Usaha

 photo cooltext934587768.png
Home » » SERTIFIKASI, PROFESIONALISME GURU

SERTIFIKASI, PROFESIONALISME GURU


SERTIFIKASI, PROFESIONALISME GURU
Oleh: Dr. H. Endang Komara, M.Si.


Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) disahkan pada Desember 2005, sertifikasi menjadi istilah yang sangat populer dan menjadi topik pembicaraan yang hangat pada setiap pertemuan, baik di kalangan akademisi, guru maupun masyarakat. Dengan diberlakukan UUGD minimal memiliki tiga fungsi. Pertama sebagai landasan yuridis bagi guru dari perbuatan semena-mena dari siswa, orang tua dan masyarakat. Kedua untuk meningkatkan profesionalisme guru. Ketiga untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Baik yang berstatus sebagai pegawai negeri (PNS) ataupun non PNS.
UUGD seakan menjadi ‘angin surga’ bagi guru di seluruh wilayah Indonesia yang notabene termasuk kelompok yang masih perlu peningkatan dari sisi finansial dan penghargaan profesinya. Namun, persepsi seperti itu cenderung berpotensi menyesatkan arah perhelatan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan di negeri tercinta ini. Mengapa demikian? Sebab hal ikhwal yang terkait dengan sertifikasi dan upaya peningkatan kesejahteraan guru harus diletakkan dalam kerangka peningkatan mutu pendidikan, baik dari sisi proses (layanan) maupun hasil (luaran) pendidikan. Kerangka pikir dan landasan peningkatan mutu pendidikan sebagaimana termaktub dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP).
Guru sebagai agen pembelajaran di Indonesia diwajibkan memenuhi tiga persyaratan seperti dijelaskan oleh Muchlas Samani (2006:7), yaitu kualifikasi pendidikan minimum, kompetensi, dan sertifikasi pendidik. Ketiga persyaratan untuk menjadi guru sesuai dengan Pasal 1 butir (12) UUGD yang menyebutkan bahwa sertifikat pendidik merupakan bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional. Sementara itu, pada Pasal 11 ayat (1) juga disebutkan bahwa sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan. Untuk itu, guru dapat memperoleh sertifikat pendidik jika telah memenuhi dua syarat, yaitu kualifikasi pendidikan minimum yang ditentukan (diploma-D4/sarjana S1) dan terbukti telah menguasai kompetensi tertentu. Untuk itu, sebenarnya syarat untuk menjadi guru bila dicermati lebih dalam hanya ada dua, yaitu kualifikasi akademik minimum (ijazah D4/S1) dan penguasaan kompetensi minimal sebagai guru yang dibuktikan dengan sertifikat pendidik adalah bukti formal dari pemenuhan dua syarat di atas, yaitu kualifikasi akademik minimum dan penguasaan kompetensi minimal sebagai guru.
Guru memiliki peran yang strategis dalam bidang pendidikan, bahkan sumberdaya pendidikan lain yang memadai seringkali kurang berarti apabila tidak disertai dengan kualitas guru yang memadai. Begitu juga yang terjadi sebaliknya, apabila guru berkualitas kurang ditunjang oleh sumberdaya pendukung yang lain yang memadai, juga dapat menyebabkan kurang optimal kinerjanya. Dengan kata lain, guru merupakan ujung tombak dalam upaya peningkatan kualitas layanan dan hasil pendidikan. Dalam berbagai kasus, kualitas sistem pendidikan secara keseluruhan berkaitan dengan kualitas guru (Beeby, 1969). Untuk itu, peningkatan kualitas pendidikan harus dilakukan melalui upaya peningkatan kualitas guru. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa kualitas guru di Indonesia masih tergolong relatif rendah. Hal ini antara lain disebabkan oleh tidak terpenuhinya kualitas pendidikan minimal. Data dari Direktorat Tenaga Kependidikan Dikdasmen Depdiknas pada tahun 2004 menunjukkan terdapat 991.243 (45,96%) guru SD, SMP dan SMA yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal.
Sebagai gambaran rinci keadaan kualifikasi pendidikan minimal guru di Indonesia sebagai berikut: Guru TK yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal sebesar 119.470 (78,1%) dengan sebagian besar 32.510 orang berijazah SLTA. Di tingkat SD, guru yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal sebesar 391.507 (34%) yang meliputi sebanyak 378.740 orang berijazah SMA dan sebanyak 12.767 orang berijazah D1. Di tingkat SMP, jumlah guru yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal sebesar 317.112 (71,2%) yang terdiri atas 130.753 orang berijazah D1 dan 82.788 orang berijazah D2. Begitu juga di tingkat SMA, terdapat 87.133 (46,6%) guru yang belum memiliki kualifikasi pendidikan minimal, yakni sebanyak 164 orang berijazah D1, 15.589 orang berijazah D2, dan 71.380 orang berijazah D3.
     Gambaran jumlah guru yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal tersebut akan semakin besar persentasenya bila dilihat dari persyaratan kualifikasi pendidikan minimal guru yang dituntut oleh PP No. 19/2005 tentang SNP. Di samping itu, pada Pasal 28 PP tersebut, juga mempersyaratkan seorang guru harus memenuhi kompetensi minimal sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan anak usia dini, dasar, dan menengah. Kompetensi sebagai agen pembelajaran ini meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial.
Isi Pasal 1 butir (11) UUGD menyebutkan bahwa sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru dan dosen. Tentu saja dengan logika bahwa yang bersangkutan terbukti telah menguasai kedua hal yang dipersyaratkan di atas (kualifikasi pendidikan minimum dan penguasaan kompetensi guru). Untuk kualifikasi pendidikan minimum, buktinya dapat diperoleh melalui ijazah (D4/S1). Namun sertifikat pendidik sebagai bukti penguasaan kompetensi minimal sebagai guru harus dilakukan melalui suatu evaluasi yang cermat dan komprehensif dari aspek-aspek pembentuk sosok guru yang kompeten dan profesional. Tuntutan evaluasi yang cermat dan komprehensif ini berlandaskan pada isi Pasal 11 ayat (3) UUGD yang menyebutkan bahwa sertifikasi pendidik dilaksanakan secara objektif, transparan, dan akuntabel. Jadi sertifikasi guru dari sisi proses akan berbentuk uji kompetensi yang cermat dan komprehensif. Jika seorang guru/calon guru dinyatakan lulus dalam uji kompetensi ini, maka dia berhak memperoleh sertifikat pendidik.
Sertifikasi guru bertujuan untuk menentukan tingkat kelayakan seorang guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran di sekolah dan sekaligus memberikan sertifikat pendidik bagi guru yang telah memenuhi persyaratan dan lulus uji sertifikasi. Adapun manfaat uji sertifikasi sebagai berikut. Pertama, melindungi profesi guru dari praktik layanan pendidikan yang tidak kompeten sehingga dapat merusak citra profesi guru itu sendiri. Keduai, melindungi masyarakat dari praktik pendidikan yang tidak berkualitas dan profesional yang akan menghambat upaya peningkatan kualitas pendidikan dan penyiapan sumberdaya manusia di negeri ini. Ketiga, menjadi wahana penjamin mutu bagi LPTK yang bertugas mempersiapkan calon guru dan juga berfungsi sebagai kontrol mutu bagi pengguna layanan pendidikan. Keempat, menjaga lembaga penyelenggara pendidikan dari keinginan internal dan eksternal yang potensial dapat menyimpang dari ketentuan yang berlaku.
Bentuk uji kompetensi dalam pelaksanaan sertifikasi guru. Wacana yang berkembang dalam penyusunan Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) Guru, uji kompetensi tersebut terdiri atas dua bagian, yaitu: (1) ujian tertulis dan (2) ujian kinerja. Untuk melengkapi kedua jenis tersebut, peserta sertifikasi juga akan diminta untuk menyusun self appraisal dan portofolio.
  Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. Untuk meyakinkan bahwa guru sebagai pekerjaan profesional maka syarat pokok pekerjaan profesional menurut Wina Sanjaya (2005:142-143): (1) pekerjaan profesional ditunjang oleh suatu ilmu tertentu secara mendalam yang hanya mungkin didapatkan dari lembaga pendidikan yang sesuai, sehingga kinerjanya didasarkan kepada keilmuan yang dimilikinya yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah; (2) suatu profesi menekankan kepada suatu keahlian dalm bidang tertentu yang spesifik sesuai dengan jenis profesinya, sehingga antara profesi yang satu dengan yang lainnya dapat dipisahkan secara tegas; (3) tingkat kemampuan dan keahlian suatu profesi didasarkan kepada latar belakang pendidikan yang dialaminya yang diakui oleh masyarakat, sehingga semakin tinggi latar belakang pendidikan akademik sesuai dengan profesinya, semakin tinggi pula tingkat keahliannya dengan demikian semakin tinggi pula tingkat penghargaan yang diterimanya; (4) suatu profesi selain dibutuhkan oleh masyarakat juga memiliki dampak terhadap sosial kemasyarakatan, sehingga masyarakat memiliki kepekaan yang sangat tinggi terhadap efek yang ditimbulkan dari pekerjaan profesinya. Sebagai suatu profesi, kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru, yaitu kompetensi pribadi, kompetensi profesional dan kompetensi sosial kemasyarakatan.
Melalui sertifikasi diharapkan dapat dipilah mana guru yang profesional mana yang tidak sehingga yang berhak menerima tunjangan profesi adalah guru profesional yang bercirikan berilmu pengetahuan, berlaku adil, berwibawa dan menguasai bidang yang ditekuninya. Semoga.
REFERENSI

Direktorat P2TK dan KPT, Ditjen Dikti, Depdiknas R.I. 2004. Standar Kompetensi Guru Pemula PGSMK. Jakarta.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Samani, Muchlas, dkk. 2006. Mengenai Sertifikasi Guru di Indonesia. Surabaya: SIC.
Sanjaya, Wina. 2005. Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Prenada Media.
Tim Sertifikasi Guru dan Lulusan. 2006. Bahan Sosialisasi Sertifikasi Guru. Jakarta: Direktorat Ketenagaan, Ditjen Pendidikan Tinggi.



Upaya Meningkatkan Profesionalisme Guru

Oleh Dede Mohamad Riva, S.Pd.
Guru profesional seharusnya memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogis, kognitif, personaliti, dan sosial. Oleh karena itu, selain terampil mengajar, seorang guru juga memiliki pengetahuan yang luas, bijak, dan dapat bersosialisasi dengan baik.
Profesi guru dan dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang memerlukan prinsip-prinsip profesional. Mereka harus (1) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme, (2) memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan yang sesuai dengan bidang tugasnya, (3) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya.
Di samping itu, mereka juga harus (4) mematuhi kode etik profesi, (5) memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas, (6) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerjanya, (7) memiliki kesempatan untuk mengembangkan profesinya secara berkelanjutan, (8) memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas profesionalnya, dan (9) memiliki organisasi profesi yang berbadan hukum (sumber UU tentang Guru dan Dosen).
Bila kita mencermati prinsip-prinsip profesional di atas, kondisi kerja pada dunia pendidikan di Indonesia masih memiliki titik lemah pada hal-hal berikut. (1) Kualifikasi dan latar belakang pendidikan tidak sesuai dengan bidang tugas. Di lapangan banyak di antara guru mengajarkan mata pelajaran yang tidak sesuai dengan kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan yang dimilikinya.
(2) Tidak memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai bidang tugas. Guru profesional seharusnya memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogis, kognitif, personaliti, dan sosial. Oleh karena itu, seorang guru selain terampil mengajar, juga memiliki pengetahuan yang luas, bijak, dan dapat bersosialisasi dengan baik. (3) Penghasilan tidak ditentukan sesuai dengan prestasi kerja.
Sementara ini guru yang berprestasi dan yang tidak berprestasi mendapatkan penghasilan yang sama. Memang benar sekarang terdapat program sertifikasi. Namun, program tersebut tidak memberikan peluang kepada seluruh guru. Sertifikasi hanya dapat diikuti oleh guru-guru yang ditunjuk kepala sekolah yang notabene akan berpotensi subjektif.
(4) Kurangnya kesempatan untuk mengembangkan profesi secara berkelanjutan. Banyak guru yang terjebak pada rutinitas. Pihak berwenang pun tidak mendorong guru ke arah pengembangan kompetensi diri ataupun karier. Hal itu terindikasi dengan minimnya kesempatan beasiswa yang diberikan kepada guru dan tidak adanya program pencerdasan guru, misalnya dengan adanya tunjangan buku referensi, pelatihan berkala, dsb.
Profesionalisme dalam pendidikan perlu dimaknai he does his job well. Artinya, guru haruslah orang yang memiliki insting pendidik, paling tidak mengerti dan memahami peserta didik. Guru harus menguasai secara mendalam minimal satu bidang keilmuan. Guru harus memiliki sikap integritas profesional. Dengan integritas barulah, sang guru menjadi teladan atau role model.
Menyadari banyaknya guru yang belum memenuhi kriteria profesional, guru dan penanggung jawab pendidikan harus mengambil langkah. Hal-hal yang dapat dilakukan di antaranya (1) penyelenggaraan pelatihan. Dasar profesionalisme adalah kompetensi. Sementara itu, pengembangan kompetensi mutlak harus berkelanjutan. Caranya, tiada lain dengan pelatihan.
(2) Pembinaan perilaku kerja. Studi-studi sosiologi sejak zaman Max Weber di awal abad ke-20 dan penelitian-penelitian manajemen dua puluh tahun belakangan bermuara pada satu kesimpulan utama bahwa keberhasilan pada berbagai wilayah kehidupan ternyata ditentukan oleh perilaku manusia, terutama perilaku kerja.
(3) Penciptaan waktu luang. Waktu luang (leisure time) sudah lama menjadi sebuah bagian proses pembudayaan. Salah satu tujuan pendidikan klasik (Yunani-Romawi) adalah menjadikan manusia makin menjadi "penganggur terhormat", dalam arti semakin memiliki banyak waktu luang untuk mempertajam intelektualitas (mind) dan kepribadian (personal).
(4) Peningkatan kesejahteraan. Agar seorang guru bermartabat dan mampu "membangun" manusia muda dengan penuh percaya diri, guru harus memiliki kesejahteraan yang cukup.
Penulis, guru SMP Negeri 3 Kota Bogor, pemenang II lomba penulisan yang diselenggarakan AGP-PGRI Jawa Barat 2007/2008.
Penulis:

Profesionalisme Guru Menuju Sertifikasi

Oleh Ade Sofyandi, S.Pd.
SALAH satu alternatif yang paling strategis dalam memecahkan masalah pendidikan bangsa adalah membangun landasan pendidikan yang kokoh dan terkontrol, yaitu pembangunan profesionalisme pendidik (Suherdi, 2007).
Pembangunan profesionalisme pendidik telah menjadi perhatian pemerintah, di antaranya dengan diterbitkannya Undang-Undang RI No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang RI No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, serta Peraturan Pemerintah RI No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional.
Salah satu syarat guru sebagai pendidik profesional adalah memiliki kualifikasi akademik dan menguasai kompetensi sebagai agen pembelajaran. Hal tersebut erat kaitannya dengan sertifikasi guru sebagai salah satu upaya peningkatan mutu guru dan dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan guru sehingga diharapkan dapat meningkatkan mutu pembelajaran dan mutu pendidikan di Indonesia secara menyeluruh dan berkelanjutan.
Untuk mencapai kualifikasi akademik yang dipersyaratkan di dalam sertifikasi, para guru termotivasi untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang S-1 di sela-sela kesibukannya mengajar meskipun dengan biaya sendiri.
Ketika keran sertifikasi guru dibuka, mulailah para guru mengumpulkan dan melengkapi beberapa persyaratan administratif untuk portofolio. Sambil menyusun portofolio, dalam benak terbayang, gaji yang sangat besar dan pemanfaatannya sudah terperinci. Bahkan, ada salah seorang guru akan membuat "kamar khusus" dan brankas untuk menyimpan gaji dari sertifikasi guru yang tidak akan diganggu dalam beberapa tahun sebagai dana abadi. Itulah kira-kira yang dilakukan para guru ketika sertifikasi guru dibuka.
Pada saat pengumpulan bukti fisik, kendala mulai terasa karena tidak semua kegiatan memiliki surat keterangan atau piagam dan tanda penghargaan. Selain itu, dokumen yang sudah ada pun tidak lengkap karena kurang baik dalam hal pendokumentasian dan kearsipan sehingga ketika harus melengkapi persyaratan menjadi kelabakan. Akhirnya surat-surat keterangan "serbadadakan".
Kendala yang paling besar yaitu karya tulis ilmiah. Kemampuan untuk pengembangan profesi seperti pembuatan karya ilmiah dan sejenisnya menjadi hambatan terbesar dan merupakan masalah tersendiri. Hal tersebut dialami juga pada sistem penetapan angka kredit. Salah satu buktinya adalah menumpuknya golongan IV/a yang akan naik ke IV/b.
Meskipun ada berbagai kendala, tetapi portofolio berhasil dikumpulkan. Hasilnya pun seperti telah diperkirakan sebelumnya, ternyata yang lolos sertifikasi tidak terlalu banyak. Yang lolos tersebut tentunya adalah guru-guru yang memiliki produktivitas serta profesionalisme yang tinggi sehingga bagi mereka tidak akan sulit untuk memperoleh skor minimal 850, bahkan lebih.
Tentunya para guru yang lolos sertifikasi tersebut tidak lepas dari jasa-jasa dan perjuangan para guru yang sebentar lagi akan menghadapi pensiun dan kebetulan belum memiliki kualifikasi akademik yang dipersyaratkan. Oleh karena itu, diharapkan ada kebijakan lain, tetapi tetap menunjung aspek profesionalisme.
Sementara bagi guru-guru yang masih relatif muda, didorong untuk dapat mengembangkan profesionalisme dan meningkatkan produktivitasnya. Selain itu, perlu diberi kesempatan yang sama kepada setiap guru untuk mengembangkan karier dan keahliannya.
Dengan demikian, sertifikasi profesi guru bukanlah menjadi sesuatu yang mustahil diraih, tetapi sesuatu yang mesti diraih. Sertifikasi adalah bukan hak yang mesti setiap orang dapat menerima dan meraihnya, tetapi merupakan penghargaan bagi para guru yang telah mengabdi bagi dunia pendidikan dengan penuh tanggung jawab sebagai seorang profesional.***
Penulis, guru SDN Karamatwangi II, Kec. Cisurupan Kabupaten Garut, pemenang IV lomba menulis yang diselenggarakan AGP-PGRI Jawa Barat 2007/2008.
Penulis:

SIKAP DAN PERILAKU GURU YANG PROFESIONAL
Judul: SIKAP DAN PERILAKU GURU YANG PROFESIONAL
Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan bagian PENDIDIKAN / EDUCATION.
Nama & E-mail (Penulis): Rustantiningsih
Saya Guru di SDN Anjasmoro 02 Semarang
Topik: Pendidikan Sikap
Tanggal: 3 Agustus 2007
BAB IPENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah

Guru merupakan sosok yang begitu dihormati lantaran memiliki andil yang sangat besar terhadap keberhasilan pembelajaran di sekolah. Guru sangat berperan dalam membantu perkembangan peserta didik untuk mewujudkan tujuan hidupnya secara optimal. Ketika orang tua mendaftarkan anaknya ke sekolah, pada saat itu juga ia menaruh harapan terhadap guru, agar anaknya dapat berkembang secara optimal (Mulyasa, 2005:10).
Minat, bakat, kemampuan, dan potensi peserta didik tidak akan berkembang secara optimal tanpa bantuan guru. Dalam kaitan ini guru perlu memperhatikan peserta didik secara individual. Tugas guru tidak hanya mengajar, namun juga mendidik, mengasuh, membimbing, dan membentuk kepribadian siswa guna menyiapkan dan mengembangkan sumber daya manusia (SDM).
Ironisnya kekawatiran di dunia pendidikan kini menyeruak ketika menyaksikan tawuran antar pelajar yang bergejolak dimana-mana. Ada kegalauan muncul kala menjumpai realitas bahwa guru di sekolah lebih banyak menghukum daripada memberi reward siswanya. Ada kegundahan yang membuncah ketika sosok guru berbuat asusila terhadap siswanya.
Dunia pendidikan yang harusnya penuh dengan kasih sayang, tempat untuk belajar tentang moral, budi pekerti justru sekarang ini dekat dengan tindak kekarasan dan asusila. Dunia yang seharusnya mencerminkan sikap-sikap intelektual, budi pekerti, dan menjunjung tinggi nilai moral, justru telah dicoreng oleh segelintir oknum pendidik (guru) yang tidak bertanggung jawab. Realitas ini mengandung pesan bahwa dunia guru harus segera melakukan evaluasi ke dalam. Sepertinya, sudah waktunya untuk melakukan pelurusan kembali atas pemahaman dalam memposisikan profesi guru.
Kesalahan guru dalam memahami profesinya akan mengakibatkan bergesernya fungsi guru secara perlahan-lahan. Pergeseran ini telah menyebabkan dua pihak yang tadinya sama-sama membawa kepentingan dan salng membutuhkan, yakni guru dan siswa, menjadi tidak lagi saling membutuhkan. Akibatnya suasana belajar sangat memberatkan, membosankan, dan jauh dari suasana yang membahagiakan. Dari sinilah konflik demi konflik muncul sehingga pihak-pihak didalamnya mudah frustasi lantas mudah melampiaskan kegundahan dengan cara-cara yang tidak benar.
Untuk itulah makalah ini saya susun sebagai bahan kajian bagi guru atau pendidik agar dapat berperilaku dan bersikap profesional dalam menjalankan tugas mulia ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas maka permasalahan yang hendak dikaji adalah:
1. Bagaimana sikap dan perilaku guru yang profesional itu?
2. Mengapa sikap dan perilaku guru bisa menyimpang?
C. Manfaat dan Tujuan
1. Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk:
a. Mendeskripsikan penyebab sikap dan perilaku guru bisa menyimpang.
b. Mendeskripsikan sikap dan perilaku guru yang profesional.
2. Manfaat penyusunan makalah ini secara:
a. Teoretis, untuk mengkaji sikap dan perilaku guru yang profesional.
b. Praktis, bermanfaat bagi: (1) para pendidik agar pendidik dapat bersikap dan berperilaku profesional, (2) para kepala sekolah, untuk memberikan pembinaan kepada para pendidik.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar Sikap dan Perilaku
Thursthoen dalam Walgito (1990: 108) menjelaskan bahwa, sikap adalah gambaran kepribadian seseorang yang terlahir melalui gerakan fisik dan tanggapan pikiran terhadap suatu keadaan atau suatu objek. Berkowitz, dalam Azwar (2000:5) menerangkan sikap seseorang pada suatu objek adalah perasaan atau emosi, dan faktor kedua adalah reaksi/respon atau kecenderungan untuk bereaksi. Sebagai reaksi maka sikap selalu berhubungan dengan dua alternatif, yaitu senang (like) atau tidak senang (dislike), menurut dan melaksanakan atau menjauhi/menghindari sesuatu.
Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa sikap adalah kecenderungan, pandangan, pendapat atau pendirian seseorang untuk menilai suatu objek atau persoalan dan bertindak sesuai dengan penilaiannya dengan menyadari perasaan positif dan negatif dalam menghadapi suatu objek.
Struktur sikap siswa terhadap konselor terdiri dari tiga komponen yang terdiri atas:
1. Komponen kognitif
Komponen ini berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, dan keyakinan tentang objek. Hal tersebut berkaitan dengan bagaimana orang mempersepsi objek sikap.
2. Komponen afektif
Komponen afektif terdiri dari seluruh perasaan atau emosi seseorang terhadap sikap. Perasaan tersebut dapat berupa rasa senang atau tidak senang terhadap objek, rasa tidak senang merupakan hal yang negatif.. komponen ini menunjukkan ke arah sikap yaitu positif dan negatif. Komponen afektif menyangkut masalah emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek sikap (Azwar, 2000:26), secara umum komponen afektif disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu. Namun pengertian perasaan pribadi seringkali sangat berbeda perwujudannya bila dikaitkan dengan sikap.
3. Komponen konatif
Komponen ini merupakan kecenderungan seseorang untuk bereaksi, bertindak terhadap objek sikap. Komponen ini menunjukkan intensitas sikap, yaitu besar kecilnya kecenderungan bertindak atau berperilaku seseorang terhadap objek sikap. Komponen-komponen tersebut di atas merupakan komponen yang membentuk struktur sikap. Ketiga komponen tersebut saling berhubungan dan tergantung satu sama lain. Saling ketergantungan tersebut apabila seseorang menghadapi suatu objek tertentu, maka melalui komponen kognitifnya akan terjadi persepsi pemahaman terhadap objek sikap. Hasil pemahaman sikap individu mengakui dapat menimbulkan keyakinan-keyakinan tertentu terhadap suatu objek yang dapat berarti atau tidak berarti. Dalam setiap individu akan berkembang komponen afektif yang kemudian akan memberikan emosinya yang mungkin positif dan mungkin negatif. Bila penilaiannya positif akan menimbulkan rasa senang, sedangkan penilaian negatif akan menimbulkan perasaan tidak senang. Akhirnya berdasarkan penilaian tersebut akan mempengaruhi konasinya, melalui inilah akan mendapat diketahui apakah individu ada kecenderungan bertindak dalam bertingkah laku, baik hanya secara lisan maupun bertingkah laku secara nyata.
Katz (dalam Walgito, 1990:110) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai empat fungsi, yaitu:
1. Fungsi instrumental atau fungsi penyesuaian, atau fungsi manfaat.
Fungsi ini berkaitan dengan sarana tujuan. Di sini sikap merupakan sarana untuk mencapai tujuan. Orang memandang sampai sejauh mana objek sikap dapat digunakan sebagai sarana dalam mencapai tujuan. Bila objek sikap dapat membantu seseorang dalam mencapai tujuannya, maka orang akan bersikap positif terhadap objek sikap tersebut. Demikian sebaliknya bila objek sikap menghambat dalam pencapaian tujuan, maka orang akan bersikap negatif terhadap objek sikap tersebut. Fungsi ini juga disebut fungsi manfaat, yang artinya sampai sejauh mana manfaat objek sikap dalam mencapai tujuan. Fungsi ini juga disebut sebagai fungsi penyesuaian, artinya sikap yang diambil seseorang akan dapat menyesuaikan diri secara baik terhadap sekitarnya.
2. Fungsi pertahanan ego
Ini merupakan sikap yang diambil oleh seseorang demi untuk mempertahankan ego atau akunya. Sikap diambil seseorang pada waktu orang yang bersangkutan terancam dalam keadaan dirinya atau egonya, maka dalam keadaan terdesak sikapnya dapat berfungsi sebagai mekanisme pertahanan ego.
3. Fungsi ekspresi nilai
Sikap yang ada pada diri seseorang merupakan jalan bagi individu untuk mengekspresikan nilai yang ada dalam dirinya. Dengan mengekspresikan diri seseorang akan mendapatkan kepuasan dan dapat menunjukkan keadaan dirinya. Dengan mengambil nilai sikap tertentu, akan dapat menggambarkan sistem nilai yang ada pada individu yang bersangkutan.
4. Fungsi pengetahuan
Fungsi ini mempunyai arti bahwa setiap individu mempunyai dorongan untuk ingin tahu. Dengan pengalamannya yang tidak konsisten dengan apa yang diketahui oleh individu, akan disusun kembali atau diubah sedemikian rupa sehingga menjadi konsisten. Ini berarti bila seseorang mempunyai sikap tertentu terhadap suatu objek, menunjukkan tentang pengetahuan orang tersebut objek sikap yang bersangkutan.
Proses timbulnya atau terbentuknya sikap dapat dilihat pada bagan sikap berikut ini:
Faktor Internal
- Fisiologis
- Psikologis
Objek Sikap
Sikap
Faktor Eksternal
- Pengalaman
- Situasi
- Norma-norma
- Hambatan
- Pendorong
Reaksi
Bagan 1 : Bagan Proses Timbulnya Sikap
Dari bagan di atas tersebut dapat dikembangkan bahwa sikap yang ada pada diri seseorang akan dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu faktor fisiologis dan psikologis serta faktor eksternal. Faktor eksternal dapat berwujud situasi yang dihadapi oleh individu, norma-norma yang ada dalam masyarakat, hambatan-hambatan atau pendorong-pendorong yang ada dalam masyarakat. Semuanya ini akan berpengaruh terhadap sikap yang ada pada diri seseorang.
Sementara itu reaksi yang diberikan individu terhadap objek sikap dapat bersifat positif, tetapi juga dapat bersifat negatif. Sikap yang diambil pada diri individu dapat diikuti dalam bagan berikut ini:
  • Keyakinan
  • Proses Belajar
  • Cakrawala
  • Pengalaman
  • Pengetahuan
  • Objek Sikap
  • Persepsi
  • Faktor- Faktor lingkungan yang berpengaruh
  • Kepribadian
  • Kognisi
  • Afeksi
  • Konasi
  • Sikap
Bagan 2 : Bagan Perseps dikutip dari Mar’at (1982:23) dengan perubahan.
Dilihat dari bagan di atas dapat dijelaskan bahwa sikap akan dipersepsi oleh individu dan hasil persepsi akan dicerminkan dalam sikap yang diambil oleh individu yang bersangkutan. Dalam persepsi objek sikap individu akan dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, keyakinan, proses belajar, dan hasil proses persepsi ini akan merupakan pendapat atau keyakinan individu mengenai objek sikap dan ini berkaitan dengan segi kognisi. Afeksi akan mengiringi hasil kognisi terhadap objek sikap sebagai aspek evaluatif, yang dapat bersifat positif atau negatif. Hasil evaluasi aspek afeksi akan mengait segi konasi, yaitu merupakan kesiapan untuk memberikan respon terhadap objek sikap, kesiapan untuk bertindak dan untuk berperilaku. Keadaan lingkungan akan memberikan pengaruh terhadap objek sikap maupun pada individu yang bersangkutan.
Bringham dalam Azwar (2000:138) menjelaskan tipe ukuran sikap yang paling sering dipakai adalah questioner self-report yang disebut skala sikap dan biasanya meliputi respon setuju atau tidak dalam beberapa kelompok-kelompok. Ukuran self-report mudah digunakan namun ukuran itu dapat memiliki sifat kemenduaan (ambiguity) atau adanya ukuran lain. Sikap dari skala sikap ini adalah isi pernyataan yang berupa pernyataan langsung yang jelas tujuan ukuran atau pernyataan tidak langsung yang kurang jelas untuk tujuan ukurannya bagi responden.
Mengukur sikap bukan suatu hal yang mudah sebab sikap adalah kecenderungan, pandangan pendapat, atau pendirian seseorang untuk meneliti suatu objek atau persoalan dan bertindak sesuai dengan penilaiannya, dengan menyadari perasaan positif dan negatif dalam menghadapi suatu objek. Dalam penelitian sikap, tergantung pada kepekaan dan kecermatan pengukurannya. Perlu diperhatikan metode yang berhubungan dengan pengukuran sikap, bagaimana instrumen itu dapat dikembangkan dan digunakan untuk mengukur sikap. Azwar (2000:90) menjelaskan bahwa, metode yang bisa digunakan untuk pengungkapan sikap yaitu:
1. Observasi perilaku
Kalau seseorang menampakkan perilaku yang konsisten (terulang) misalnya tidak pernah mau diajak nonton film Indonesia, bukanlah dapat disimpulkan bahwa ia tidak menyukai film Indonesia. Orang lain yang selalu memakai baju warna putih, bukankah dia memperlihatkan sikapnya terhadap warna putih. Perilaku tertentu bahkan kadang-kadang sengaja ditampakkan untuk menyembunyikan sikap yang sebenarnya. Dengan demikian, perilaku yang diamati mungkin saja dapat menjadi indikator sikap dalam kontek situasional tertentu, tetapi interpretasi sikap warna sangat berhati-hati apabila hanya didasarkan dari pengamatan terhadap perilaku yang ditampakkan oleh seseorang.
2. Pertanyaan langsung
Asumsi yang mendasari metode pertanyaan langsung guna pengungkapan sikap, pertama adalah asumsi bahwa individu merupakan orang yang paling tahu mengenai dirinya sendiri, dan kedua adalah asumsi keterusterangan bahwa manusia akan mengemukakan secara terbuka apa yang dirasakannya.
3. Pengungkapan langsung
Suatu metode pertanyaan langsung adalah pengungkapan langsung (direct assessment) secara tertulis yang dapat dilakukan dengan menggunakan item tunggal maupun dengan menggunakan item ganda. Prosedur pengungkapan langsung dengan item ganda sangat sederhana. Responden diminta untuk menjawab langsung suatu pernyataan sikap tertulis dengan memberi tanda setuju atau tidak setuju. Penyajian dan pemberian respondennya yang dilakukan secara tertulis memungkinkan individu untuk menyatakan sikap secara lebih jujur. Pengukuran sikap yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pengungkapan langsung yaitu dengan menggunakan skala psikologis yang diberikan pada objek.
B. Sikap dan Perilaku Guru yang Profesional
Pemerintah sering melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas guru, antara lain melalui seminar, pelatihan, dan loka karya, bahkam melalui pendidikan formal bahkan dengan menyekolahkan guru pada tingkat yang lebih tinggi. Kendatipun dalam pelakansaannya masih jauh dari harapan, dan banyak penyimpangan, namun paling tidak telah menghasilkan suatu kondisi yang yang menunjukkan bahwa sebagian guru memiliki ijazah perguruan tinggi.
Latar belakang pendidikan ini mestinya berkorelasi positif dengan kualitas pendidikan, bersamaan dengan faktor lain yang mempengaruhi. Walaupun dalam kenyataannya banyak guru yang melakukan kesalahan-kesalahan. Kesalahan-kesalahan yang seringkali tidak disadari oleh guru dalam pembelajaran ada tujuh kesalahan. Kesalahan-kesalahan itu antara lain:
  1. mengambil jalan pintas dalam pembelajaran,
  2. menunggu peserta didik berperilaku negatif,
  3. menggunakan destruktif discipline,
  4. mengabaikan kebutuhan-kebutuhan khusus (perbedaan individu) peserta didik,
  5. merasa diri paling pandai di kelasnya,
  6. tidak adil (diskriminatif), serta
  7. memaksakan hak peserta didik (Mulyasa, 2005:20).
Untuk mengatasi kesalahan-kesalahan tersebut maka seorang guru yang profesional harus memiliki empat kompetensi. Kompetensi tersebut tertuang dalam Undang-Undang Dosen dan Guru, yakni:
1.      kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik,
2.      kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik,
3.      kompetensi profesional adalah kamampuan penguasaan materi pelajaran luas mendalam,
4.      kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.
Sikap dikatakan sebagai suatu respons evaluatif. Respon hanya akan timbul, apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang dikehendaki adanya reaksi individual. Respon evaluatif berarti bahwa bentuk reaksi yang dinyatakan sebagai sikap itu timbul didasari oleh proses evaluasi dalam diri individu yang memberi kesimpulan terhadap stimulus dalam bentuk nilai baik buruk, positif negati, menyenangkan-tidak menyenangkan, yang kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap objek sikap (Azwar, 2000: 15).
Sedangkan perilaku merupakan bentuk tindakan nyata seseorang sebagai akibat dari adanya aksi respon dan reaksi. Menurut Mann dalam Azwar (2000) sikap merupakan predisposisi evaluatif yang banyak menentukan bagaimana individu bertindak, akan tetapi sikap dan tindakan nyata seringkali jauh berbeda. Hal ini dikarenakan tindakan nyata tidak hanya ditentukan oleh sikap semata namun juga ditentukan faktor eksternal lainnya.
Menurut penuturan R.Tantiningsih dalam Wawasan 14 Mei 2005, ada beberapa upaya yang dapat dilakukan agar beberapa sikap dan perilaku menyimpang dalam dunia pendidikan dapat hindari, diantaranya: Pertama, menyiapakan tenaga pendidik yang benar-benar profesional yang dapat menghormati siswa secara utuh. Kedua, guru merupakan key succes factor dalam keberhasilan budi pekerti. Dari guru siswa mendapatkan action exercise dari pembelajaran yang diberikan. Guru sebagai panutan hendaknya menjaga image dalam bersikap dan berperilaku. Ketiga, Budi pekerti dijadikan mata pelajaran khusus di sekolah. Kempat, adanya kerjasama dan interaksi yang erat antara siswa, guru (sekolah), dan orang tua.
Terkait dengan hal di atas, Hasil temuan dari universitas Harvard bahwa 85 % dari sebab-sebab kesuksesan, pencapaian sasaran, promosi jabatan, dan lain-lain adalah karena sikap-sikap seseorang. Hanya 15 % disebabkan oleh keahlian atau kompetensi teknis yang dimiliki (Ronnie, 2005:62).
Namun sayangnya justru kemampuan yang bersifat teknis ini yang menjadi primadona dalam istisusi pendidikan yang dianggap modern sekarang ini. Bahkan kompetensi teknis ini dijadikan basis utama dari proses belajar mengajar. Jelas hal ini bukan solusi, bahkan akan membuat permasalahan semakin menjadi. Semakin menggelembung dan semakin sulit untuk diatasi.
Menurut Danni Ronnie M ada enam belas pilar agar guru dapat mengajar dengan hati. Keenam belas pilar tersebut menekankan pada sikap dan perilaku pendidik untuk mengembangkan potensi peserta didik. Enam belas pilar pembentukan karakter yang harus dimiliki seorang guru, antara lain:
  1. kasih sayang,
  2. penghargaan,
  3. pemberian ruang untuk mengembangkan diri,
  4. kepercayaan,
  5. kerjasama,
  6. saling berbagi,
  7. saling memotivasi,
  8. saling mendengarkan,
  9. saling berinteraksi secara positif,
  10. saling menanamkan nilai-nilai moral,
  11. saling mengingatkan dengan ketulusan hati,
  12. saling menularkan antusiasme,
  13. saling menggali potensi diri,
  14. saling mengajari dengan kerendahan hati,
  15. saling menginsiprasi,
  16. saling menghormati perbedaan.
Jika para pendidik menyadari dan memiliki menerapkan 16 pilar pembangunan karakter tersebut jelas akan memberikan sumbangsih yang luar biasa kepada masyarakat dan negaranya.
C. Faktor Penyebab Sikap dan Perilaku Guru Menyimpang
Pendidikan merupakan upaya untuk mencerdaskan anak bangsa. Berbagai upaya pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan telah dilaksanakan walapun belum menunjukkan hasil yang optimal. Pendidikan tidak bisa lepas dari siswa atau peserta didik. Siswa merupakan subjek didik yang harus diakui keberadaannya. Berbagai karakter siswa dan potensi dalam dirinya tidak boleh diabaikan begitu saja. Tugas utama guru mendidik dan mengembangkan berbagai potensi itu.
Jika ada pendidik (guru) yang sikap dan perilakunya menyimpang karena dipengaruhi beberapa faktor. Pertama, adanya malpraktik (meminjam istilah Prof Mungin) yaitu melakukan praktik yang salah, miskonsep. Guru salah dalam menerapkan hukuman pada siswa. Apapun alasannya tindakan kekerasan maupun pencabulan guru terhadap siswa merupakan suatu pelanggaran.
Kedua, kurang siapnya guru maupun siswa secara fisik, mental, maupun emosional. Kesiapan fisik, mental, dan emosional guru maupun siswa sangat diperlukan. Jika kedua belah pihak siap secara fisik, mental, dan emosional, proses belajar mengajar akan lancar, interaksi siswa dan guru pun akan terjalin harmonis layaknya orang tua dengan anaknya.
Ketiga, kurangnya penanaman budi pekerti di sekolah. Pelajaran budi pekerti sekarang ini sudah tidak ada lagi. Kalaupun ada sifatnya hanya sebagai pelengkap, lantaran diintegrasikan dengan berbagai mata pelajaran yang ada. Namun realitas di lapangan pelajaran yang didapat siswa kabanyakan hanya dijejali berbagai materi. Sehingga nilai-nilai budi pekerti yang harus diajarkan justru dilupakan.
Selain dari ketiga faktor di atas, juga dipengaruhi oleh tipe-tipe kejiwaan seperti yang diungkapkan Plato dalam “Tipologo Plato”, bahwa fungsi jiwa ada tiga, yaitu: fikiran, kemauan, dan perasaan. Pikiran berkedudukan di kepala, kemauan berkedudukan dalam dada, dan perasaan berkedudukan dalam tubuh bagian bawah. Atas perbedaan tersebut Plato juga membedakan bahwa pikiran itu sumber kebijakasanaan, kemauan sumber keberanian, dan perasaan sumber kekuatan menahan hawa nafsu.
Jika pikiran, kemauan, perasaan tidak sinkron akan menimbulkan permasalahan. Perasaan tidak dapat mengendalikan hawa nafsu, akibatnya kemauan tidak terkendali dan pikiran tidak dapat berpikir bijak. Agar pendidikan di Indonesia berhasil, paling tidak pendidik memahami faktor-faktor tersebut. Kemudian mampu mengantisipasinya dengan baik. Sehingga kesalahan-kesalahan guru dalam sikap dan perilaku dapat dihindari.
Bagaimanapun juga kualitas pendidikan di Indonesia harus mampu bersaing di dunia internasional. Sikap dan perilaku profesional seorang pendidik akan mampu membawa dunia pendidikan lebih berkualitas. Dengan demikian diharapkan mampu mewujudkan tujuan pendidikan nasional Indonesia yaitu membentuk manusia Indonesia seutuhnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sikap dan perilaku guru yang profesional adalah mampu menjadi teladan bagi para peserta didik, mampu mengembangkan kompetensi dalam dirinya, dan mampu mengembangkan potensi para peserta didik. Sikap dan perilaku guru yang profesional mencakup enam belas pilar dalam pembangun karakter. Keenam belas pilar tersebut, yakni kasih sayang, penghargaan, pemberian ruang untuk mengembangkan diri, kepercayaan, kerjasama, saling berbagi, saling memotivasi, saling mendengarkan, saling berinteraksi secara positif, saling menanamkan nilai-nilai moral, saling mengingatkan dengan ketulusan hati, saling menularkan antusiasme, saling menggali potensi diri, saling mengajari dengan kerendahan hati, saling menginsiprasi, saling menghormati perbedaan.
Sikap dan perilaku guru dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang mempengaruhinya berupa faktor eksternal dan internal. Oleh karena itu pendidik harus mampu mengatasi apabila kedua faktor tersebut menimbulkan hal-hal yang negatif.
B. Saran
Para pendidik, calon pendidik, dan pihak-pihak yang terkait hendaknya mulai memahami, menerapkan, dan mengembangkan sikap-sikap serta perilaku dalam dunia pendidikan melalui teladan baik dalam pikiran, ucapan, dan tindakan.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar Saifuddin, 2000. Sikap Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mar’at, 1981. Sikap Manusia Perubahan serta Pengukuran. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Mulyasa, 2005. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ronnie M. Dani, 2005. Seni Mengajar dengan Hati. Jakarta: Alex Media Komputindo.
R. Tantiningsih, 2005. Guru Cengkiling dan Amoral. Koran Harian Sore Wawasan. 14 Mei 2005.
Undang-Undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Jakarta: BP. Media Pustaka Mandiri.
Walgito, Bimo 1990. Psikologi Sosial Suatu Pengantar. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM.

Share this games :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar yang sopan