lain sebagainya. Maka boleh
menyebutkan kejelekan-kejelekannya. Dalilnya :
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَجُلاً اسْتَأْذَنَ عَلَى النَّبِيِّ فَقَالَ
ائْذَنُوْا لَهُ, بِئْسَ أَخُوْا الْعَشِيْرَةِ
‘Aisyah
berkata : Seseorang datang minta idzin kepada Nabi r,
maka Nabi r bersabda :”Izinkankanlah
ia, ia adalah sejahat-jahat orang yang ditengah kaumnya”. [31]
Namun
diharomkan menyebutkan aib-aibnya yang lain yang tidak ia nampakkan, kecuali
ada sebab lain yang membolehkannya.[32]
Keenam
: Untuk pengenalan. Jika seseorang terkenal dengan suatu laqob (gelar) seperti
Al-A’masy (si rabun) atau Al-A’aroj (si pincang) atau Al-A’ma (si buta) dan
yang selainnya maka boleh untuk disebutkan. Dan diharomkan menyebutkannya dalam
rangka untuk merendahkan. Adapun jika ada cara lain untuk untuk mengenali
mereka (tanpa harus menyebutkan cacat mereka) maka cara tersebut lebih baik.
Perhatian
Berkata
Syaikh Salim Al-Hilali :
1.
Bolehnya ghibah untuk
hal-hal di atas adalah sifat yang menyusul (bukan hukum asal), maka jika telah
hilang ‘illahnya (sebab-sebab yang membolehkan ghibah -pent), maka dikembalikan
hukumnya kepada hukum asal yaitu haromnya ghibah.
2.
Dibolehkannya ghibah ini
adalah karena darurat. Oleh karena itu ghibah tersebut diukur sesuai dengan
ukurannya (seperlunya saja –pent). Maka tidak boleh berluas-luas terhadap
bentuk-bentuk di atas (yang dibolehkan ghibah). Bahkan hendaknya orang yang
terkena darurat ini (sehingga dia dibolehkan ghibah –pent) untuk bertaqwa
kepada Allah dan janganlah dia menjadi termasuk orang-orang yang melampaui
batas. [33]
Maroji’ :
- Kitab As-Somt, karya Ibnu Abi Dunya tahqiq Syaikh Abu Ishaq Al-Huwainy
- Syarah Riadlus Solihin, karya Syaikh Utsaimin, jilid 1, Bab Taubat
- Taisir Karimir Rohman, karya Syaikh Nasir As-Sa’di
- Bahjatun Nadzirin syarah riadlus sholihin, Karya Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly, jilid 3
- Tafsir Ibnu Katsir, jilid 4, tafsir surat Al-Hujurot
- Al-Muntaqo Al-Mukhtar min kitab Al-Adzkar (Nawawi), karya Muhammad Ali As-Shobuni, bab tahrimul ghibah
- Tuhfatul Ahwadzi
- Kitabuz Zuhud, karya Imam Waki’ bin Jarroh, tahqiq Abdul Jabbar Al-Fariwai, jilid 3
- Subulus Salam, karya As-Shon’ani, jilid 4 bab tarhib min masawiil akhlaq.
- Taudlihul Ahkam, karya Syaikh Ali Bassam, jilid 6
- Hajrul Mubtadi’, karya Syaikh Bakr Abu Zaid
[1] (Taisir karimir Rohman tafsir surat Al-Hujurot :12)
[2]
(Riwayat Bukhori dalam Al-adab Al-Mufrod no 736,
lihat Kitab As-Somt no 177, berkata Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini: "Isnadnya shohih", sedangkan tambahan yang ada
dalam dua tanda kurung terdapat dalam kitab Az-Zuhud hal 748)
[4]
(Muslim no 2589, Abu Dawud no 4874, At-Tirmidzi
no 1999 dan lain-lain)
[5] (Lihat Kitab As-Somt no 211, berkata Syaikh Abu Ishaq
Al-Huwaini : “Rijalnya tsiqoh”)
[6]
(Bahjatun Nadzirin 3/6)
[7] (Riwayat Abu Dawud no 4875 dan Ahmad (6/189,206), berkata Syaikh
Abu Ishaq : “Isnadnya shohih”)
[8] (yaitu merubah rasanya atau baunya karena saking busuk dan kotornya
perkataan itu –pent, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Salim Al-Hilali
dalam Bahjatun Nadzirin 3/25, dan hadits ini shohih, riwayat Abu Dawud no 4875,
At-Thirmidzi 2502 dan Ahmad 6/189)
[9] (Kitab As-Somt no 213,753,
berkata Syaikh Abu Ishaq Al-Huwwaini: “Rijalnya tsiqoh”)
[11] (maksudnya walaupun saya mendapatkan kedunaiaan yang banyak).
(Hadits Shohih, riwayat Abu Dawud no 4875, At-Thirmidzi 2502 dan Ahmad 6/189)
[14] (Subulus salam 4/299 dan Taudhilhul Ahkam 6/328).
[15] (Subulus salam 4/299)
[16] (Bahjatun Nadzirin 3/47)
[17] (Riwayat Ahmad (3/223), Abu Dawud (4878,4879), berkata Syaikh Abu
ishaq Al-Huwaini : Isnadnya shohih, lihat kitab As-Somt hadits no 165 dan 572)
[18] (Subulus Salam 4/299)
[19] (Taisir karimir Rohman, tafsir surat Al-Hujurot 12)
[20]
(Bahjatun Nadzirin 3/29,30)
[21] (Riwayat
At-Tirmidzi 1931 dan Ahmad 6/450, berkata Syaikh Salim Al-Hilali : “Shohih atau
hasan”)
[22] (Syarah
Riyadlus Sholihin 1/78) (Sedangkan hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Abi Dunya
dalam kitab Ash-Shomt no 291, berkata Syaikh Abu Ishaq : “Maudlu”, berkata
As-Subki :”Dalam sanad hadits ini ada rowi yang tidak bisa dijadikan hujjah,
dan kaidah-kaidah fiqh telah menolak (isi) hadits ini karena dia adalah
(menyangkut) hak seorang manusia maka tidak bisa gugur kecuali dengan berlepas
diri, oleh karena itu dia (si pengghibah) harus meminta penghalalan/perelaan
dari yang dighibahi. Namun jika yang dighibahi telah mati dan tidak bisa
dilaksanakan (permohonan penghalalan tersebut), maka berkata sebagian ulama :
“Dia (si pengghibah) memohon ampunan untuk yang dighibahi”).
[24] (Riwayat Thirmidzi 2004,
Ahmad (2/291,292), dan lain-lain. Berkata Syaikh Salim Al-Hilali : “Isnadnya
hasan”)
[25] (Tuhfatul Ahwadzi hal 63)
[26] (Bahjatun Nadzirin 3/33).
[27] Ini adalah perkataan As-Syaukani. Namun hal ini dibantah oleh
Syaikh Salim, yaitu bahwasanya ayat ini (An-Nisa’ 148) menunjukan hanyalah
dibolehkan orang yang didzolimi mencela orang yang mendzoliminya jika dihadapan
orang tersebut. Adapun mengghibahnya (mencelanya dihadapan manusia, tidak
dihadapannya) maka ini tidak boleh karena bertentangan dengan ayat Al-Hujurot
12 dan hadits-hadits yang shohih yang jelas melarang ghibah. Karena ghibah
hanya dibolehkan jika dalam dhorurot. (Bahjatun Nadzirin 3/36,37)
[29] Sebagaimana yang dilakukan oelh para salaf ketika memperingatkan
umat dari bahayanya para ahlul bid’ah, berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
tentang penjelasan wajibnya nasihat untuk memperbaiki Islam dan kaum muslimin
:”..Seperti para imam kebid’ahan yaitu orang-orang yang mengucapkan
perkataan-perkataan yang menyimpang dari Kitab dan Sunnah atau yang telah melakukan
ibadah-ibadah yang menyimpang dari Kitab dan Sunnah, maka menjelaskan keadaan
mereka dan memperingatkan umat dari (bahaya) mereka adalah wajib dengan
kesepakatan kaum muslimin. Hingga dikatakan kepada Imam Ahmad :.”Seorang
laki-laki puasa dan sholat dan beri’tikaf lebih engkau sukai atau membicarakan
tentang (kejelekan) ahlul bid’ah ?”. Maka beliau menjawab :” Jika
laki-laki itu sholat dan i’tikaf maka hal itu (kemanfaaatannya) adalah untuk
dirinya sendiri, dan jika dia membicarakan (kejelekan) ahlul bid’ah maka hal
ini adalah demi kaum muslimin, maka hal ini (membicarkan kejelekan ahlul
bid’ah) lebih baik.” Maka Imam Ahmad telah menjelaskan bahwasanya hal
ini (membicarakan ahlul bid’ah) bermanfaat umum bagi kaum muslimin dalam agama
mereka dan termasuk jihad fi sabilillah dan pada agama-Nya dan manhaj-Nya serta
syari’at-Nya. Dan menolak kekejian dan permusuhan ahlul bid’ah atas hal itu
adalah wajib kifayah dengan kesepakatan kaum muslimin. Kalaulah bukan karena
orang-orang yang telah Allah tegakkan untuk menghilangkan kemudhorotan para
ahlul bid’ah ini maka akan rusak agama ini, yang kerusakannya lebih parah dari
pada kerusakan (yang timbul) akibat dikuasai musuh dari ahlul harbi (orang
kafir yang menyerang-pent). Karena musuh-musuh tersebut tidaklah merusak hati
dan agama yang (telah tertanam) dalam hati kecuali hanya belakangan. Sedangkan
para ahlul bid’ah mereka merusak hati sejak semula. (Al-fatawa 26/131,232,
lihat Hajrul Mubtadi’ hal 9)
[30] Dan ini merupakan tafsir dari riwayat :(ia tidak pernah melepaskan
tongkatnya dari bahunya)
[31] (Riwayat Bukhori dan Muslim no 2591), As-Syaukani
menjelaskan bahwasanya dalil ini tidaklah tepat untuk membolehkan menggibahi
orang yang menampakkan kefasikannya. Sebab ucapan (ia adalah sejahat-jahat
orang yang ditengah kaumnya) berasal dari Nabi r, kalau benar ini adalah ghibah maka tidak boleh kita
mengikutinya sebab Allah dan Nabi r telah melarang ghibah dalam hadits-hadits yang
banyak. Dan karena kita tidak mengetahui hakikat dan inti dari perkara ini. Dan
juga, pria yang disinggung oleh Nabi r tersebut ternyata hanya Islam secara dzohir sedangkan
keadaannya goncang dan masih ada atsar jahiliah pada dirinya. (Penjelasan yang
lebih lengkap lihat Bahjatun Nadzirin 3/46)
[32] (Bahjatun Nadzirin 3/35). As-Syaukani menjelaskan :Jika yang tujuan
menyebutkan aib-aib orang yang berbuat dzolim ini untuk memperingatkan manusia
dari bahayanya, maka telah masuk dalam bagian ke empat. Dan kalau tujuannya
adalah untuk mencari bantuan dalam rangka menghilangkan kemungkaran, maka inipun
telah masuk dalam bagian ke dua. Sehingga menjadikan bagian kelima ini menjadi
bagian tersendiri adalah kurang tepat.(Bahjatun Nadzirin 3/45,46)
[33] (Bahjatun Nadzirin 4/35,36)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar yang sopan