BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Definisi yang dikenal dalam kehidupan sehari-hari adalah bahwa guru merupakan orang yang harus digugu dan ditiru, dalam hal orang yang memiliki kharisma atau wibawa hingga perlu untuk ditiru dan diteladani. Mengutip pendapat Laurence D. Hazkew dan Jonathan C. Mc Lendon dalam bukunyaThis is Teaching (hal : 10) : “Teacher is professional person who conducs classes” ( Guru adalah seseorang yang mempunyai kemampuan dalam menata dan mengelola kelas). Sedangkan menurut Jean D. Grambs dan C Morris Mc Clare dalam Fondation of teaching, An Introduction to Modern Education (hal :141), “teacher are those person who consciously direct the experiences and behaviour of an individual so that education take place”. (Guru adalah mereka yang secara sadar mengarahkan pengalaman dan tingkah laku dari seorang individu hingga dapat terjadi pendidikan).
Jadi guru adalah orang dewasa yang secara sadar bertanggung jawab dalam mendidik, mengajar, dan membimbing peserrta didik. Orang yang disebut guru adalah orang yang memiliki kemampuan merangsang program pembelajaran serta mampu menata dan mengelola kelas agar peserta didik dapat belajar dan pada akhirnya dapat mencapai tingkat kedewasaan sebagai tujuan akhir dari proses pendidikan.
Sedangkan dalam kegiatan proses pembelajaran tersebut, agar tujuan yang diharapakn dapat tercapai secara maksimal maka guru juga harus memiliki kompetensi dalam mengajar. Kompetensi adalah kekuatan mental dan fisik untuk melakukan tugas atau ketrampilan yang dipelajari melalui latihan dan praktik (JJ. Litrell :310).
Kompetensi guru adalah salah satu faktor yang mempengaruhi tercapainya tujuan pembelajaran dan pendidikan disekolah, namun kompetensi guru tidak berdiri sendiri, tetapi dipengaruhi latar belakang pendidikan, pengalaman mengajar, dan lamanya mengajar. Kompetensi guru dapat dinilai penting sebagai alat seleksi dalam penerimaan calon guru, juga dapat dijadikan sebagai pedoman dalam rangka pembinaan dan pengembangan tenaga guru.Sealain itu, penting dalam hubungannya kegiatan belajar mengajar dan hasil belajar siswa. Dengan kompetensi profesional tersebut, dapat diduga berpengaruh pada proses pengelolaan pendidikan sehingga mampu melahirkan keluaran pendidikan yang bermutu. Keluaran pendidikan yang bermutu dapat dilihat dari hasil langsung pendidikan yang berupa nilai yang dicapai siswa dan dapat juga dilihat dari dampak pengiring, yaitu peserta didik setelah di masyarakat.
1.2 Rumusan Masalah
Banyaknya guru sebagai tenaga pendidik kurang profesional dan kompeten terhadap dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, sehingga mempengaruhi mutu keluaran peserta didik dan kurang optimalnya pencapaian tujuan pendidikan.
1.3 Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui tugas dan tanggung sebagai guru, prinsip-prinsip yang dimiliki oleh seorang guru sehingga guru sebagai pendidik sehingga dapat lebih profesional dan kompeten dalam menjalankan profesinya, untuk dapat melahirkan keluaran pendidikan yang bermutu.
BAB II
KAJIAN
2.1. Hakikat Profesi Dan Kompetensi Guru
Guru merupakan suatu profesi, yang berarti suatu jabatan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang pendidikan. Walaupun pada kenyataanya masih terdapat hal-hal tersebut diluar bidang kependidikan. Untuk seorang guru perlu mengetahui dan dapatmenerapkan beberapa prinsip mengajar agar ia dapat menerapkan beberapa prinsip mengajar agar ia dapat melaksanakan tugasnya secara professional, yaitu sebagai berikut (Dr. H. Hamzah : 16) :
1. Guru harus dapat membangkitkan perhatian peserta didik pada materi pelajaran yang diberikan serta dapat mengggunakan berbagai media dan sumber belajar yang bervariasi.
2. Guru harus dapat membangkitkan minat peserta didik untuk aktif dalam berfikir serta mencari dan menemukan sendiri pengetahuan.
3. Guru harus dapat membuat urutan (sequence) dalam pemberian pelajaran dan penyesuaian dengan usia dan tahapan tugas perkembangan peserta didik.
4. Guru perlu menghubungkan pelajaran yang akan diberikan dengan pengetahuan yang telah dimiliki peserta didik (kegiatan apersepsi), agar peserta didik menjadi lebih mudah dalam memahami pelajaran yang diterimanya.
5. Sesuai dengan prinsip repetisi dalam proses pembelajaran, diharapkan guru dapat menjelaskan unit pelajaran secara berulang-ulang hingga tanggapan peserta didik menjadi jelas.
6. Guru wajib memerhatikan dan memikirkan korelasi antara mata pelajaran dan/atau praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari.
7. Guru harus terus menjaga konsentrasi belajar para peserta didik dengan cara memberikan kesempatan berupa pengalaman secara langsung, mengamati/meneliti, dan menyimpulkan pengetahuan yang didapatnya.
8. Guru harus dapat mengempangkan sikap peserta didik dalam membina hubungan sosial, baik di dalam kelas maupun diluar kelas.
9. Guru harus menyelidiki dan mendalami perbedaan peserta secara individual agar dapat melayani siswa sesuai dengan perbedaan tersebut.
Guru dapat melaksanakan evaluasi yang efektif serta menggunakan hasilnya untuk mengetahui prestasi dan kemajuan siswa seta dapat melakukan perbaikan dan pengembangan.
Seiring dengan perkembangan teknologi informasi yang demikian pesat, guru tidak hanya bertindak sebagai penyaji informasi tetapi juga harus mampu bertindak sebagai fasilitator,motivator dan pembimbing yang lebih banyak memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mencari dan mengelola sendiri informasi. Dengan demikian keahlian guru harus terus dikembangkan dan tidak hanya terbatas pada penguasaan prinsip mengajar seperti telah diuraikan.
Kompetensi guru pada hakikatnya tidak bisa lepas dari konsep hakikat guru dan hakekat tugas guru(Spencer 1993:7). Kompetensi guru mencerminkan tugas dan kewajiban guru yang harus dilakukan sehubungan dengan arti jabatan guru yang menuntut suatu kompetensi tertentu sebagaimana telah disebutkan. Ace Suryadi (1999:298-304) mengemukakan bahwa untuk mencapai taraf kompetensi seorang guru memerlukan waktu lama dan biaya mahal. Ststus kompetensi yang profesional tidak diberikan oleh siapapun, tetapi harus dicapai kelompok profesi bersangkutan. Awalnya tentu harus dibina melalui penguatan landasan profesi, misalnya pembinaan tenaga kependidikan yang sesuai, pengembangan infrastruktur, pelatihan jabatan (in service training) yang memadai, efisiensi dalam sistem perencanaan, serta pembinaan administrasi dan pembinaan kepegawaian.
2.2.Guru Sebagai Contoh (Suri Teladan)
Pada dasrnya perubahan perilaku yang dapat ditunjukkan oleh peserta didik harus dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan dan pengalaman yang dimiliki ole seorang guru. Atau dengan perkataan lain guru mempunyai pengaruh terhadap perubahan perilaku peserta didik.
Untuk itulah guru harus menjadi contoh (suri teladan) bagi peserta didik, karena pada dasarnya guru adalah representasi dari sekelompok orang pada suatu komunitas atau masyarakat yang diharapkan dapat menjadi teladan, yang dapat digugu dan ditiru.
Seorang guru sangat berpengaruh terhadap hasil belajar yang dapat ditunjukkan oleh peserta didiknya. Untuk itu apabila seseorang ingin menjadi guru yang profesional maka sudah seharusny ia dapat selalu meningkatkan wawasan pengetahuan akademis dan praktis melalui jalur pendidikan berjenjang ataupun upgrading dan/atau pelatihan yng bersifat in service training dengan rekan-rekan sejawatnya.
Perubahan dalam cara mengajar guru dapat dilatihkan melalui kemampuan peningkatan mengajar sehingga kebiasaan lama yang kurang efektif dapat segera terdeteksi dan perlahan-lahan dihilangkan. Untuk itu, maka perlu perubahan kebiasaan dalam cara mengajar guru yang diharapkan akan berpengaruh pada cara bel;ajar siswa, diantaranya sebagi berikut (Dr. H. Hamzah : 17) :
1. Memperkecil kebiasaan cara mengajar guru baru (calon guru) yang cepat merasa puas dalam mengajar apabila banyak menyajikan informasi (ceramah) dan terlalu mendominasi kegiatan belajar peserta didik.
2. Guru hendakny berperan sebagai pengarah, pembimbing, pemberi kemudahan dengan menyediakan berbagai fasilitas belajar, pemberi bantuan bagi peserta yang mendapat kesulitan belajar, dan pencipta kondisi yang merangsang dan menantang peserta untuk berpikir dan bekerja (melakukan).
3. Mengubah dari berbagai metode ceramah dengan berbagai variasi metode yang lebih relevan dengan metode tujuan pembelajaran, memperkecil kebiasaan cara belajar peserta yang baru merasa belajar dan puas kalau banyak mendengarkan dan menerima informasi (diceramahi) guru, atau baru belajar kalau ada guru.
4. Guru hendaknya mampu menyiapkan berbagai jenis sumber belajar sehingga peserta didik dapat belajar secara mandiri dan berkelompok,percaya diri, terbuka untuk saling memberi dan menerima pendapat orang lain, serta membina kebiasaan mencari dan mengolah sendiri informasi.
2.3.Kompetensi Dan Tugas Guru
Kompetensi profesional guru adalah merupakan suatu keharusan dalam mewujudkan sekolah berbasis pengetahuan, yaitu pengetahuan tentang pemahaman tentang pembelajaran, kurikulum, dan perkembangan manusia termasuk gaya belajar (Kariman,2002). Pada umumnya disekolah-sekolah yang memiliki guru dengan kompetensi profesional akan menerapkan “pembelajaran dengan melakukan” untuk menggantikan cara mengajar dimana guru hanya berbicara dan peserta didik hanya mendengarkan.
Kompetensi guru berkaitan dengan profesionalisme yaitu, guru yang profesional adlah guru yang kompeten (berkemampuan), karena itu kompetensi profesionalisme guru dapat diartikan sebagai kemampuan dan kewenangan guru dalam menjalankan profesi keguruannya dengan kemampuan tinggi (Muhibbin Syah : 230). Dengan kata lain kompetensi adalah pemilikan,penguasaan,ketrampilan dan kemampuan yang dituntut oleh jabatan seseorang.(A.Piet Sahertian :4)
Sedangkan menurut Depdikbud kompetensi yang harus dimiliki seorang guru (Komponen Dasar Kependidikan :25-26 ) adalah :
1. Kompetensi Profesional, guru harus memiliki pengetahuan yang luas dari subject matter ( bidang studi) yang akan diajarkan serta penguasaan metodologi dalam arti memiliki konsep teoritis mampu memilih metode dalam proses belajar mengajar.
2. Kompetensi Personal, artinya sikap kepribadian yang mantap sehingga mampu menjadi sumbr intensifikasi bagi subjek. Dalam hal ini berarti memiliki kepribadian yang pantas diteladani, mampu melaksanakan kepemimpinan seperti yang dikemukakan Ki Hajar Dewantara, yaitu “Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa. Tut Wuri Handayani”
3. Kompetensi Sosial, artinya guru harus mampu menunjukkan dan berinteraksi sosial, baik dengan murid-muridnya maupun dengan sesama guru dan kepala sekolah, bahkan dengan masyarakat luas.
4. Kompetensi untuk melakukan pelajaran yang sebaik-baiknya yang berarti mengutamakan nilai-nilai sosial dari nilai material.
Dalam suasana seperti itu, peserta didik dilibatkan secara aktif dalam memecahkan masalah , mencari sumber informasi, data evaluasi , serta menyajikan dan mempertahankan pandangan dan hasil kerja mereka kepada teman sejawat dan yang lainnya. Sedangkan para guru dapat bekerja secara intensif dengan guru lainnya, dalam merencanakan pembelajaran baik individual maupun tim, membuat keputusan tentang mendesai sekolah kolaborasi tentang pengembangan kurikulum, dan partisipasi dalam penilaian. Berikut akan diuraikan tentang kompetensi profesional yang harus menjadi andalan guru dalam melaksanakan tugasnya.
2.4 Peranan Guru Dalam pembelajaran Tatap Muka
Terdapat beberapa peran guru dalam pembelajaran tatap muka yang dikemukakan oleh Moon (1998), yaitu sebagai berikut.
1. Guru sebagai Perancang Pembelajaran (Designer Instruction)
Pihak Departemen Pendidikan Nasional telah memprogram bahan pembelajaran yang harus diberikan guru kepada peserta didik pada suatu waktu tertentu. Disini guru dituntut untuk berperan aktif dalam merencanakan PBM tersebut dengan memerhatikan berbagai komponen dalam sistem pembelajaran yang meliputi :
a. Membuat dan merumuskan bahan ajar
b. Menyiapkan materi yang relevan dengan tujuan, waktu, fasilitas, perkembangan ilmu, kebutuhan dan kemampuan siswa,komprehensif,sistematis, dan fungsional efektif.
c. Merancang metode yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi siswa.
d. Menyediakan sumbeer belajar, dalam hal ini guru berperan sebagai fasilitator dalam pengajaran.
e. Media, dalam hal ini guru berperan sebagai mediator dengan memerhatikan relevansi (seperti juga materi), efektif,efisien, kesesuaian dengan metode, serta pertimbangan praktis.
Jadi dengan waktu yang sedikit atau terbatas tersebut , guru dapat merancang dan mempersiapkan semua komponen agar berjalan dengan efektif dan efisien. Untuk itu guru harus memiliki pengetahuan yang cukup memadai tentang prinsip-prinsip belajar, sebagai landasan dari perencanaan.
2. Guru sebagai Pengelola Pembelajaran (Manager Instruction)
Tujuan umum pengelolaan kelas adalah menyediakan dan menggunakan fasilitas bagi bermacam-macam kegiatan belajar mengajar. Sedangkan tujuan khususnya adalah mengembangkan kemampuan siswa dalam menggunakan alat-alat belajar, menyediakan kondisi-kondisi yang memungkinkan siswa bekerja dan belajar, serta membantu siswa untuk memperoleh hasi yang diharapkan.
Selain itu guru juga berperan dalam membimbing pengalaman sehari-hari ke arah pengenalan tingkah laku dan kepribadianny sendiri. Salah satu ciri manajemen kelas yang baik adalah tersedianya kesempatan bagi siswa untuk sedikit demi sedikit untuk mengurangi ketergantunganny pada guru hingga mereka mampu membimbing kegiatannya sendiri.
Sebagai manajer, guru hendaknya mampu mempergunakan pengetahuan tentang teori belajar mengajar dari teori perkembangan hingga memungkinkan untuk menciptakn situasi belajar yang baik mengendalikan pelaksanaan pengajaran dan pencapaian tujuan.
3. Guru sebagai Pengaruh Pembelajaran
Hendaknya guru senantiasa berusaha menimbulkan, memelihara, dan meningkatkan motivasi peserta didik untuk belajar. Dalam hubungan ini guru mempunyai fungsi sebagai motivator dalam keseluruhan kegiatan belajar mengajar. Empat hal yang dapat dikerjakan guru dalam memberikan motivasi adalah sebagai berikut (Dr Hamzah B.Uno :23), (1)membangkitkan dorongan siswa untuk belajar (2) menjelaskan secara konkret, apa yang dapat dilakukan pada akhir pengjaran (3) memberikan ganjaran terhadap prestasi yang dicapai hingga dapat merangsang pencapaian prestasi yang lebih baik dikemudian hari (4) membentuk kebiasaan belajar yang baik.
4. Guru sebagai Evaluator (Evaluator of Student Learning)
Tujuan utama penilaian adalah adalah untuk melihat tingkat keberhasilan,efektifitas dan efisiensi dalam proses pembelajaran. Selain itu untuk mengetahui untuk mengetahui kedudukan peserta dalam kelas atau kelompoknya . Dalam fungsinya sebagai penilai hasil belajar peseta didik guru hendaknyasecra terus-menerus mengikuti hasil belajar yang telah dicapai peserta didik dari waktu ke waktu. Informasi yang diperoleh melalui evaluasi ini akan menjadi umpan balik terhadap proses pembelajaran. Umpan balik akan dijadikan titik tolak untuk memperbaiki dan meningkatkan pembelajaran selanjutnya. Dengan demikian proses pembelajaran akan terus menerus ditingkatkan untuk memperoleh hasil yang optimal
5. Guru sebagai Konselor
Sesuai dengan peran guru sebagai konselor adalah ia diharapkan akan dapat merespon segala masalah tingkah laku yang terjadi dalam proses pembelajaran, Oleh karena itu, guru harus dipersiapkan agar :(1)dapat menolong peserta didik memecahkan masalah-masalah yang timbul antara peserta didik dengan orang tuanya, (2) bisa memperoleh keahlian dalam membina hubungan yng manusiawi dan dapat mempersiapkan untuk berkomunikasi dan bekerja sama dengan bermacam-macam manusia. Pada akhirnya, guru akan memerlukan pengertian tentang dirinya sendiri, baik itu motivasi, harapan, prasangka ataupun keinginannya. Semua hal itu akan memberikan pengaruh pada kemampuan guru dalam berhubungan dengan orang lain terutama siswa.
6. Guru sebagai Pelaksana Kurikulum
Kurikulum adalah seperangkat pengalaman belajar yang akan didapat oleh peserta didik selama ia mengikuti suatu proses pendidikan. Secara resmi kurikulum sebenarnya merupakan sesuatu yang diidealisasikan atau dicita-citakan (Ali,1985:30). Keberhasilan dari suatu kurikulum yang ingin dicapai sangat bergantung pada faktor kemampuan yang dimiliki oleh seorang guru. Artinya guru adalah orang yang bertanggung jawab dalam mewujudkan segala sesuatu yang telah tertuang dalam suatu kurikulum resmi. Bahkan pandangan mutakhir menyatakan bahwa meskipun suatu kurikulum itu bagus, namun berhasil atau gagalnya kurikulum tersebut pada akhirnya terletak di tangan pribadi guru.
Sedangkan peranan guru dalam pembinaan dan pengembangan kurikulum secara aktif (Dr.H.Hamzah B.Uno :26) antara lain yaitu : (1)perencanaan kurukulum (2)pelaksanaan di lapangan (3) proses penilaian (4)pengadministrasian (5) perubahan kurikulum
7. Guru dalam Pembelajaran yang Menerapkan Kurikulum Berbasis Lingkungan
Peranan guru dalam kurikulum berbasis lingkungan tidak kalah aktifnya dengan peserta didik. Sehubungan dengan tugas guru untuk mengaktifkan peserta didik dalam belajar, maka seorang guru dituntut untuk memiliki pengetahuan, sikap, dan ketrampilan yang memadai. Pengetahuan, sikap, dan ketramoilan yang dituntut dari guru dalam proses pembelajaran yang memiliki kadar pembelajaran tinggi dadasarkan atas posisi dan peranan guru, tugas dan tanggung jawab sebagai pengajar yang profesional.
Posisi dan peran guru yang dikaitkan dengan konsep pendidikan berbasis lingkungan dalam proses pembelajaran (Dr. H. Hamzah.B.Uno 2007:27) , dimana guru harus menempatkan diri sebagai :
a. Pemimpin belajar, dalam arti guru sebagai perencana, pengorganisasi pelaksana, dan pengontrol kegiatan belajar peserta didik.
b. Fasilitator belajar, guru sebagai pemberi kemudahan kepada peserta didik dalam melakukan kegiatan belajarnya melalui upaya dalam berbagai bentuk.
c. Moderator belajar, guru sebgai pengatur arus kegiatan belajar peserta didik,. Selain itu guru bersama peserta didik harus menarik kesimpulan atau jawaban masalah sebagai hasil belajar peserta didik,atas dasar semua pendapat yang telah dibahas dan diajukan peserta didik.
d. Motivator belajar, guru sebagai pendorong peserta didik agar mau melakukan kegiatan belajar. Sebagai motivator guru harus dapat menciptakan kondisi kelas yang merangsang peserta untuk mau melakukan kegiatan belajar, baik individual maupun kelompok.
e. Evaluator belajar, guru sebagai penilai yang objektif dankomprehensif. Sebagai evaluator guru berkewajiban mengawasi, memantau proses pembelajaran peserta didik dan hasil belajar yang dicapainya. Guru juga berkewajiban melakukan upaya perbaikan proses belajar peserta didik, menunjukkan kelemahan dan cara memperbaikinya, baik secara individual, kelompok, maupun secara klasikal.
8. Tugas dan Tanggung Jawab Guru
Proses pembelajaran yang bernafaskan lingkungan lebih menekankan pada pentingnya proses belajar peserta daripada hasil belajar yang dicapai oleh peserta didik. Karena itu proses pembelajaran peserta didik merupakan tugas dan tanggung jawab guru. Ada beberapa kemampuan yang dituntut dari guru agar dapat menumbuhkan minat dalam proses pembelajaran (Sudjana dan Arifin, 1989: 31-39), yaitu sebagai berikut :
a. Mampu menjabarkan berbagai bentuk pembelajaran ke dalam berbagai bentuk cara penyampaian.
b. Mampu merumuskan tujuan pembelajaran kognitif tingkat tinggi, seperti analisis, sintesis, dan evaluasi. Melalui tujuan tersebut maka kegiatan belajar peserta didik akan lebih aktif dankomprehensif.
c. Menguasai berbagai cara belajar yang efektif sesuai dengan tipe dan gaya belajar yang dimiliki oleh peserta didik secara individual.
d. Memiliki sifat yang positif terhadap tugas profesinya, mata pelajaran yang dibinanya sehingga selalu berupaya untuk meningkatkan kemampuan dan melaksanakn tugasnya sebagaiguru.
e. Terampil dalam membuat alat peraga pembelajaransederhana sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan mata pelajaran yang dibinanya serta penggunaannya dalam proses pembelajaran.
f. Terampil dalam menggunakan berbagai model dan metode pembelajaran yang dapat menumbuhkan minat sehingga diperoleh hasil belajar yang optimal.
g. Terampil dalam melakukan interaksi dengan peserta didik, dengan mempertimbangkan tujuan dan materi pelajaran, kondisi pesertadidik, suasana belajar, jumlah peserta didik, waktu yang tersedia, dan faktor yang berkenaan dengan diri guru itu sendiri.
h. Memahami sifat dan karakteristi peserta didik, terutama kemampuan belajarnya, cara dan kebiasaan belajar, minta terhadap pelajaran, motivasi untuk belajar, dan hasil belajar yang telah dicapai.
i. Terampil dalammenggunakan sumber-sumber belajar yang ada sebagai bahan ataupun media belajar bagi peserta didik dalam proses pembelajaran.
j. Terampil dalam mengelola kelas atau memimpin peserta didik dalam belajar sehingga suasana belajar menjadi menarik dan menyenangkan
9. Syarat Guru yang Baik dan Berhasil
Tidak sembarang orang dapat melaksanakan tugas profesional sebagai seorang guru. Untuk menjadi guru yang baik haruslah memnuhi syarat yang telah ditetapkan oleh pemerintah (Ngalim Purwanto,1985:170-175). Syarat utam untuk menjadi seorang guru, selain berijazah dan syarat-syarat mengenai kesehatan jasmani dan rohani, ialah mempunyai sifat-sifat yang perlu untuk dapat memberikan pendidikan dan pembelajaran. Selanjutnya, dari syarat-syarat tersebut dapat dijabarkan secara lebih terperinci, yaitu sebagai berikut :
a. Guru harus berijazah
Yang dimaksud ijazah disini adalah ijazah yang dapat memberi wewenang untuk menjalankan tugas sebagai seorang guru di suatu sekolah tertentu.
b. Guru harus sehat Rohani dan Jasmani
Kesehatan rohani dan jasmani merupakan salah satu syarat penting dalam setiap pekerjaan. Karena orang tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik jika ia diserang suatu penyakit. Sebagai seorang guru syarat tersebut merupakan syaarat mutlak yang tidak dapat diabaikan. Misalnya saja seorang guru yang sedang terkena penyakit menular tentu saja akan membahayakan bagi peserta didiknya.
c. Guru harus bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berkelakuan baik
Sesuai dengan tujuan pendidikan, yaitu membentuk manusia yang susila yang bertaqwa kepada Tuhan YME maka sudah selayaknya guru sebagai pendidik harus dapat menjadi contoh dalam melaksanakan ibadah dan berkelakuan baik
d. Guru haruslah orang yang bertanggung jawab
Tugas dan tanggung jawab guru sebagai seorang pendidik, pembelajar dan pembimbing bagi peserta didik selama proses pembelajaran berlangsung yang telah dipercayakan orang tua/wali kepadanya hendaknya dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Selain itu guru juga bertanggung jawab terhadap perilaku masyarakat dan lingkungan disekitarnya.
e. Guru di Indonesia harus berjiwa nasional
Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang mempunyai bahasa dan adat istiadat berlainan. Untuk menanamkan jiwa kebangsaan merupakan tugas utama seorang guru, karena itulah guru harus terlebih dahulu berjiwa nasional
Syarat-syarat di atas adalah syarat umum yang berhubungan dengan jabatan sebagai guru. Elain itu ada syarat lain yang sangat erat hubungannya dengan tugas guru disekolah antara lain (DR. H. Hamzah.B.Uno 2007:30) (1) harus adil dan dapat dipercaya (2)sabar, rela berkorban, dan menyayangi peserta didiknya (3) memiliki kewibawaan dan tanggung jawab akademis, (4) harus memiliki wawasan pengetahuan yang luas dan menguasai benar mata pelajaran yang dibinanya, (5) harus selalu instropeksi diri dan siap menerima kritik dari siapapun, (6) harus berupaya meningkatkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Keberhasilan seorang guru dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai sebagai seorang pengajar sangat tegantung pada diri pribadi masing-masing guru dalam lingkungan tempat ia bertugas. Sedangkan kompetensi guru adalah kemampuan yang dimiliki guruyang diindikasikan dalam tiga kompetensi, yaitu kompetensi yang berhubungan dengan tugas profesionalnya sebagai guru (profesional), kompetensi yang berhubungan dengan keadaan pribadinya (personal), dan kompetensi yang berhubungan dengan masyarakat atau lingkungannya (sosial).
KOMPETENSI PROFESIONALISME GURU
22 November 2008 | dibaca 15172 kali | 2 komentar
Tulisan ini berjudul “Kompetensi Profesionalisme Guru” dirujuk dari pendapat para ahli tentang apa dan bagaimana kompetensi seorang guru yang profesional. Dalam rangka turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa, peranan guru sangat penting sekali untuk membentuk sumber daya manusia yang berkualitas dan berakhlak mulia. Kita sadari, bahwa peran guru sampai saat ini masih eksis, sebab sampai kapanpun posisi/peran guru tersebut tidak akan bisa digantikan sekalipun dengan mesin sehebat apapun, mengapa ? Karena, guru sebagai seorang pendidik juga membina sikap mental yang menyangkut aspek-aspek manusiawi dengan karakteristik yang beragam dalam arti berbeda antara satu siswa dengan lainnya. Banyak pengorbanan yang telah diberikan oleh seorang guru semata-mata ingin melihat anak didiknya bisa berhasil dan sukses kelak. Tetapi perjuangan guru tersebut tidak berhenti sampai disitu, guru juga merasa masih perlu meningkatkan kompetensinya agar benar-benar menjadi guru yang lebih baik dan lebih profesional terutama dalam proses belajar mengajar sehari-hari. Pada dasarnya terdapat seperangkat tugas yang harus dilaksanakan oleh guru berhubungan dengan profesinya sebagai pengajar, tugas guru ini sangat berkaitan dengan kompetensi profesionalnya. Hakikat profesi guru merupakan suatu profesi, yang berarti suatu jabatan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang pendidikan. Walaupun pada kenyataannya masih terdapat hal-hal tersebut di luar bidang kependidikan. Ciri seseorang yang memiliki kompetensi apabila dapat melakukan sesuatu, hal ini sesuai dengan pendapat Munandar bahwa, kompetensi merupakan daya untuk melakukan suatu tindakan sebagai hasil dari pembawaan dan latihan. Pendapat ini, menginformasikan dua faktor yang mempengaruhi terbentuknya kompetensi, yakni ; (a) faktor bawaan, seperti bakat, dan (b) faktor latihan, seperti hasil belajar. Menurut Soedijarto, Guru yang memiliki kompetensi profesional perlu menguasai antara lain : (a) disiplin ilmu pengetahuan sebagai sumber bahan pelajaran, (b) bahan ajar yang diajarkan, (c) pengetahuan tentang karakteristik siswa, (d) pengetahuan tentang filsafat dan tujuan pendidikan, (e) pengetahuan serta penguasaan metode dan model mengajar, (f) penguasaan terhadap prinsip-prinsip teknologi pembelajaran, (g) pengetahuan terhadap penilaian, dan mampu merencanakan, memimpin, guna kelancaran proses pendidikan. Tuntutan atas berbagai kompetensi ini mendorong guru untuk memperoleh informasi yang dapat memperkaya kemampuan agar tidak mengalami ketinggalan dalam kompetensi profesionalnya. Semua hal yang disebutkan diatas merupakan hal yang dapat menunjang terbentuknya kompetensi guru. Dengan kompetensi profesional tersebut, dapat diduga berpengaruh pada proses pengelolaan pendidikan sehingga mampu melahirkan keluaran pendidikan yang bermutu. Keluaran yang bermutu dapat dilihat pada hasil langsung pendidikan yang berupa nilai yang dicapai siswa dan dapat juga dilihat dari dampak pengiring, yakni dimasyarakat. Selain itu, salah satu unsur pembentuk kompetensi profesional guru adalah tingkat komitmennya terhadap profesi guru dan didukung oleh tingkat abstraksi atau kemampuan menggunakan nalar. Guru yang rendah tingkat komitmennya, ditandai oleh ciri-ciri sebagai berikut ; a. Perhatian yang disisihkan untuk memerhatikan siswanya hanya sedikit. b. Waktu dan tenaga yang dikeluarkan untuk melaksanakan tugasnya hanya sedikit. c. Perhatian utama guru hanyalah jabatannya. Sebaliknya, guru yang mempunyai tingkatan komitmen tinggi, ditandai oleh ciri-ciri sebagai berikut : a. Perhatiannya terhadap siswa cukup tinggi. b. Waktu dan tenaga yang dikeluarkan untuk melaksanakan tugasnya banyak. c. Banyak bekerja untuk kepentingan orang lain. Kompetensi guru berkaitan dengan profesionalisme, yaitu guru yang profesional adalah guru yang kompeten (berkemampuan). Karena itu, kompetensi profesionalisme guru dapat diartikan sebagai kemampuan dan kewenangan guru dalam menjalankan profesi keguruannya dengan kemampuan tinggi. Profesionalisme seorang guru merupakan suatu keharusan dalam mewujudkan sekolah berbasis pengetahuan, yaitu pemahaman tentang pembelajaran, kurikulum, dan perkembangan manusia termasuk gaya belajar. Pada umumnya di sekolah-sekolah yang memiliki guru dengan kompetensi profesional akan menerapkan “pembelajaran dengan melakukan” untuk menggantikan cara mengajar dimana guru hanya berbicara dan peserta didik hanya mendengarkan. Dalam suasana seperti itu, peserta didik secara aktif dilibatkan dalam memecahkan masalah, mencari sumber informasi, data evaluasi, serta menyajikan dan mempertahankan pandangan dan hasil kerja mereka kepada teman sejawat dan yang lainnya. Sedangkan para guru dapat bekerja secara intensif dengan guru lainnya dalam merencanakan pembelajaran, baik individual maupun tim, membuat keputusan tentang desain sekolah, kolaborasi tentang pengembangan kurikulum, dan partisipasi dalam proses penilaian. Kompetensi profesional seorang guru adalah seperangkat kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang guru agar ia dapat melaksanakan tugas mengajarnya dengan berhasil. Adapun kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru, terdiri dari 3 (tiga) yaitu ; kompetensi pribadi, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional mengajar. Keberhasilan guru dalam menjalankan profesinya sangat ditentukan oleh ketiganya dengan penekanan pada kemampuan mengajar. Dengan demikian, bahwa untuk menjadi guru profesional yang memiliki akuntabilitas dalam melaksanakan ketiga kompetensi tersebut, dibutuhkan tekad dan keinginan yang kuat dalam diri setiap guru atau calon guru untuk mewujudkannya. Sebagai seorang guru perlu mengetahui dan menerapkan beberapa prinsip mengajar agar seorang guru dapat melaksanakan tugasnya secara profesional, yaitu sebagai berikut : 1. Guru harus dapat membangkitkan perhatian peserta didik pada materi mata pelajaran yang diberikan serta dapat menggunakan berbagai media dan sumber belajar yang bervariasi. 2. Guru harus dapat membangkitkan minat peserta didik untuk aktif dalam berpikir serta mencari dan menemukan sendiri pengetahuan. 3. Guru harus dapat membuat urutan (sequence) dalam pemberian pelajaran dan penyesuaiannya dengan usia dan tahapan tugas perkembangan peserta didik. 4. Guru perlu menghubungkan pelajaran yang akan diberikan dengan pengetahuan yang telah dimiliki peserta didik (kegiatan apersepsi), agar peserta didik menjadi mudah dalam memahami pelajarannya yang diterimanya. 5. Sesuai dengan prinsip repitisi dalam proses pembelajaran, diharapkan guru dapat menjelaskan unit pelajaran secara berulang-ulang hingga tanggapan peserta didik menjadi jelas. 6. Guru wajib memerhatikan dan memikirkan korelasi atau hubungan antara mata pelajaran dan/atau praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari. 7. Guru harus tetap menjaga konsentrasi belajar para peserta didik dengan cara memberikan kesempatan berupa pengalaman secara langsung, mengamati/meneliti, dan menyimpulkan pengetahuan yang didapatnya. 8. Guru harus mengembangkan sikap peserta didik dalam membina hubungan sosial, baik dalam kelas maupun diluar kelas. 9. Guru harus menyelidiki dan mendalami perbedaan peserta secara individual agar dapat melayani siswa sesuai dengan perbedaannya tersebut. 10. Guru juga dapat melaksanakan evaluasi yang efektif serta menggunakan hasilnya untuk mengetahui prestasi dan kemajuan siswa serta menggunakan hasilnya untuk mengetahui prestasi dan kemajuan siswa serta dapat melakukan perbaikan dan pengembangan. Seiring dengan kemajuan teknologi informasi yang berkembang pesat, guru tidak lagi hanya bertindak sebagai penyaji informasi, tetapi juga harus mampu bertindak sebagai fasilitator, motivator, dan pembimbing yang lebih banyak memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mencari dan mengolah sendiri informasi. Dengan demikian keahlian guru harus terus dikembangkan dan tidak hanya terbatas pada penguasaan prinsip mengajar seperti yang telah diuraikan diatas. Bertitik tolak dari pendapat para ahli tersebut diatas, maka yang dimaksud “Kompetensi Profesionalisme Guru” adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidangnya sehingga ia mampu menjalankan tugas dan fungsinya sebagai seorang guru dengan hasil yang baik. KESIMPULAN : UNTUK MENJADI GURU PROFESIONAL, SESEORANG HARUS : 1. mengerti dan menyenangi dunia pendidikan, dan didukung dengan kompetensi profesionalisme. 2. menerapkan prinsip mengajar yang baik serta mempunyai komitmen yang tinggi terhadap pendidikan. 3. mempunyai motivasi kerja yang baik sehingga dapat meningkatkan kinerja guru dalam proses belajar mengajar. 4. berjiwa sabar dan bisa dijadikan suri tauladan bagi anak didiknya, baik dalam berkata maupun bersikap. 5. memiliki multi peran sehingga mampu menciptakan kondisi belajar mengajar yang efektif dan suasana sekolah yang kondusif. 6. mengikuti perkembangan teknologi komunikasi dan informasi untuk dunia pendidikan. 7. mempunyai program pengajaran yang jelas dan terarah sesuai dengan kurikulum. 8. berbudi pekerti luhur dan berkepribadian yang santun dan bertanggungjawab. Demikian tulisan yang sangat sederhana ini, mudah-mudahan bisa memberikan sumbangan pemikiran inovasi demi mencerdaskan kehidupan anak bangsa dan pada akhirnya dapat memberi manfaat bagi kita semua terutama bagi penulis sendiri tentunya. *) Mhs.Tugas Belajar Utusan Pemerintah Kota Tarakan, Program Pascasarjana (S-2) Manajemen Pendidikan,Universitas Mulawarman Samarinda. Pengirim/Sumber Artikel : Fitrianur, S.Pd |
KOMPETENSI PROFESIONAL GURU
ABSTRAK Hubungan Kompetensi Profesional Guru Dengan Prestasi Belajar Siswa Di MTs Negeri Cimerak Kecamatan Cimerak Kompetensi Profesional guru merupakan kondisi, arah, nilai, tujuan dan kualitas suatu keahlian dan kewenangan dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang berkaitan dengan pekerjaan seseorang yang menjadi mata pencaharian. Profesionalisme guru yang dimaksud dalam skripsi ini adalah guru Fiqih Ibadah yang profesional. Adapun guru profesional itu sendiri adalah guru yang berkualitas, berkompetensi, dan guru yang dikehendaki untuk mendatangkan prestasi belajar serta mampu mempengaruhi proses belajar mengajar siswa, yang nantinya akan menghasilkan prestasi belajar siswa yang lebih baik. Kompetensi guru yang diteliti meliputi empat kategori. Pertama, kemampuan guru dalam merencanakan program belajar mengajar. Kedua, kemampuan guru dalam menguasai bahan pelajaran. Ketiga, kemampuan guru dalam melaksanakan dan memimpin/mengelola proses belajar mengajar. Dan keempat, kemampuan dalam menilai kemajuan proses belajar mengajar. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengetahui kemampuan kompetensi profesional guru di Madrasah Tsanawiyah Negeri Cimerak, (2)Memperoleh gambaran tentang tingkat prestasi belajar siswa di Madrasah Tsanawiyah Negeri Cimerak, (3) Mengetahui hubungan antara kompetensi profesional guru dengan prestasi belajar siswa di Madrasah Tsanawiyah Negeri Cimerak. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode deskriptif bersifat korelasional. Penelitian dilakukan secara langsung ke MTs Negeri Cimerak Kecamatan Cimerak Kabupaten Ciamis. Teknik pengumpulan data yang penulis lakukan yaitu melalui angket yang diberikan kepada peserta didik kelas VII sebanyak 40 orang yang dipilih secara acak, kemudian dengan observasi, wawancara dan dengan studi dokumentasi. Setelah data-data tersebut diperoleh, penulis menganalisis data dan melakukan uji hipotesis dengan menggunakan rumusperson product momen dan menggunakan rumus Koefisien Determinasi untuk mengetahui kontribusi kedua Variabel X dan Y. Selanjutnya penulis menyimpulkan hasil penelitian dalam bentuk analisis interpretasi data. Setelah penelitian ini dilakukan, penulis memperoleh hasil penelitian bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara kompetensi profesional guru dalam bidang studi Fiqih Ibadah dengan prestasi belajar siswa di MTs Negeri Cimerak Kecamatan Cimerak Kabupaten Ciamis. Kontribusi kompetensi profesional guru Fiqih ibadah terhadap prestasi belajar siswa adalah 43,16%. Dengan kata lain, prestasi belajar siswa di MTs Negeri Cimerak ditentukan atau dipengaruhi oleh tingkat kompetensi profesional guru sebanyak 43,16%, dan 56,84% lagi ditentukan oleh faktor yang lain. |
KOMPETENSI PROFESIONAL GURU
oleh : Elfinorita
oleh : Elfinorita
Profesi — merupakan bidang pekerjaan khusus yang memerlukan prinsip-prinsip profesional. Profesi guru harus (1) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme, (2) memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan yang sesuai dengan bidang tugasnya,(3) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya. Di samping itu, mereka juga harus (4) mematuhi kode etik profesi, (5) memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakantugas, (6) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerjanya, (7) memiliki kesempatan untuk mengembangkan profesinya secara berkelanjutan, (Cool memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas profesionalnya, dan (9) memiliki organisasi profesi yang berbadan hukum (sumber UU tentang Guru dan Dosen).
Bila kita mencermati prinsip-prinsip profesional di atas, kondisi kerja pada dunia pendidikan di Indonesia masih memiliki titik lemah pada hal-hal berikut.
(1) Kualifikasi dan latar belakang pendidikan tidak sesuai dengan bidang tugas. Dilapangan banyak di antara guru mengajarkan mata pelajaran yang tidak sesuai dengan kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan yang dimilikinya.
(2) Tidak memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai bidang tugas. Guru professional — memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogis, kognitif, personaliti, dan sosial. Oleh karena itu, seorang guru selain terampil mengajar, juga memiliki pengetahuan yang luas, bijak, dan dapat bersosialisasi dengan baik.
(3) Penghasilan tidak ditentukan sesuai dengan prestasi kerja.Sementara ini guru yang berprestasi dan yang tidak berprestasi mendapatkan penghasilan yang sama. Memang benar sekarang terdapat program sertifikasi. Namun, program tersebut tidak memberikan peluang kepada seluruh guru. Sertifikasi hanya dapat diikuti oleh guru-guru yang ditunjuk kepala sekolah yang notabene akan berpotensi subjektif
(4) Kurangnya kesempatan untuk mengembangkan profesi secara berkelanjutan. Banyak guru yang terjebak pada rutinitas. Pihak berwenang pun tidak mendorong guru ke arah pengembangan kompetensi diri ataupun karier. Hal itu terindikasi dengan minimnya kesempatan beasiswa yang diberikan kepada guru dan tidak adanya program pencerdasan guru, misalnya dengan adanya tunjangan buku referensi, pelatihan berkala, dsb.
Profesionalisme — dalam pendidikan perlu dimaknai “he does his job well“. Artinya, guru haruslah orang yang memiliki insting pendidik, paling tidak mengerti dan memahami peserta didik. Guru harus menguasai secara mendalam minimal satu bidang keilmuan. Guru harus memiliki sikap integritas profesional. Dengan integritas barulah, sang guru menjadi teladan atau role model.
Isu tentang pendidikan di Indonesia masih hangat untuk diperdebatkan, terutama yang menyangkut kualitasnya. Kualitas pendidikan di Indonesia masih sangat rendah tingkat kompetisi dan relevansinya (Parawansa, 2001; Siskandar, 2003; Suyanto, 2001). Laporan United Nation Development Program (UNDP) tahun 2005 mengungkapkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia menempati posisi ke-110 dari 117 negara. Laporan UNDP tersebut mengindikasikan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia relatif rendah.
Sadar akan hasil-hasil pendidikan yang belum memadai, maka banyak upaya telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk melakukan perbaikan. Upaya-upaya tersebut, adalah melakukan perubahan atau revisi kurikulum secara berkesinambungan, program Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), Penataran Kerja Guru (PKG), program kemitraan antara sekolah dengan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, proyek peningkatan kualifikasi guru dan dosen, dan masih banyak program lain dilakukan untuk perbaikan hasil-hasil pendidikan tersebut. Upaya-upaya tersebut telah dilakukan secara intensif, tetapi pengemasan pendidikan sering tidak sejalan dengan hakikat belajar dan pembelajaran. Dengan kata lain, reformasi pendidikan yang dilakukan di Indonesia masih belum seutuhnya memperhatikan konsepsi belajar dan pembelajaran. Reformasi pendidikan seyogyanya dimulai dari bagaimana siswa dan guru belajar dan bagaimana guru mengajar, bukan semata-mata pada hasil belajar (Brook & Brook, 1993). Podhorsky & Moore (2006) menyatakan, bahwa reformasi pendidikan hendaknya dimaknai sebagai upaya penciptaan program-program yang berfokus pada perbaikan praktik mengajar dan belajar, bukan semata-mata berfokus pada perancangan kelas dengan teacher proof curriculum. Dengan demikian, praktikpraktik pembelajaran benar-benar ditujukan untuk mengatasi kegagalan siswa belajar.
Praktik-praktik pembelajaran hanya dapat diubah melalui pengujian terhadap cara-cara guru mengemas dan melaksanakan pembelajaran. Untuk itu, diperlukan program-program pembinaan profesi guru. Program-program tersebut membutuhkan fasilitas yang dapat memberi peluang kepada mereka learning how to lean dan to learn about teaching. Fasilitas yang dimaksud, misalnya pelatihan tentang innovative instruction and assessment (pembelajaran dan asesmen inovatif), classroom action research (penelitian tindakan kelas), dan lesson study (kaji pembelajaran).
Berdasarkan hasil surve (Ardhana, et al., 2003; Ardhana, et al., 2004; Ardhana, et al., 2005) yang dilakukan di Propinsi Bali, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, dan Aceh, terungkap bahwa Pembelajaran dan Asesmen Inovatif atau Innovative Instruction and Assessment (IIA) belum digunakan oleh para guru dalam pembelajaran. Alasan mendasar bagi para guru adalah karena tidak mengerti tentang pembelajaran dan asesmen inovatif. Hal ini patut disadari, bahwa sesungguhnya isu pembelajaran dan asesmen inovatif telah banyak didengung-dengungkan dalam pelatihan guru dan berbagai kegiatan guru lainnya. Namun, sampai saat ini model pelatihan yang operasional dan praktis tentang IIA belum ditemukan dalam praksis pendidikan. Oleh sebab itu, pengembangan model pelatihan berikut pedoman IIA dipandang sangat penting untuk dilakukan. Secara empiris penerapan IIA dalam pembelajaran berdampak positif dalam peningkatan perolehan belajar siswa (Ardhana, et al., 2003; Ardhana, et al., 2004; Ardhana, et al., 2005). Berdasarkan penelitian selama dua tahun yang telah dilakukan oleh Santyasa et al (2005) dan Santyasa et al (2006) secara konsisten terungkap, bahwa penerapan model perubahan konseptual sebagai IIA memberikan dampak positif dalam pemerolehan belajar berupa peningkatan pemahaman, kemampuan pemecahan masalah, dan keterampilan menggunakan pengetahuan secara bermakna.
Sementara itu, budaya melakukan classroom action research (CAR) bagi para guru masih sangat rendah. Rendahnya budaya melakukan CAR tersebut disebabkan karena pemahaman para guru terhadap konsep-konsep CAR belum memadai. Santyasa dan Suwindra (2007) mengungkapkan bahwa pemahaman guru terhadap konsep dasar CAR relatif rendah. Alasan-alasan guru tidak memahami CAR secara mendalam adalah karena sebagian besar dari mereka belum mengerti tentang CAR dan sebagian kecil menyatakan pernah mengikuti in-service training (pelatihan), namun yang diperoleh hanya makalah seminar. Dalam kegiatan pelatihan bagi sebagian kecil guru-guru tersebut, konsep-konsep CAR memang telah diberikan kepada para guru dari tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah. Persoalannya adalah, apakah pelaksanaan pelatihan-pelatihan CAR pada sebagian kecil guru-guru tersebut telah menggunakan model pelatihan yang operasional praktis? Pertanyaan ini memberikan inspirasi dan sekaligus menjadikannya sebagai sebuah tema kajian yang sangat menarik. Hal ini penting dilakukan, karena secara teoretis, CAR dapat digunakan sebagai dasar pembinaan profesi dan peningkatan kompetensi guru (Jones & Song, 2005; Kirkey, 2005; McIntosh, 2005). CAR dapat membantu (1) pengembangan kompetensi guru dalam menyelesaikan masalah pembelajaran mencakup kualitas isi, efisiensi, dan efektivitas pembelajaran, proses, dan perolehan belajar siswa, (2) peningkatan kemampuan pembelajaran akan berdampak pada peningkatan kompetensi kepribadian, sosial, dan profesional guru (Prendergast, 2002). Penjelasan Prendergast tersebut mengindikasikan, bahwa CAR tidak hanya dapat memfasilitasi guru untuk meningkatkan profesionlisme, tetapi juga berdampak positif dalam peningkatan kualitas proses dan perolehan belajar siswa.
Lesson Study (LS) atau Kaji Pembelajaran adalah suatu pendekatan peningkatan pembelajaran yang awal mulanya berasal dari Jepang. Di Indonesia, LS telah diterapkan di tiga daerah (Malang, Yogyakarta, dan Bandung) sejak tahun 2006 melalui skema Strengthening In-Service Teacher Training of Mathematics and Science (SISTTEMS)(Susilo, 2007). Di Bali, isu tentang LS baru terdengar pada awal tahun 2007, dan itupun hanya pada tatanan seminar. Model pelatihan yang operasional dan praktis tentang LS sampai saat ini belum ditemukan di Indonesia pada umumnya dan di Bali pada khususnya. Fakta ini mendorong munculnya gagasan untuk mengembangkan model pelatihan yang operasional dan praktis serta pedoman penggunaannya. Secara teoretis, LS menyediakan suatu cara bagi guru untuk dapat memperbaiki pembelajaran secara sistematis (Podhorsky & Moore, 2006). LS menyediakan suatu proses untuk berkolaborasi dan merancang lesson (pembelajaran) dan mengevaluasi kesuksesan strategi-strategi mengajar yang telah diterapkan sebagai upaya meningkatkan proses dan perolehan belajar siswa (Lewis, 2002; Lewis, et al., 2006; Yuliati, et al., 2006). Dalam proses-proses LS tersebut, guru bekerja sama untuk merencanakan, mengajar, dan mengamati suatu pembelajaran yang dikembangkannya secara kooperatif. Sementara itu, seorang guru mengimplementasikan pembelajaran dalam kelas, yang lain mengamati, dan mencatat pertanyaan dan pemahaman siswa. Penggunaan proses Lesson Study dengan program-program pengembangan yang profesional tersebut merupakan wahana untuk mengembalikan guru kepada budaya mengajar yang proporsional (Lewis & Tsuchida, 1998).
Menyadari banyaknya guru yang belum memenuhi kriteria profesional, guru dan penanggung jawab pendidikan harus mengambil langkah. Hal-hal yang dapat dilakukan di antaranya
(1) penyelenggaraan pelatihan. Dasar profesionalisme adalah kompetensi. Sementara itu, pengembangan kompetensi mutlak harus berkelanjutan. Caranya, tiada lain dengan pelatihan.
(2) Pembinaan perilaku kerja. Studi-studi sosiologi sejak zaman Max Weber di awal abad ke-20 dan penelitian-penelitian manajemen dua puluh tahun belakangan bermuara pada satu kesimpulan utama bahwa keberhasilan pada berbagai wilayah kehidupan ternyata ditentukan oleh perilaku manusia, terutama perilaku kerja.
(3) Penciptaan waktu luang. Waktu luang (leisure time) sudah lama menjadi sebuah bagian proses pembudayaan. Salah satu tujuan pendidikan klasik (Yunani-Romawi) adalah menjadikan manusia makin menjadi "penganggur terhormat",dalam arti semakin memiliki banyak waktu luang untuk mempertajam intelektualitas (mind) dan kepribadian (personal).
(4) Peningkatan kesejahteraan. Agar seorang guru bermartabat dan mampu "membangun" manusia muda dengan penuh percaya diri, guru harus memiliki kesejahteraan yang cukup.
Berdasarkan alasan yang mendasar tentang pentingnya IIA, LS, CAR bagi guru dan siswa tersebut, maka model pelatihan IIA, LS, dan CAR sangat mendorong untuk segera dikembangkan dalam penelitian ini. Penelitian pengembangan model pelatihan untuk pembinaan profesi guru dilakukan selama 3 tahun (2008-2010). Pelaksanaan penelitian pada tahun I (2008) lebih fokus untuk mengungkap keberadaan dan pentingnya pengembangan model-model pelatihan IIA, LS, dan CAR untuk pembinaan provesi guru.
Bila kita mencermati prinsip-prinsip profesional di atas, kondisi kerja pada dunia pendidikan di Indonesia masih memiliki titik lemah pada hal-hal berikut.
(1) Kualifikasi dan latar belakang pendidikan tidak sesuai dengan bidang tugas. Dilapangan banyak di antara guru mengajarkan mata pelajaran yang tidak sesuai dengan kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan yang dimilikinya.
(2) Tidak memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai bidang tugas. Guru professional — memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogis, kognitif, personaliti, dan sosial. Oleh karena itu, seorang guru selain terampil mengajar, juga memiliki pengetahuan yang luas, bijak, dan dapat bersosialisasi dengan baik.
(3) Penghasilan tidak ditentukan sesuai dengan prestasi kerja.Sementara ini guru yang berprestasi dan yang tidak berprestasi mendapatkan penghasilan yang sama. Memang benar sekarang terdapat program sertifikasi. Namun, program tersebut tidak memberikan peluang kepada seluruh guru. Sertifikasi hanya dapat diikuti oleh guru-guru yang ditunjuk kepala sekolah yang notabene akan berpotensi subjektif
(4) Kurangnya kesempatan untuk mengembangkan profesi secara berkelanjutan. Banyak guru yang terjebak pada rutinitas. Pihak berwenang pun tidak mendorong guru ke arah pengembangan kompetensi diri ataupun karier. Hal itu terindikasi dengan minimnya kesempatan beasiswa yang diberikan kepada guru dan tidak adanya program pencerdasan guru, misalnya dengan adanya tunjangan buku referensi, pelatihan berkala, dsb.
Profesionalisme — dalam pendidikan perlu dimaknai “he does his job well“. Artinya, guru haruslah orang yang memiliki insting pendidik, paling tidak mengerti dan memahami peserta didik. Guru harus menguasai secara mendalam minimal satu bidang keilmuan. Guru harus memiliki sikap integritas profesional. Dengan integritas barulah, sang guru menjadi teladan atau role model.
Isu tentang pendidikan di Indonesia masih hangat untuk diperdebatkan, terutama yang menyangkut kualitasnya. Kualitas pendidikan di Indonesia masih sangat rendah tingkat kompetisi dan relevansinya (Parawansa, 2001; Siskandar, 2003; Suyanto, 2001). Laporan United Nation Development Program (UNDP) tahun 2005 mengungkapkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia menempati posisi ke-110 dari 117 negara. Laporan UNDP tersebut mengindikasikan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia relatif rendah.
Sadar akan hasil-hasil pendidikan yang belum memadai, maka banyak upaya telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk melakukan perbaikan. Upaya-upaya tersebut, adalah melakukan perubahan atau revisi kurikulum secara berkesinambungan, program Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), Penataran Kerja Guru (PKG), program kemitraan antara sekolah dengan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, proyek peningkatan kualifikasi guru dan dosen, dan masih banyak program lain dilakukan untuk perbaikan hasil-hasil pendidikan tersebut. Upaya-upaya tersebut telah dilakukan secara intensif, tetapi pengemasan pendidikan sering tidak sejalan dengan hakikat belajar dan pembelajaran. Dengan kata lain, reformasi pendidikan yang dilakukan di Indonesia masih belum seutuhnya memperhatikan konsepsi belajar dan pembelajaran. Reformasi pendidikan seyogyanya dimulai dari bagaimana siswa dan guru belajar dan bagaimana guru mengajar, bukan semata-mata pada hasil belajar (Brook & Brook, 1993). Podhorsky & Moore (2006) menyatakan, bahwa reformasi pendidikan hendaknya dimaknai sebagai upaya penciptaan program-program yang berfokus pada perbaikan praktik mengajar dan belajar, bukan semata-mata berfokus pada perancangan kelas dengan teacher proof curriculum. Dengan demikian, praktikpraktik pembelajaran benar-benar ditujukan untuk mengatasi kegagalan siswa belajar.
Praktik-praktik pembelajaran hanya dapat diubah melalui pengujian terhadap cara-cara guru mengemas dan melaksanakan pembelajaran. Untuk itu, diperlukan program-program pembinaan profesi guru. Program-program tersebut membutuhkan fasilitas yang dapat memberi peluang kepada mereka learning how to lean dan to learn about teaching. Fasilitas yang dimaksud, misalnya pelatihan tentang innovative instruction and assessment (pembelajaran dan asesmen inovatif), classroom action research (penelitian tindakan kelas), dan lesson study (kaji pembelajaran).
Berdasarkan hasil surve (Ardhana, et al., 2003; Ardhana, et al., 2004; Ardhana, et al., 2005) yang dilakukan di Propinsi Bali, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, dan Aceh, terungkap bahwa Pembelajaran dan Asesmen Inovatif atau Innovative Instruction and Assessment (IIA) belum digunakan oleh para guru dalam pembelajaran. Alasan mendasar bagi para guru adalah karena tidak mengerti tentang pembelajaran dan asesmen inovatif. Hal ini patut disadari, bahwa sesungguhnya isu pembelajaran dan asesmen inovatif telah banyak didengung-dengungkan dalam pelatihan guru dan berbagai kegiatan guru lainnya. Namun, sampai saat ini model pelatihan yang operasional dan praktis tentang IIA belum ditemukan dalam praksis pendidikan. Oleh sebab itu, pengembangan model pelatihan berikut pedoman IIA dipandang sangat penting untuk dilakukan. Secara empiris penerapan IIA dalam pembelajaran berdampak positif dalam peningkatan perolehan belajar siswa (Ardhana, et al., 2003; Ardhana, et al., 2004; Ardhana, et al., 2005). Berdasarkan penelitian selama dua tahun yang telah dilakukan oleh Santyasa et al (2005) dan Santyasa et al (2006) secara konsisten terungkap, bahwa penerapan model perubahan konseptual sebagai IIA memberikan dampak positif dalam pemerolehan belajar berupa peningkatan pemahaman, kemampuan pemecahan masalah, dan keterampilan menggunakan pengetahuan secara bermakna.
Sementara itu, budaya melakukan classroom action research (CAR) bagi para guru masih sangat rendah. Rendahnya budaya melakukan CAR tersebut disebabkan karena pemahaman para guru terhadap konsep-konsep CAR belum memadai. Santyasa dan Suwindra (2007) mengungkapkan bahwa pemahaman guru terhadap konsep dasar CAR relatif rendah. Alasan-alasan guru tidak memahami CAR secara mendalam adalah karena sebagian besar dari mereka belum mengerti tentang CAR dan sebagian kecil menyatakan pernah mengikuti in-service training (pelatihan), namun yang diperoleh hanya makalah seminar. Dalam kegiatan pelatihan bagi sebagian kecil guru-guru tersebut, konsep-konsep CAR memang telah diberikan kepada para guru dari tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah. Persoalannya adalah, apakah pelaksanaan pelatihan-pelatihan CAR pada sebagian kecil guru-guru tersebut telah menggunakan model pelatihan yang operasional praktis? Pertanyaan ini memberikan inspirasi dan sekaligus menjadikannya sebagai sebuah tema kajian yang sangat menarik. Hal ini penting dilakukan, karena secara teoretis, CAR dapat digunakan sebagai dasar pembinaan profesi dan peningkatan kompetensi guru (Jones & Song, 2005; Kirkey, 2005; McIntosh, 2005). CAR dapat membantu (1) pengembangan kompetensi guru dalam menyelesaikan masalah pembelajaran mencakup kualitas isi, efisiensi, dan efektivitas pembelajaran, proses, dan perolehan belajar siswa, (2) peningkatan kemampuan pembelajaran akan berdampak pada peningkatan kompetensi kepribadian, sosial, dan profesional guru (Prendergast, 2002). Penjelasan Prendergast tersebut mengindikasikan, bahwa CAR tidak hanya dapat memfasilitasi guru untuk meningkatkan profesionlisme, tetapi juga berdampak positif dalam peningkatan kualitas proses dan perolehan belajar siswa.
Lesson Study (LS) atau Kaji Pembelajaran adalah suatu pendekatan peningkatan pembelajaran yang awal mulanya berasal dari Jepang. Di Indonesia, LS telah diterapkan di tiga daerah (Malang, Yogyakarta, dan Bandung) sejak tahun 2006 melalui skema Strengthening In-Service Teacher Training of Mathematics and Science (SISTTEMS)(Susilo, 2007). Di Bali, isu tentang LS baru terdengar pada awal tahun 2007, dan itupun hanya pada tatanan seminar. Model pelatihan yang operasional dan praktis tentang LS sampai saat ini belum ditemukan di Indonesia pada umumnya dan di Bali pada khususnya. Fakta ini mendorong munculnya gagasan untuk mengembangkan model pelatihan yang operasional dan praktis serta pedoman penggunaannya. Secara teoretis, LS menyediakan suatu cara bagi guru untuk dapat memperbaiki pembelajaran secara sistematis (Podhorsky & Moore, 2006). LS menyediakan suatu proses untuk berkolaborasi dan merancang lesson (pembelajaran) dan mengevaluasi kesuksesan strategi-strategi mengajar yang telah diterapkan sebagai upaya meningkatkan proses dan perolehan belajar siswa (Lewis, 2002; Lewis, et al., 2006; Yuliati, et al., 2006). Dalam proses-proses LS tersebut, guru bekerja sama untuk merencanakan, mengajar, dan mengamati suatu pembelajaran yang dikembangkannya secara kooperatif. Sementara itu, seorang guru mengimplementasikan pembelajaran dalam kelas, yang lain mengamati, dan mencatat pertanyaan dan pemahaman siswa. Penggunaan proses Lesson Study dengan program-program pengembangan yang profesional tersebut merupakan wahana untuk mengembalikan guru kepada budaya mengajar yang proporsional (Lewis & Tsuchida, 1998).
Menyadari banyaknya guru yang belum memenuhi kriteria profesional, guru dan penanggung jawab pendidikan harus mengambil langkah. Hal-hal yang dapat dilakukan di antaranya
(1) penyelenggaraan pelatihan. Dasar profesionalisme adalah kompetensi. Sementara itu, pengembangan kompetensi mutlak harus berkelanjutan. Caranya, tiada lain dengan pelatihan.
(2) Pembinaan perilaku kerja. Studi-studi sosiologi sejak zaman Max Weber di awal abad ke-20 dan penelitian-penelitian manajemen dua puluh tahun belakangan bermuara pada satu kesimpulan utama bahwa keberhasilan pada berbagai wilayah kehidupan ternyata ditentukan oleh perilaku manusia, terutama perilaku kerja.
(3) Penciptaan waktu luang. Waktu luang (leisure time) sudah lama menjadi sebuah bagian proses pembudayaan. Salah satu tujuan pendidikan klasik (Yunani-Romawi) adalah menjadikan manusia makin menjadi "penganggur terhormat",dalam arti semakin memiliki banyak waktu luang untuk mempertajam intelektualitas (mind) dan kepribadian (personal).
(4) Peningkatan kesejahteraan. Agar seorang guru bermartabat dan mampu "membangun" manusia muda dengan penuh percaya diri, guru harus memiliki kesejahteraan yang cukup.
Berdasarkan alasan yang mendasar tentang pentingnya IIA, LS, CAR bagi guru dan siswa tersebut, maka model pelatihan IIA, LS, dan CAR sangat mendorong untuk segera dikembangkan dalam penelitian ini. Penelitian pengembangan model pelatihan untuk pembinaan profesi guru dilakukan selama 3 tahun (2008-2010). Pelaksanaan penelitian pada tahun I (2008) lebih fokus untuk mengungkap keberadaan dan pentingnya pengembangan model-model pelatihan IIA, LS, dan CAR untuk pembinaan provesi guru.
Tangerang, 25 Desember 2010
Penulis adalah:
Pengawas TK/SD Kecamatan Cibodas
Kota Tangerang.
PENINGKATAN KOMPETENSI DAN PROFESIONALISME GURU (SEJARAH) DI ERA SERTIFIKASI
Posted: 28 July 2009 by suciptoardi in Guru Sejarah
A. PENDAHULUAN
Pada saat ini wacana tentang sertifikasi guru dan berbagai persoalan yang terkait dengannya ramai dibicarakan bukan hanya di kalangan guru itu sendiri tetapi juga di kalangan masyarakat luas. Penerbitan Undang-undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menuntut kualifikasi guru minimal berpendidikan D4/S1. Hal ini membuat para guru yang belum memenuhi persyaratan sebagaimana yang dituntut oleh undang-undang itu mulai berlomba mencari gelar sarjana. Bagi kebanyakan guru, keinginan untuk dapat mengikuti sertifikasi menjadi semacam obsesi. Seperti diketahui bahwa sampai awal 2008 tidak satu pun guru di Indonesia yang memegang sertifikat pendidik. Padahal terdapat sekitar 2,7 juta guru di Indonesia.[1] Mereka membayangkan jika lulus dan mendapat sertifikat pendidik.
Oleh karena memiliki kedudukan dan peranan yang strategis dalam pembangunan nasional bidang pendidikan khususnya dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, tidak berbeda dengan pada masa tradisional, dengan bahasa dan istilah yang lain pada masa sekarang ini guru dituntut untuk memiliki kualifikasi, kompetensi, dan profesionalisme. Namun ironisnya, guru yang mengemban tugas mulia dan tidak ringan serta secara sosio-kultural memiliki kedudukan yang terhormat, tidak mendapatkan penghargaan yang setara dengan kedudukan dan tugas yang diembannya.
Ketika mutu pendidikan di Indonesia dipertanyakan, guru dianggap menjadi salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan di Indonesia, karena merekalah yang berada di garda depan dalam dunia pendidikan. Kualitas guru-guru Indonesia dianggap rendah. Hal ini didasarkan pada realitas bahwa banyak guru yang tidak memenuhi kualifikasi dan kompetensi yang dibutuhkan. Kondisi ini juga sering dikaitkan dengan tingkat kesejahteraan guru yang sangat rendah. Bagaimana guru dapat menjalankan tugasnya dengan baik, sementara mereka masih bingung harus memenuhi kebutuhan hidupnya yang semakin tidak dapat dicukupi dengan penghasilan atau gaji yang diterimanya? Berdasarkan realitas itu, kualitas dan kesejahteraan guru menjadi salah satu solusi dalam menyelesaikan masalah rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
Dalam hubungan dengan hal tersebut, berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia memang telah dilakukan, namun hal itu tampaknya belum memberikan hasil yang signifikan dengan yang diharapkan. Ketika MPR mengamanatkan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN, hal ini memberikan secercah harapan bagi dunia pendidikan Indonesia. Dengan pendanaan yang memadai, diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Untuk merealisasikan hal itu kemudian disahkan Undang-undang Guru dan Dosen No. 14 tahun 2005 yang diikuti dengan terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tahun 2007 yang antara lain tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru (Nomor 16), dan Sertifikasi Bagi Guru dalam Jabatan (Nomor 18).[3] Produk-produk hukum itu merupakan langkah awal untuk menjawab permasalahan yang dihadapi dalam dunia pendidikan di Indonesia. Kebijakan pemerintah tentang kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi guru yang implementasinya sedang dalam proses merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas, kemampuan, dan kesejahteraan guru yang diharapkan dapat menempatkan guru sesuai dengan harkat dan martabatnya, serta akan berdampak pada peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Kerangka berpikir semacam itu perlu dikedepankan agar tujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia dapat tercapai sesuai dengan harapan.
C. Program Sertifikasi Guru dan Upaya Peningkatan Kompetensi dan Profesionalisme
Menurut Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 kompetensi guru meliputi kompetensi paedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Apapun penjelasannya sebagai berikut.
Kompetensi paedagogik meliputi pemahaman guru terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa dan menjadi teladan bagi peserta didik serta berakhlak mulia.
Kompetensi Sosial merupakan kemampuan guru untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga pendidikan, orang tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar.
Kompetensi profesional`merupakan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang mencakup penguasaan materi kurikulum mata pelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi materinya. Kompetensi ini juga disebut dengan penguasaan sumber bahan ajar atau sering disebut dengan bidang studi keahlian.
Dalam praktik keempat kompetensi itu merupakan satu kesatuan yang utuh, dan kompetensi profesional sebenarnya merupakan “payung”, karena telah mencakup kompetensi lainnya.[4]
DAFTAR PUSTAKA
Kamalia Sabarini. “Guru dan Hasil Proses Pembelajaran”. (http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/042007/30/0902.htm).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar yang sopan