A. LATAR BELAKANG
Prinsip polaritas (polarity) Sigmund Freud (Corsini:1984), bahwa kehidupan manusia sepanjang hari dihadapkan untuk memilih sesuatu dan menolak lawannya, agaknya berlaku dalam kehidupan organisasi. Para pimpinan, menejer atau administrator dari setiap institusi atau lembaga, baik level atas, menengah maupun bawah, akan selalu dihadapkan untuk mengambil keputusan atau menetapkan pilihan atas polaritas ini; ya atau tidak, terima atau tolak, deal or not-deal istilah Tantowi Yahya dalam salah satu acara di TV swasta.
Oleh sebab itu, pengambilan keputusan adalah pekerjaan utama setiap pemimpin. Tidak ada satupun pemimpin yang bebas dari pengambilan keputusan ini, mulai dari level tertinggi sampai level terendah, bersifat profit maupun non-profit, baik milik publik maupun privat, berbentuk formal atau non-formal. Pokoknya, setiap pemimpin, di level manapun dan dalam lembaga apapun, akan selalu berurusan dengan yang namanya pengambilan keputusan (selanjutnya disingkat PK), mulai dari keputusan yang bersifat sederhana sampai kompleks.
Anehnya, meskipun merupakan pekerjaan setiap hari para pemimpin, PK bukanlah berarti pekerjaan yang sederhana. Secepat seorang pemimpin mengambil keputusan, secepat itu pula telah ditunggu polarisasi lain; Apakah keputusan itu menuai hasil positif atau negatif, untung atau rugi, diterima atau ditolak, bermanfaat atau tidak, efisien atau boros, efektif atau ngambang. Polaritas ini justru akan menentukan kualitas seorang pemimpin. Bila keputusan yang diambil pemimpin membawa danpak positif, efektif, efisien, diterima atau menguntungkan, maka pemimpin itu akan dianggap berhasil, bahkan bisa didemo atau diberhentikan.
Bila dulu, pemimpin mengambil keputusan secera heuristik atau tanpa menganalisis secara cermat data atau informasi. Sekarang, dengan semakin kompleknya organisasi, PK harus berdasarkan analisis yang cermat. Ini menempatkan PK adalah pekerjaan penting dari setiap pemimpin untuk mewujudkan tujuan dari organisasi atau lembaga yang dipimpinnya. PK adalah pekerjaan pikiran yang sama pentingnya dengan tindakan.
Agar keputusan yang diambil tidak merugikan dan menimbulkan resistensi (penolakan), para pemimpin harus mengambil keputusan cermat dan tepat mencapai tujuan organisasi, serta memuaskan. Hanya saja, untuk mengambil keputusan yang tepat dan memuaskan semua orang bukanlah pekerjaan mudah, dan riskan sekali untuk salah. Pemimpin harus memutuskan masa depan dengan informasi seadanya, dan informasi itu diperoleh dari kondisi sekarang ini. Karena itu, seringkali muncul kondisi yang paradoks. Pemimpin menurut Salusu (2003) harus memilih antara dua hal; hampir benar atau yang mungkin salah.
B. MASALAH
Agar keputusan menghasilkan sesuatu yang positif atau menguntungkan, maka keputusan yang diambil hendaknya tepat mewujudkan tujuan organisasi yang bersangkutan. Dalam proses PK diperlukan informasi, pengetahuan, pengalaman, serta scanning, atau analisis lingkungan. Para pemimpin perlu mempertimbangkan, memikirkan dan kemudian baru mengambil keputusan secara First Think First, memilih yang terbaik dari pilihan yang baik. mengutamakan sesuatu yang lebih utama dari sejumlah yang utama. Atau dengan kata lain, first think first dimaksudkan adalah bagaimana seorang pemimpin mengambil keputusan di tengah kondisi yang paradok.
Beberapa hal yang paradoks dalam persoalan makalah ini akan difokuskan bagaimana pemimpin bisa mengutamakan yang lebih utama itu, first think first, antara lain:
1. Bagaimanakah menempatkan antara kekuatan individu dengan kekuatan kelompok dan lingkungan
2. Bagaimanakan solusi tarik menarik kepentingan individu dengan perubahan ?
3. Teori keputusan manakah yang adaptif di tengah perubahan yang cepat ini ?
4. Apakah benar nilai sosial budaya, kebiasaan, dan religi menghambat PK?
5. Bisakah keputusan profesional dijadikan skala prioritas dalam membuat program ?
6. Manakah aspek dominan dalam mengambil keputusan ditengah persaingan bebas
Semua jawaban atas persoalan ini dirangkum dengan judul makalah Mengambilan Keputusan dalam Kondisi Paradok
C. MEMPERTIMBANGANKAN KEKUATAN INDIVIDU KELOMPOK DAN LINGKUNGAN
Pekerjaan pemimpin adalah mengambil keputusan, oleh karena itu penting bagi setiap pemimpin memiliki kemampuan dan keterampilan untuk membuat keputusan yang tepat bagi lembaga, institusi atau organisasinya. Namun dalam mengambil keputusan, kemampuan individual pemimpin ini sering kali dihadapkan kepada dinamika kelompok dan lingkungannya. Bagaimanakan seharusnya menghadapi paradoks ketiga aspek ini ?
Bila dilihat dari sudut kepentingan antara dinamika individu pemimpin, dengan dinamika kelompok dan lingkungan agaknya yang sulit disatukan. Bahkan tidak jarang terjadi, ketiga unsur itu bagaikan bertolak belakang. Akan tetapi, ketiga aspek ini sering kali masuk jauh ke dalam proses PK dalam organisasi.
Dari banyak penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa faktor bawaan, pengalaman masa kecil, pendidikan formal, dan pengalaman karier sangat menentukan proses atau hasil keputusan yang diambil seorang pemimpin (Salusu, 2003). Namun faktor tersebut tidaklah bersifat kaku dan linear. Bagi pemimpin yang sudah berpengalaman, tidak tertutup kemungkinan ia dapat melahirkan keputusan yang tepat, meskipun keputusan diambil tanpa melalui analisis mendalam, dan hanya berdasarkan kesan, pemahaman, atau kesimpulan dari berbagai pengalaman yang telah lama, atau bersifat heuristik.
Meskipun faktor individual pemimpin sangat dominan dalam PK, akan tetapi pengaruh itu tidak bersifat statis. Faktor individual akan bekembang mengikuti dinamika kehidupan pribadi pemimpin yang bersangkutan. Oleh karena itu, PK tidak mungkin terlepas dari pengaruh dinamika individual sang pemimpin. Dinamika individu itu dapat disebabkan oleh aspek emosional yang bersangkutan saat itu, seperti senang atau marah. Tetapi juga dapat dipengaruhi oleh informasi yang diterima atau pengalamanan gagal atau sukses yang pernah dialaminya.
PK yang didasari oleh kemauan individual saja, sering kali merugikan lembaga atau menghasilkan penolakkan. Kotter (1999), mengingatkan bahwa pemimpin yang tidak peduli dengan situasi lingkungan justru bisa membawa bencana bagi organisasinya.
Oleh sebab itu, dalam PK, setiap pemimpin perlu memperhatikan dinamika kelompok dan lingkungan. Sebab dalam organisasi (apalagi dalam organiassi profit), kekuatan kelompok (seperti pemegang saham) justru sangat dominan dalam menentukan arah kebijakan organisasi. Kelompok penentu kebijakan bisa bersifat infra maupun supra struktur dalam organisasi.
Disamping dinamika kelompok, juga perlu diperhatikan adalah dinamika lingkungan, yaitu sesuatu yang berada di luar (eksternal), tetapi memiliki kaitan langsung atau tidak langsung dengan organisasi. Seperti yang terkait dengan masukan (input), instrumen proses, serta pengguna hasil (out-put), misalnya pemerintah, suplier, distributor dan leveransir.
Untuk menghadapi kondisi yang demikian, seorang pemimpin dituntut untuk melaksanakan first think first, memprioritaskan yang amat penting dalam PK. Untuk bisa memprioritas yang benar-benar penting, ada dua strategi first think first yang dapat dilaksanakan oleh pemimpin, yaitu: 1) optimasi atau pertimbangan jelimet, dan 2) kepuasan (satisfacing) atau mengutamakan kepuasan yang lebih banyak meskipun dengan rasionalitas terbatas. Dimaksud dengan pertimbangan jelimet adalah bahwa pemimpin menganalisis secara benar seluruh alternatif keputusan dengan memperhitungkan untung-rugi masing-masing alternatif itu secara teliti. Sementara kepuasan maksudnya pemimipin memilih alternatif yang dianggap paling memuaskan, dan tidak perlu melelahkan sampai menganalisis secara detail (Salusu,2003)
Namun, bila petentangan itu masih sulit diatasi dengan cara di atas, disebabkan karena ketiga aspek; dinamika individu, kelompok, dan lingkungan tersebut paradok pada posisi yang sama kuatnya, mungkin keputusan saling mengabaikan salah satu diantaranya, bisa benar atau salah, atau keputusan diambil terhadap hal yang belum tentu benar atau salah, yang sering disebut sebagai daerah kelabu (grey area) maka pemimpin dapat menempuh solusi first think first dengan melakukan pertimbangan etis.
Pertimbangan etis menuntut pemimpin untuk mengambil keputusan dengan mengacu kepada aturan-aturan etis atau atas dasar prinsip, norma, atau standar baku dalam organisasi atau masyarakat. Penerapan pertimbangan etis ini juga memperhatian prinsip utilitas, yaitu bahwa alternatif yang dipilih sudah menjadi terbaik dari alternatif yang ada, berdasarkan pertimbangan kondisi saat itu serta tujuan organisasi.
D. TARIK MENARIK KEPENTINGAN INDIVIDU DAN PERUBAHAN
Dalam PK, faktor individu pemimpin dan tuntutan perubahan terkadang sulit dipersatukan. Untuk menyesaikan tarik menarik antara kedua faktor ini, individu dengan tuntutan perubahan, diperlukan cara yang tepat. Bagaimanakah penerapan first think first dalam mengatasi kondisi ini? Inilah yang dicoba diungkapkan di bawah ini !
Keengganan seseorang menerima atau melaksanakan perubahan sering kali didominasi oleh pemahaman, penilaian, serta prakiraannya akan konsekuensi yang merugikan bagi pribadinya. Kondisi ini tidak hanya dialami dalam kehidupan pribadi tetapi juga berlaku dalam pengambilan keputusan organisasi.
Wibowo (2006) telah menghimpun faktor resistensi individu pemimpin terhadap perubahan, antara lain pandangan Grenberg & Baron, yang menyatakan bahwa ada 5 macam faktor resistensi pemimpin terhadap perubahan, yaitu: 1) ketidak-amanan ekonomis, 2) ketakutan yang tidak diketahui, 3) ancaman terhadap hubungan sosial, 4) kebiasaan, dan 5) tidak mengenal kebutuhan untuk berubah. Robbin dalam bukunya Organization of Behaviors (2006) mengillustrasikan pula adanya 5 faktor yang hampir sama, tapi ia mengganti faktor kelima dengan proses informasi selektif (slective information processing),
1. Kebiasaan (habits)
Kebiasaan yang dimaksud disini adalah cara yang biasa dilaksanakan. Seringkali perubahan berimbas kepada perubahan kebiasaan (habits) individu pada bidang lainnya, yang mungkin mencemaskannya. Akibatnya, seseorang menolak perubahan justru lebih disebabkan karena enggan merubah kebiasaan (habits) tersebut meskipun mereka mengakuinya sesuatu yang lebih baik.
2. Keamanan (security)
Bila perubahan dipandang justru menimbulkan ketidak pastian dan berdanpak negatif terhadap kemapanan, keamanan dan kelangsungan masa depannya, maka seseorang cenderung menolak perubahan itu.
3. Faktor ekonomis (economic factor)
Keengganan seseorang menerima perubahan dapat terjadi bilamana terjadi penurunan pendapatan, seperti upah atau membutuhkan biaya tambahan, sehingga berakibat kepada penurunan nilai ekonomis. Misalnya penurunan upah, gaji, honor atau biaya tambahan, ekstra.
4. Ketakutan yang tidak jelas (fear of the unknown)
Takut atau cemas akan terjadi ketidak-stabilan atau ketidak-seimbangan antara suatu kekuatan yang mungkin ditimbulkan oleh suatu perubahan justru seringkali seseorang menolak untuk menerima perubahan.
5. Proses Informasi Pilihan (Selective Information Processing)
Seringkali orang suka mendengar informasi yang diinginkannya dan enggan untuk memproses informasi yang tidak berkenaan dengan keinginannya. Akibatnya, energi seorang pemimpin lebih banyak dicurahkannya kepada proses informasi untuk mempertahankan keputusan, dan menolak infomasi tentang perubahan, akibatnya ia bersikukuh dengan pendapat tersebut dan menolak untuk melakukan perubahan
Karena perubahan tidak mungkin dihentikan, maka pemimpin justru hendaknya menerima perubahan itu sebagai peluang positif bagi institusinya. Langkah first think first dalam menghadapi kondisi ini hendaknya diawali dengan bersikap adaptif dan visioner. Bersikap adaptif artinya menerima dan memanfaatkan kondisi perubahan untuk memajukan institusinya, sedangkan visioner adalah membuat perhitungan yang jauh ke depan mendahului perubahan yang akan (mungkin) terjadi.
Strategi first think first yang bisa menopang sikap adaptif dan visionner ini, menurut Anwar (2007), hendaknya pemimpin mendorong dirinya dan anggotanya menjadi kreatif, sensitif, belajar dengan gigih, memulai pekerjaan dari yang mudah, memperluas jaringan kerja sama, dan akselerasi.
1. Kreatif
Kreatif adalah keberhasilan melahirkan sesuatu yang baru dengan memanfaatkan pengetahuan, bahan, atau sesuatu yang telah ada. Kreatif menurut Semiawan (2001) maupun Supriadi (1994). bisa berbentuk produk, proses, press, dan person Dalam kaitan ini, pemimpin yang disebut kreatif adalah yang mampu menciptakan suatu produk baru lain dari yang lain (hasil), menciptakan suatu sistem yang memudahkan proses kerja (proses), berjiwa menerima pembaharuan (press), serta menjadi sebagai sosok pribadi yang selalu berhasil mencari solusi untuk menghadapi sesulit apapun permasalahan (person).
2. Sensitif bagaikan Kupu Kupu
Agar pemimpin bisa menyelesaikan paradok antara tututan perubahan dengan faktor individualitasnya, perlu pemimpin memiliki sikap yang sensitif terhadap perasaan bawahan atau anggotanya. Sikap sensitif bukanlah menjadikan dirinya mudah tersinggung, tetapi menempatkan dirinya menjadi orang yang peka dengan kondisi orang lain. Cepat tanggap atau bisa menempatkan diri pada diri orang yang dalam psikologi seringkali disebut dengan sikap empathy. Bagaikan kupu yang hinggap dibunga, ia bisa hinggap tanpa membuat jatuhnya kelopak bunga, bahkan semut yang adapun tidak terusik, sehingga memungkinkan ia melakukan langkah adaptasi dan antisipasi terhadap perubahan yang terjadi.
3. Belajar seperti laron
Long life education, Pendidikan Sepanjang Hayat (PSH) tidaklah milik kalangan akademik semata. Pemimpin, bahkan setiap orang yang ingin berhasil dalam kehidupan, harus melaksanakan PSH ini. Bila kaum akademis belajar melalui pengajaran, buku dan penelitian, maka pemimpin bisa menggunakan pengalamannya sebagai tempat belajarnya. Artinya, disamping membaca buku, sumber belajar yang terpenting dari seorang pemimpin adalah pengalaman dalam melaksanakan pekerjaan sehari-hari. Setiap kali ia selesai menyelenggrakan kegiatan, baik berhasil atau tidak, ia hendaknya segera melakukan refleksi dalam rangka menemukan pemahaman; Mengapa berhasil atau gagal. Apa faktor pendorong atau penghambat? Sumber daya mana yang bisa dipadukan agar bisa menemukan yang lebih baik lagi ? serta berbagai pertanyaan lainnya. Lihatlah laron, bilamana sayapnya lepas, ia masih terus mengembara dengan menggunakan kakinya.
4. Bekerja: Dari yang mudah ke yang sulit
Tak terbayangkan, kemajuan teknologi komunikasi seperti HP (handphone) ternyata berhasil menguakkan keterbatasn ruang dan waktu. Seorang pimpinan yang ada di USA bisa berbicara dengan salah satu direksinya di Bandung sambil menatap pandang, kayaknya berhadapan, meskipun pisik mereka dibatasi oleh benua. Keberhasilan teknologi ini bukanlah sekali jadi, tetapi dimulai dulu dengan temuan kecil: radio, listrik, batrai, audio, film, telefon, komputer dan temuan lainnya. Jadi, HP bukanlah sekali jadi, tetapi berasal dari temuan kecil dan mungkin sekali terlepas atau terpisah-pisah, tapi sangat berarti bagi ditemukannya HP.
Begitu juga halnya dalam organisasi, tiada pekerjaan yang besar tanpa harus memulainya dari yang kecil (inkremental) Seberat apapun tugas atau beban pekerjaan yang harus diselesaikan, asal hari ini bisa diguyur dan diselesaikan meskipun kecil, toh akhirnya pekerjaan besar akan terasa ringan. Small is beautiful, istilah yang dipopulerkan Schumacher melalui judul bukunya, agaknya memungkinkan pemimpin dapat mewujudkan pola First Think First dalam mengadaptasi perubahan maupun kepentingan dirinya.
5. Perluasan Jaringan Kerjasama
Ceritera Robinson Crusso, si manusia yang hidup ditengah serigala, tidak mungkin ditemukan dalam bidang organisasi. Setiap organisasi menerima pengaruh dari pihak luar, seperti hanya sebuah pabrik, menerima bahan baku (input) dari luar dan setelah menjadi produk (out put) akan melemparnya ke luar lagi. Bahkan dewasa ini, proses yang selama ini dianggap sebagai Black Box System (Sistem Kotak Hitam), ternyata telah ditinggalkan, dan sekarang menuntut setiap lembaga akuntabel dan transparan bagaikan rumah kaca.
Oleh sebab itu, jaringan kerja sama antar organisasi sangat diperlukan. Tidak hanya dengan stokeholder, tetapi dengan berbagai pihak termasuk jaringan kerja internal maupun eksternal. Kerjasama itu bisa dilakukan dengan menggunakan berbagai modus guna memanfaatkan perubahan yang terjadi. Mulai dari yang kecil atau sederhana sampai yang canggih dan komplek. Seperti pengembangan komunikasi interpersonal, pengembangan jaringan melalui media cetak, (koran,majalah, jurnal) media ekektronik (radio, telpon, tv, internet), atau melalui jalur organisasi seperti pertemuan, seminar, forum dsbnya.
Jaringan kerjasama ini, akan memudahkan proses fisrt think first bagi pemimpin dalam pengambilan keputusan. Tuntutan akan perubahan sebagai akibat jaringan yang luas akan mudah diakomodir dan diadaptasi kepentingan individu maupun dengan tuntutan perubahan yang terjadi. Atau dengan kata lain, dengan membangun jaringan yang luas akan dapat mengurangi kondisi pradok diantara tuntutan perubahan dengan kepentingan individu .
6. Akselerasi
Untuk mengantisipasi perubahan yang tengah dan akan berlangsung, pemimpin setiap organisasi perlu melakukan langkah-langkah yang bersifat adaptif, atau oleh Tofller (1989) disebut dengan akselerasi. Dalam salah satu buku terlarisnya yang ditejemahkan dalam banyak bahasa termasuk Bahasa Indonesia "Perusahaan Adaptif" ia menggambarkan betapa organisasi terutama dunia usaha setiap hari harus memperhatikan gerak maju masyarakat yang cenderung menjadi semakin selektif dan variatif.
Karena dunia selalu berubah, tidak abadi, maka perubahan itu justru jadi abadi. Selalu melakukan usaha akselerasi akan mendorong pemimpin untuk siap dan bahkan amat peduli dengan perubahan. Kondisi ini akan bisa mengeliminasi paradok antara kepentingan individu pemimpin dengan tuntutan perubahan.
Perubahan telah menjadi kebutuhan dalam berbagai kehidupan, termasuk dalam organisasi. Dalam konteks First Think First, pemimpin seyogyanya mengambil keputusan yang mampu mengantisipasi perubahan ketimbang menyesuaikan diri dengan perubahan. Pemimpin yang First Think First hendaknya menggunakan perubahan yang tengah terjadi dengan membuat keputusan yang strategis, visioner atau berwawasan jauh ke depan sehingga dapat mendahului arah perubahan yang tengah bergulir. PK hendaknya tidak dipandang sekedar kebutuhan, tetapi hendaknya ditempatkan sebagai kekuatan yang harus dimanfaatkan guna mewujudkan tujuan organisasi, demikian dipesankan oleh Barron (Wibowo,2006)
E. TEORI YANG ADAPTIF DENGAN PERUBAHAN
Kewajiban untuk mengambil keputusan terdapat disemua lini pemimpin organisasi atau lembaga, baik besar atau kecil, profit atau non-profit. Setiap saat pemimpin harus mengambil keputusan guna mewujudkan tujuannya Sifat keputusan itu mulai dari yang sederhana (operasional) sampai kepada yang kompleks (strategis), dari yang mungkin rutin sampai kepada yang extraordinary, unik, dan tak terprogramkan.
Keputusan bukanlah hasil, tetapi sebenarnya merupakan sarana atau mekanisme organisasi dalam rangka mewujudkan tujuannya. Keputusan masih merupakan pekerjaan pikiran untuk memilih sesuatu yang akan dilakukan. Setelah pekerjaan pikiran ini selesai barulah diambil tindakan atau implementasi keputusan. Meskipun PK dan implementasi adalah dua hal yang berbeda, PK adalah pikiran dan implementasi adalah perbuatan, akan tetapi keduanya tidak bisa dipisahkan. Keputusan baru akan berarti bila diikuti dengan implementasinya atau tindakan. Bukanlah keputusan namanya, bila tidak diikuti dengan tindakan
Kehidupan organisasi sama dinamisnya dengan kehidupan masyarakat. Setiap saat selalu terjadi perubahan akibat tuntutan hidup. Perubahan terjadi dalam segala lini kehidupan, mulai dari kehidupan individu, keluarga, bermasyarakat, sampai kepada kehidupan organisasi Namun tidak jarang perubahan membawa konsekuensi yang paradok dengan kepentingan seseorang, termasuk dalam pengambilan keputusan.
Perubahan yang terjadi dalam era globalisasi sekarang, menurut Toffler (1989), semakin cepat dan seakan-akan tidak teramati dengan mata lagi. Kejadian di suatu benua akan menimbulkan pengaruh cepat dan luar biasa pada belahan dunia lainnya. Misalnya, perang, kebakaran kilang minyak, atau laporan lembaga keuangan, segera disambut dengan revisi harga minyak dunia, atau nilai tukar mata uang yang dampaknya sampai ke desa yang mungkin sekali berada di pedalaman
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan itu sangat banyak, bahkan Wibowo (2006) mengutip berbagai pandangan ahli tentang faktor-faktor yang menimbulkan perubahan itu. Sekurang-kurangnya ada 8 (delapan) faktor yang dominan; antara lain adalah: (1) kemajuan teknologi, (2) semakin intensifnya persaingan, (3) semakin cerdas dan banyaknya tuntutan konsumen, (4) perubahan pasar dan kejutan ekonomi, (5) tekanan sosial dan politik, (6) pergeseran demokrafis penduduk, (7) kesenjangan tenaga kerja, dan (8) kebijakan pemerintah dan privatisasi
Karena itu, perubahan tak bisa dihambat, apalagi untuk distop. Siapapun, di manapun dan dengan kekuatan apapun, termasuk pemimpin atau menejer manapun juga, tidak akan berhasil mengehentikannya Konsekuensinya, tak ada satupun negara dan organisasi yang bisa menutup diri dari perubahan itu. Mengisolasi diri dari perubahan sama halnya dengan bunuh diri, karena akan tertinggal dan dikalahkan oleh persaingan atau kompetitornya.
Perubahan dan keputusan saling pengaruh-mempengauhi. Keputusan diperlukan karena adanya perubahan, namun sering kali perubahan tercipta karena adanya keputusan. Keputusan karena perubahan atau keputusan untuk perubahan adalah dua hal yang berbeda. Secara konseptual, keduanya bisa dipisahkan. Yang pertama adalah bersifat penyelesaian masalah dan sering dilakukan oleh menejer, sedangkan yang kedua adalah bersifat strategis dan visioner dan dilakukan oleh pemimpin. Namun keduanya memerlukan PK. Artinya, setiap tahap dari penyelesaian masalah maupun dalam pengambilan keputusan yang bersifat penyelesaian masalah atau strategis sama-sama berkepentingan dengan PK.
Dalam pengambilan keputusan dikenal berbagai macam teori, dintaranya adalah 1) teori birokrasi, 2) scientific, 3) sistimatic analysis, 4) planning anticipating, 5) human relations, dan 6) pengambilan keputusan komprehensif (Salusu). Bahkan juga ada yang disebut dengan 7) teori black box system.
Disebut teori birokratik karena keputusan menggunakan jalur atau jenjang birokrasi. Disebut scientific dijabarkan dalam konseptual yang logis dan teoritis terlebih dahulu dalam indikator yang kecil. Analisis Sistimeatis adalah keputusan diambil berdasarkan analisis dengan menggunakan formula tertentu. Planning anticipating adalah merancang dulu kegiatan untuk mengtasipasi kondisi mendatang. Human relations mendahulukan hubungan kemanusiaan seperti kepuasan kerja. Sedangkan analisis sistem bermaksud melihat organisasi suatu sistem yang terdiri dari komponen sistem, dan saling berkaitan dengan sistem lainnya.
Namun kesemua teori ini sebenarnya berangkat dari dua sifat yang berbeda, yaitu penyelesaian masalah atau bersifat strategis. Teori birokrasi, rutin, repitif, sistimatis, adalah bentuk keputusan yang bersifat penyelesaian masalah. Sedangkan sifat yang strategi dapat diwakili oleh planning anticipating, human relations, dan pengambilan keputusan komprehensif.
Dari berbagai teori ini, strategi first think first untuk mengatisipasi perubahan adalah dengan memandang perubahan sebagai suatu tantangan yang perlu diatasi dan diantisipasi. Usaha itu dilakukan dengan mengambil keputusan yang bersifat strategis, visioner atau berwawasan jauh ke depan, yang dimulai dengan mengembangkan bersama visi dan misi, melakukan scanning lingkungan internal dan eksterna, menghimpun alternatif, memilih atau mengambil keputusan, implementasi serta pengawasan dan evaluasi.
Karena, keputusan stratejik adalah langkah yang bersifat visioner, utuh, dan faktual. Ia mengggantung cita ke langit kakinya masih tetap berpijak di bumi (Akdon, 2006) atau bagaikan sutradara (Starratt,2007) tidak saja bisa mengantisipasi tetapi sekurang-kurang menempatkan semua anggota dalam organisasi untuk siap melakukan perubahan. Dibandingkan teori lain, keputusan yang stratejik akan bisa mengakomodir kekuatan atau keunggualan dari teori yang lain, sementara berbagai kelemahan atau kekurangan akan bisa diwaspadai kalaupun tidak bisa untuk dieliminasi.
F. PARADOK PENGARUH NILAI BUDAYA & RELIGI DALAM PK
PK adalah pekerjaan sekarang yang hasilnya dirasakan setelah sekian lama keputusan itu diimplementasikan. Meskipun memiliki data dan informasi yang cukup, masa datang hanya bisa diprediksi, namun tak bisa dipastikan. Sebab, mempertimbangan informasi yang diperoleh sekarang tidak selalu akurat untuk memprediksi masa depan. Penyebab yang kecil dan mungkin tidak terduga, justru bisa membelokkan arah organisasi.
Oleh sebab itu tidak sedikit pemimpin yang takut atau mikir-mikir dalam waktu lama untuk mengambil keputusan. Dalam lembaga formal seperti pemerintahan maupun lembaga privat, seringkali kondisi ini dijumpai, pemimpin menahan diri dari pada harus cepat-cepat memutuskan menerima atau menolak, sampai ia yakin bahwa keputusan yang akan diambil itu tidak berimplikasi negatif terhadap dirinya; baik dalam hubungan dirinya dengan atasan maupun dengan bawahan serta stakeholders yang terkait dengan keputusan itu.
Pertimbangan semacam inilah yang memberi peluang masuknya faktor nilai, budaya, religi dan kebiasaan sebagai salah satu saringan yang mempengaruhi proses PK dan implementasinya. Tidak jarang terjadi, pertimbangan yang strategikpun bisa dikalahkan bilamana tidak sesuai dengan faktor nilai, budaya, religi dan kebiasaan. Kalaupun tidak membatalkan, paling tidak akan terjadi penundaan, seperti kasus penundaan undang-undang lalu lintas yang terjadi di zaman Soeharto lalu.
Nilai, budaya, kebiasaan dan religi yang berkembang pada masyarakat dan pemimpin memiliki pengaruh besar dalam proese PK maupun implementasinya. Dalam proses PK, terutama bila berhadapan dengan situasi harus memilih, maka ada kecenderungan pemimpin memilih alternatif yang dianggapnya sesuai dengan nilai, budaya, kebiasaan dan nilai-nilai agama. Begitu juga dalam implementasinya, bila dalam pelaksanaanya dirasakan memiliki hal yang kontradiksi dengan nilai, budaya,kebiasan dan agama, maka suatu keputusan kemungkinan ditangguhkan atau dibatalkan.
Gibson, Ivancevich dan Donnelly (1997) menjelaskan pengaruh nilai, budaya dan kebiasaan dan agama dalam setiap tahap proses pengambilan keputusan. Dalam menetapkan sasaran, pertimbangan tata nilai mesti dibuat saat memilih alternatif dan menetapkan prioritas. Dalam mengembangkan alternatif, pertimbangan tata nilai tentang berbagai kemungkinan yang dibutuhkan dan pengambil keputusan akan cenderung memilih yang cocok dengan tata nilainya. Memilih alternatif, sistem tata nilai pengambil keputusan mempengaruhi alternatif yang dipilih dan mendorong ia memilih tata nilai yang dipegangnya kendatipun ada kelemahan dari lainnya. Implementasi keputusan, pertimbangan sistem tata nilai akan memberi prioritas untuk nilai yang diharapkannya. Bahkan sampai saat melaksanakan kontrol dan evaluasi, tata nilai akan mempengaruhi standar penilaiannya.
Sementara di pihak lain, pemimpin bekerja bukanlah untuk dirinya, tetapi adalah untuk lembaga atau organisasi yang dipimpinnya, yang besar kemungkinannya terdiri dari berbagai kepentingan. Sehingga tidak tertutup munculnya standar nilai, norma, kebiasaan serta religi yang berbeda.
Untuk mengatasi hal yang paradoks ini, strategi first think first yang bisa diterapkan agaknya bisa mengikuti pandangan Herbert Simon yang mengutamakan satisficing (kepuasan). Untuk menemukan kepuasan itu, pemimpin perlu menghindari atau mengeliminasi keputusan yang bersifat ekstrim bertentangan dengan nilai, norma, kebiasaan dan agama, tetapi mendahulukan keputusan mengutamakan nilai kebersamaan antara nilai individu pemimpin itu sendiri dengan nilai kelompok kepentingan tersebut. Artinya, pemimpin harus menghindari bila keputusan dan proses implemntasinya akan bertentang secara ekstrim dengan nilai, norma dan kebiasaan serta sistem religi masyarakat. Sebab, tidak jarang terjadi keputusan yang baik, tidak dapat mencapai sasarannya bila menimbulkan dampak luar biasa terhadap nilai, budaya, kebiasaan, dan religi masyarakat. Kasus internet masuk sekolah yang tengah digulirkan oleh Mendiknas, mungkin akan menjadi contoh nyata dari hal ini.
G. KEPUTUSAN PROFESIONAL UNTUK SKALA PRIORITAS SUATU PROGRAM
Bila dulu, dalam lembaga tradisional, orang lebih mengutamakan tindakan dari pada proses pengambilan keputusan, namun sekarang keduanya dianggap sama pentingnya. Oleh sebab itu, guna mengembangkan aksi tindakan atau program perlu mempertimbangkan cara keputusan diambil. Bagaimana menyikapi hal ini, khususnya menyangkut persoalan skala prioritasnya?
Bisakah pertimbangan keputusan profesional dijadikan skala prioritas dalam membuat program ?
Pemimpin dan Menejer dapat dibedakan atas keputusan yang dihasilkannya. Keputusan yang bersifat terprogram atau rutin dan sejenisnya biasanya menjadi tugas menejer. Sementara keputusan yang tak terprogram, unik, khusus, dan strategis dihasilkan oleh pemimpin. Ini hanyalah peran, tidak berarti kedua orang tersebut harus hadir dalam suatu institusi. Seseorang pemimpin, dalam suatu waktu bisa berperan sebagai menejer dan sekali waktu berperan sebagai pemimpin.
Untuk menyelenggarakan program, para pemimpin dewasa ini perlu melakukan analisis yang komprehensif terhadap berbagai langkah atau tahapan sebelum sampai kepada suatu keputusan. menurut Anwar (2007) langkah-langkah pengambilan keputusan ada 7 tahap, yaitu: 1) identifikasi dan pemahaman masalah, 2) pengumpulan dan analisis informasi, 3) penyusunan alternatif, 4) analisis tingkat konsekuensi/resiko, 5) pemilihan alternatif terbaik, 6) evaluasi alternatif, dan 7) implementasi keputusan..
Dalam menjalani tahapan pengambilan keputusan ini, diperlukan keterampilan untuk menyesuaikan setiap tahapan itu dengan sifat masalah, waktu yang tersedia, dukungan dana serta profesionalitas dalam pengambilan dan pemilihan keputusan. Keterampilan yang demikian akan semakin dirasakan urgensinya bila mana berhadapan dengan keputusan yang tidak terprogram, atau dalam pengambilan keputusan yang stratejik.
Untuk memutuskan suatu program kegiatan, pemimpin hendaknya mengutamakan yang utama atau bertidak secara first think first, dengan cara mengusahakan semaksimal mungkin melakukan pendekatan pengambilan keputusan yang profesional disat program itu dirancang. Hal ini tentu saja pemimpin mengkaji ulang secara cermat tahap demi tahapan sebelum memutuskan.
H. MENGAMBIL KEPUTUSAN DI TENGAH PERSAINGAN BEBAS
Salah satu ciri dari globalisasi sekarang ini munculnya tuntutan kebebasan pasar, dan mendorong terciptanya kompetisi secara sehat diantara lembaga profit bahkan juga lembaga-lembaga non-profit. Bagaimanakah tantangan ini bila dikaitkan dengan PK, aspek manakah yang perlu mendapat perhatian ?
Dalam menghadapi persaingan bebas dewasa ini, setiap organisasi baik profit maupun non profit, dituntut untuk meningkat mutunya dalam artian yang luas. Namun mutu itu sendiri sangat abstrak dan subjektif. Karena ukuran mutu bukan saja ditentukan dengan kuantitatif, tetapi juga ditentukan oleh kepuasan subjektif dari stakeholders (konsumen atau pengguna jasa, atau pemasok, distrubutor, pemerintah, masyarakat sekitar, pers, atau pihak lain terkait) bahkan pihak internal (menejer lini, pemilik, pendiri, pemegang saham, karyawan dan keluargnya). Karena sifatnya yang subjektif ditambah lagi dengan keragaman kepentingan stakeholders, maka ukuran mutu hendaknya tidak ditentukan oleh pemimpin, tetapi justru dilihat dari kepuasan dari pelanggan.
Perubahan orientasi mutu dari semula secara sepihak ditentukan pemimpin menjadi mutu yang diorientasikan kepada pelanggan, telah dikembangkan seorang ahli fisika, E. Edwards Deming, dengan istilah TQM (total quality management) dan kemudian diadaptasikan untuk pendidikan oleh Edward Sallis (1993) atau di Indonesia populer dengan MMT (menejemen mutu total).
TQM atau MMT pada prinsipnya mengajak atau mengilhami para pemimpin untuk membina hubungan yang saling memuaskan baik dalam lingkungan internal atau eksternal lembaga, caranya adalah menjadikan aspirasi, kehendak, atau harapan menjadi ukuran mutu. Sehingga akan mendorong terbentuknya citra atau imej yang positif terhadap institusi dan pada gilirannya akan menentukan kelanjutan institusi itu dalam menghadapi kompetitornya.
Dalam menghadapi persaingan bebas, menuntut pemimpin untuk menciptakan keunggulan komperatif atau dalam lembaga profit disebut keungggulan kompetitif. Keunggulan komperatif/kompetitif bukanlah dimaksudkan memenangkan persaingan dengan cara mengalahkan kompetitor, tetapi adalah menjadi lembaga atau institusi pemenang tanpa mematikan kompetitor, sebab kompetitor itu sangat diperlukan dalam kelanggengan suatu lembaga atau institusi, baik profit apalagi non profit. Bila keunggulan justru mematikan kompetitor akan menimbulkan monopoli yang pada saatnya nanti akan menghadapi tantangan internal yang berdampak kehancuran lembaga yang bersangkutan.
Meskipun hal ini terlihat logis dan sederhana sehingga akan terasa mudah dicapai, namun dalam penerapannya di lapangan sebenarnya TQM/MMT memerlukan strategi implementasi yang komprehensif, baik menyangkut pelayanan pemimpin dan anggota terhadap kepentingan semua pihak. Untuk mendukung kualitas yang hendak diwujudkan dalam TQM/MMT mengandung aturan yang oleh Salusu (2003) dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Kualitas berarti setiap orang harus melakukan pekerjaan dengan baik
2) Kualitas muncul dari pencegahan bukan pemeriksaan atau inspeksi. Ini menuntut setiap orang hati-hati jangan sampai berbuat kesalahan
3) Kualitas adalah berarti memenuhi keinginan dan kebutuhan konsumen berarti bahwa harus diketahui, terus menerus dicermati arah dan dinamika keinginan atau harapan pelanggan itu.
4) Kualitas memerlukan komunikasi yang baik, yaitu membina hubungan dan jaringan kerja yang apik dengan pihak dalam maupun luar
5) Kualitas menuntut perencanaan yang stratejik, untuk mengantisipasi jangka panjang, baik dari stakeholders maupun mempertahankan keunggulan komperatif
Mengutamakan mutu yang dapat memuaskan semua pihak, termasuk kepuasan internal lembaga sendiri yang dapat menjadikan organisasi memiliki keunggulan komparatif. Ini adalah strategi peerapan first think first yang harus dipilih setiap pemimpin. Artinya, pemimpin hendaknya mengembangkan citra dari organisasi atau institusinya menjadi institusi atau organisasi terbaik, favorit, unggul, pilihan, dan istilah sejenisnya, baik dalam hasil maupun proses. Citra sebagai lembaga yang unggul itulah yang akan memungkinkan suatu organisasi bisa bertahan di alam persaingan bebas sekarang. Bukankah banyak lembaga atau institusi yang bisa bertahan sampai sekarang karena citra atau merek yang mereka punyai telah menjadi jaminan mutu bagi produknya
I. P E N U T U P
Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, maka berikut ini dapat disimpulkan:
1. Dalam mengambil keputusan sering kali pemimpin dihadapkan kepada polaritas; terima atau tolak, yang kadang-kadang bersifat paradok. Kondisi ini menuntut kearifan dan kecerdasaran agar pemimpin menempatkan prioritas yang tepat, mengutamakan yang lebih utama atau disebut dalam makalah ini dengan strategi first think first.
2. Dalam menghadapi kondisi paradok antara kekuatan individu, kelompok dan lingkungan, pemimpin hendaknya mempertimbangkan kepuasan (satisficing), dan bila masih berada pada daerah kelabu (grey area), maka diperlukan penerapan keputusan etis yang mengacu kepada prinsip, norma, atau standar baku dalam organisasi atau masyarakat.
3. Untuk mengatasi tarik menarik antara kepentingan individu dengan tuntutan perubahan, pemimpin hendaknya mengutamakan keputusan yang adaptif dan visionner; ini menuntut pemimpin menggunakan perubahan sebagai kekuatan untuk perbaikan.
4. Paradoks nilai, norma, kebiasaan serta religi dapat diatasi dengan mengutamakan satisficing (kepuasan). Namun untuk menghasilkan kepuasan itu, pemimpin perlu menghindari atau mengeliminasi keputusan yang bersifat ekstrim. Artinya, pemimpin harus menghindari bila keputusan dan proses implementasinya akan bertentang secara ekstrim dengan nilai, norma dan kebiasaan serta sistem religi masyarakat
5. Dalam menetapkan program, pemimpin hendaknya mengutamakan yang utama atau bertidak secara first think first, dengan cara semaksimal mungkin melakukan pendekatan pengambilan keputusan yang profesional, mengkaji secara cermat tahap demi tahapan proses pengambilan keputusan.
6. Untuk menghadapi persaingan bebas sekarang ini, pemimpin dapat menerapkan TQM dengan memusatkan perhatian bahwa proses dan produk harus memuaskan semua pihak (stakeholders) termasuk internal lembaga sendiri. Lembaga yang memenuhi standar mutu yang memusakan seluruh pihak itu, akan memiliki keungguan komparatif/kompetitif, dan pada gilirannya akan mampu betahan menghadapi persaingan global.
DAFTAR PUSTAKA
Akdon. (2006) Strategic Management for Educational Management (Manajemen Stategik untuk Manajemen Pendidikan ). Bandung: Alfabeta
Anwar, Idochi. 2007. Teori dan Proses Pengambilan Keputusan. Handout Perkuliahan. Bandung: Sekolah Pasca Sarjana UPI
Sallis, E. 1993. Total Quality Managemen in Education. Philadelphia. Kogan Page Educational Management Series.
Salusu, J. 2003. Pegambilan Keputusan Stratejik untuk Organisasi Publik dan Organisasi Nonprofit. Jakarta; Grasindo.
Semiawan, S. 2001 Memupuk bakat dan Kreativitas Siswa Sekolah Menengah. Jakarta: Gramedia.
Starratt, Robert J. (2007). Menghadirkan Pemimpin Visioner (terjemahan), Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Supriadi, D. 1994. Kreativitas, Kebudayaan dan Perkembangan IPTEK. Bandung; ALFABTA
Toffler.A. (1988). Kejutan Masa Depan. Jakarta: PT Panca Simpati
Prinsip polaritas (polarity) Sigmund Freud (Corsini:1984), bahwa kehidupan manusia sepanjang hari dihadapkan untuk memilih sesuatu dan menolak lawannya, agaknya berlaku dalam kehidupan organisasi. Para pimpinan, menejer atau administrator dari setiap institusi atau lembaga, baik level atas, menengah maupun bawah, akan selalu dihadapkan untuk mengambil keputusan atau menetapkan pilihan atas polaritas ini; ya atau tidak, terima atau tolak, deal or not-deal istilah Tantowi Yahya dalam salah satu acara di TV swasta.
Oleh sebab itu, pengambilan keputusan adalah pekerjaan utama setiap pemimpin. Tidak ada satupun pemimpin yang bebas dari pengambilan keputusan ini, mulai dari level tertinggi sampai level terendah, bersifat profit maupun non-profit, baik milik publik maupun privat, berbentuk formal atau non-formal. Pokoknya, setiap pemimpin, di level manapun dan dalam lembaga apapun, akan selalu berurusan dengan yang namanya pengambilan keputusan (selanjutnya disingkat PK), mulai dari keputusan yang bersifat sederhana sampai kompleks.
Anehnya, meskipun merupakan pekerjaan setiap hari para pemimpin, PK bukanlah berarti pekerjaan yang sederhana. Secepat seorang pemimpin mengambil keputusan, secepat itu pula telah ditunggu polarisasi lain; Apakah keputusan itu menuai hasil positif atau negatif, untung atau rugi, diterima atau ditolak, bermanfaat atau tidak, efisien atau boros, efektif atau ngambang. Polaritas ini justru akan menentukan kualitas seorang pemimpin. Bila keputusan yang diambil pemimpin membawa danpak positif, efektif, efisien, diterima atau menguntungkan, maka pemimpin itu akan dianggap berhasil, bahkan bisa didemo atau diberhentikan.
Bila dulu, pemimpin mengambil keputusan secera heuristik atau tanpa menganalisis secara cermat data atau informasi. Sekarang, dengan semakin kompleknya organisasi, PK harus berdasarkan analisis yang cermat. Ini menempatkan PK adalah pekerjaan penting dari setiap pemimpin untuk mewujudkan tujuan dari organisasi atau lembaga yang dipimpinnya. PK adalah pekerjaan pikiran yang sama pentingnya dengan tindakan.
Agar keputusan yang diambil tidak merugikan dan menimbulkan resistensi (penolakan), para pemimpin harus mengambil keputusan cermat dan tepat mencapai tujuan organisasi, serta memuaskan. Hanya saja, untuk mengambil keputusan yang tepat dan memuaskan semua orang bukanlah pekerjaan mudah, dan riskan sekali untuk salah. Pemimpin harus memutuskan masa depan dengan informasi seadanya, dan informasi itu diperoleh dari kondisi sekarang ini. Karena itu, seringkali muncul kondisi yang paradoks. Pemimpin menurut Salusu (2003) harus memilih antara dua hal; hampir benar atau yang mungkin salah.
B. MASALAH
Agar keputusan menghasilkan sesuatu yang positif atau menguntungkan, maka keputusan yang diambil hendaknya tepat mewujudkan tujuan organisasi yang bersangkutan. Dalam proses PK diperlukan informasi, pengetahuan, pengalaman, serta scanning, atau analisis lingkungan. Para pemimpin perlu mempertimbangkan, memikirkan dan kemudian baru mengambil keputusan secara First Think First, memilih yang terbaik dari pilihan yang baik. mengutamakan sesuatu yang lebih utama dari sejumlah yang utama. Atau dengan kata lain, first think first dimaksudkan adalah bagaimana seorang pemimpin mengambil keputusan di tengah kondisi yang paradok.
Beberapa hal yang paradoks dalam persoalan makalah ini akan difokuskan bagaimana pemimpin bisa mengutamakan yang lebih utama itu, first think first, antara lain:
1. Bagaimanakah menempatkan antara kekuatan individu dengan kekuatan kelompok dan lingkungan
2. Bagaimanakan solusi tarik menarik kepentingan individu dengan perubahan ?
3. Teori keputusan manakah yang adaptif di tengah perubahan yang cepat ini ?
4. Apakah benar nilai sosial budaya, kebiasaan, dan religi menghambat PK?
5. Bisakah keputusan profesional dijadikan skala prioritas dalam membuat program ?
6. Manakah aspek dominan dalam mengambil keputusan ditengah persaingan bebas
Semua jawaban atas persoalan ini dirangkum dengan judul makalah Mengambilan Keputusan dalam Kondisi Paradok
C. MEMPERTIMBANGANKAN KEKUATAN INDIVIDU KELOMPOK DAN LINGKUNGAN
Pekerjaan pemimpin adalah mengambil keputusan, oleh karena itu penting bagi setiap pemimpin memiliki kemampuan dan keterampilan untuk membuat keputusan yang tepat bagi lembaga, institusi atau organisasinya. Namun dalam mengambil keputusan, kemampuan individual pemimpin ini sering kali dihadapkan kepada dinamika kelompok dan lingkungannya. Bagaimanakan seharusnya menghadapi paradoks ketiga aspek ini ?
Bila dilihat dari sudut kepentingan antara dinamika individu pemimpin, dengan dinamika kelompok dan lingkungan agaknya yang sulit disatukan. Bahkan tidak jarang terjadi, ketiga unsur itu bagaikan bertolak belakang. Akan tetapi, ketiga aspek ini sering kali masuk jauh ke dalam proses PK dalam organisasi.
Dari banyak penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa faktor bawaan, pengalaman masa kecil, pendidikan formal, dan pengalaman karier sangat menentukan proses atau hasil keputusan yang diambil seorang pemimpin (Salusu, 2003). Namun faktor tersebut tidaklah bersifat kaku dan linear. Bagi pemimpin yang sudah berpengalaman, tidak tertutup kemungkinan ia dapat melahirkan keputusan yang tepat, meskipun keputusan diambil tanpa melalui analisis mendalam, dan hanya berdasarkan kesan, pemahaman, atau kesimpulan dari berbagai pengalaman yang telah lama, atau bersifat heuristik.
Meskipun faktor individual pemimpin sangat dominan dalam PK, akan tetapi pengaruh itu tidak bersifat statis. Faktor individual akan bekembang mengikuti dinamika kehidupan pribadi pemimpin yang bersangkutan. Oleh karena itu, PK tidak mungkin terlepas dari pengaruh dinamika individual sang pemimpin. Dinamika individu itu dapat disebabkan oleh aspek emosional yang bersangkutan saat itu, seperti senang atau marah. Tetapi juga dapat dipengaruhi oleh informasi yang diterima atau pengalamanan gagal atau sukses yang pernah dialaminya.
PK yang didasari oleh kemauan individual saja, sering kali merugikan lembaga atau menghasilkan penolakkan. Kotter (1999), mengingatkan bahwa pemimpin yang tidak peduli dengan situasi lingkungan justru bisa membawa bencana bagi organisasinya.
Oleh sebab itu, dalam PK, setiap pemimpin perlu memperhatikan dinamika kelompok dan lingkungan. Sebab dalam organisasi (apalagi dalam organiassi profit), kekuatan kelompok (seperti pemegang saham) justru sangat dominan dalam menentukan arah kebijakan organisasi. Kelompok penentu kebijakan bisa bersifat infra maupun supra struktur dalam organisasi.
Disamping dinamika kelompok, juga perlu diperhatikan adalah dinamika lingkungan, yaitu sesuatu yang berada di luar (eksternal), tetapi memiliki kaitan langsung atau tidak langsung dengan organisasi. Seperti yang terkait dengan masukan (input), instrumen proses, serta pengguna hasil (out-put), misalnya pemerintah, suplier, distributor dan leveransir.
Untuk menghadapi kondisi yang demikian, seorang pemimpin dituntut untuk melaksanakan first think first, memprioritaskan yang amat penting dalam PK. Untuk bisa memprioritas yang benar-benar penting, ada dua strategi first think first yang dapat dilaksanakan oleh pemimpin, yaitu: 1) optimasi atau pertimbangan jelimet, dan 2) kepuasan (satisfacing) atau mengutamakan kepuasan yang lebih banyak meskipun dengan rasionalitas terbatas. Dimaksud dengan pertimbangan jelimet adalah bahwa pemimpin menganalisis secara benar seluruh alternatif keputusan dengan memperhitungkan untung-rugi masing-masing alternatif itu secara teliti. Sementara kepuasan maksudnya pemimipin memilih alternatif yang dianggap paling memuaskan, dan tidak perlu melelahkan sampai menganalisis secara detail (Salusu,2003)
Namun, bila petentangan itu masih sulit diatasi dengan cara di atas, disebabkan karena ketiga aspek; dinamika individu, kelompok, dan lingkungan tersebut paradok pada posisi yang sama kuatnya, mungkin keputusan saling mengabaikan salah satu diantaranya, bisa benar atau salah, atau keputusan diambil terhadap hal yang belum tentu benar atau salah, yang sering disebut sebagai daerah kelabu (grey area) maka pemimpin dapat menempuh solusi first think first dengan melakukan pertimbangan etis.
Pertimbangan etis menuntut pemimpin untuk mengambil keputusan dengan mengacu kepada aturan-aturan etis atau atas dasar prinsip, norma, atau standar baku dalam organisasi atau masyarakat. Penerapan pertimbangan etis ini juga memperhatian prinsip utilitas, yaitu bahwa alternatif yang dipilih sudah menjadi terbaik dari alternatif yang ada, berdasarkan pertimbangan kondisi saat itu serta tujuan organisasi.
D. TARIK MENARIK KEPENTINGAN INDIVIDU DAN PERUBAHAN
Dalam PK, faktor individu pemimpin dan tuntutan perubahan terkadang sulit dipersatukan. Untuk menyesaikan tarik menarik antara kedua faktor ini, individu dengan tuntutan perubahan, diperlukan cara yang tepat. Bagaimanakah penerapan first think first dalam mengatasi kondisi ini? Inilah yang dicoba diungkapkan di bawah ini !
Keengganan seseorang menerima atau melaksanakan perubahan sering kali didominasi oleh pemahaman, penilaian, serta prakiraannya akan konsekuensi yang merugikan bagi pribadinya. Kondisi ini tidak hanya dialami dalam kehidupan pribadi tetapi juga berlaku dalam pengambilan keputusan organisasi.
Wibowo (2006) telah menghimpun faktor resistensi individu pemimpin terhadap perubahan, antara lain pandangan Grenberg & Baron, yang menyatakan bahwa ada 5 macam faktor resistensi pemimpin terhadap perubahan, yaitu: 1) ketidak-amanan ekonomis, 2) ketakutan yang tidak diketahui, 3) ancaman terhadap hubungan sosial, 4) kebiasaan, dan 5) tidak mengenal kebutuhan untuk berubah. Robbin dalam bukunya Organization of Behaviors (2006) mengillustrasikan pula adanya 5 faktor yang hampir sama, tapi ia mengganti faktor kelima dengan proses informasi selektif (slective information processing),
1. Kebiasaan (habits)
Kebiasaan yang dimaksud disini adalah cara yang biasa dilaksanakan. Seringkali perubahan berimbas kepada perubahan kebiasaan (habits) individu pada bidang lainnya, yang mungkin mencemaskannya. Akibatnya, seseorang menolak perubahan justru lebih disebabkan karena enggan merubah kebiasaan (habits) tersebut meskipun mereka mengakuinya sesuatu yang lebih baik.
2. Keamanan (security)
Bila perubahan dipandang justru menimbulkan ketidak pastian dan berdanpak negatif terhadap kemapanan, keamanan dan kelangsungan masa depannya, maka seseorang cenderung menolak perubahan itu.
3. Faktor ekonomis (economic factor)
Keengganan seseorang menerima perubahan dapat terjadi bilamana terjadi penurunan pendapatan, seperti upah atau membutuhkan biaya tambahan, sehingga berakibat kepada penurunan nilai ekonomis. Misalnya penurunan upah, gaji, honor atau biaya tambahan, ekstra.
4. Ketakutan yang tidak jelas (fear of the unknown)
Takut atau cemas akan terjadi ketidak-stabilan atau ketidak-seimbangan antara suatu kekuatan yang mungkin ditimbulkan oleh suatu perubahan justru seringkali seseorang menolak untuk menerima perubahan.
5. Proses Informasi Pilihan (Selective Information Processing)
Seringkali orang suka mendengar informasi yang diinginkannya dan enggan untuk memproses informasi yang tidak berkenaan dengan keinginannya. Akibatnya, energi seorang pemimpin lebih banyak dicurahkannya kepada proses informasi untuk mempertahankan keputusan, dan menolak infomasi tentang perubahan, akibatnya ia bersikukuh dengan pendapat tersebut dan menolak untuk melakukan perubahan
Karena perubahan tidak mungkin dihentikan, maka pemimpin justru hendaknya menerima perubahan itu sebagai peluang positif bagi institusinya. Langkah first think first dalam menghadapi kondisi ini hendaknya diawali dengan bersikap adaptif dan visioner. Bersikap adaptif artinya menerima dan memanfaatkan kondisi perubahan untuk memajukan institusinya, sedangkan visioner adalah membuat perhitungan yang jauh ke depan mendahului perubahan yang akan (mungkin) terjadi.
Strategi first think first yang bisa menopang sikap adaptif dan visionner ini, menurut Anwar (2007), hendaknya pemimpin mendorong dirinya dan anggotanya menjadi kreatif, sensitif, belajar dengan gigih, memulai pekerjaan dari yang mudah, memperluas jaringan kerja sama, dan akselerasi.
1. Kreatif
Kreatif adalah keberhasilan melahirkan sesuatu yang baru dengan memanfaatkan pengetahuan, bahan, atau sesuatu yang telah ada. Kreatif menurut Semiawan (2001) maupun Supriadi (1994). bisa berbentuk produk, proses, press, dan person Dalam kaitan ini, pemimpin yang disebut kreatif adalah yang mampu menciptakan suatu produk baru lain dari yang lain (hasil), menciptakan suatu sistem yang memudahkan proses kerja (proses), berjiwa menerima pembaharuan (press), serta menjadi sebagai sosok pribadi yang selalu berhasil mencari solusi untuk menghadapi sesulit apapun permasalahan (person).
2. Sensitif bagaikan Kupu Kupu
Agar pemimpin bisa menyelesaikan paradok antara tututan perubahan dengan faktor individualitasnya, perlu pemimpin memiliki sikap yang sensitif terhadap perasaan bawahan atau anggotanya. Sikap sensitif bukanlah menjadikan dirinya mudah tersinggung, tetapi menempatkan dirinya menjadi orang yang peka dengan kondisi orang lain. Cepat tanggap atau bisa menempatkan diri pada diri orang yang dalam psikologi seringkali disebut dengan sikap empathy. Bagaikan kupu yang hinggap dibunga, ia bisa hinggap tanpa membuat jatuhnya kelopak bunga, bahkan semut yang adapun tidak terusik, sehingga memungkinkan ia melakukan langkah adaptasi dan antisipasi terhadap perubahan yang terjadi.
3. Belajar seperti laron
Long life education, Pendidikan Sepanjang Hayat (PSH) tidaklah milik kalangan akademik semata. Pemimpin, bahkan setiap orang yang ingin berhasil dalam kehidupan, harus melaksanakan PSH ini. Bila kaum akademis belajar melalui pengajaran, buku dan penelitian, maka pemimpin bisa menggunakan pengalamannya sebagai tempat belajarnya. Artinya, disamping membaca buku, sumber belajar yang terpenting dari seorang pemimpin adalah pengalaman dalam melaksanakan pekerjaan sehari-hari. Setiap kali ia selesai menyelenggrakan kegiatan, baik berhasil atau tidak, ia hendaknya segera melakukan refleksi dalam rangka menemukan pemahaman; Mengapa berhasil atau gagal. Apa faktor pendorong atau penghambat? Sumber daya mana yang bisa dipadukan agar bisa menemukan yang lebih baik lagi ? serta berbagai pertanyaan lainnya. Lihatlah laron, bilamana sayapnya lepas, ia masih terus mengembara dengan menggunakan kakinya.
4. Bekerja: Dari yang mudah ke yang sulit
Tak terbayangkan, kemajuan teknologi komunikasi seperti HP (handphone) ternyata berhasil menguakkan keterbatasn ruang dan waktu. Seorang pimpinan yang ada di USA bisa berbicara dengan salah satu direksinya di Bandung sambil menatap pandang, kayaknya berhadapan, meskipun pisik mereka dibatasi oleh benua. Keberhasilan teknologi ini bukanlah sekali jadi, tetapi dimulai dulu dengan temuan kecil: radio, listrik, batrai, audio, film, telefon, komputer dan temuan lainnya. Jadi, HP bukanlah sekali jadi, tetapi berasal dari temuan kecil dan mungkin sekali terlepas atau terpisah-pisah, tapi sangat berarti bagi ditemukannya HP.
Begitu juga halnya dalam organisasi, tiada pekerjaan yang besar tanpa harus memulainya dari yang kecil (inkremental) Seberat apapun tugas atau beban pekerjaan yang harus diselesaikan, asal hari ini bisa diguyur dan diselesaikan meskipun kecil, toh akhirnya pekerjaan besar akan terasa ringan. Small is beautiful, istilah yang dipopulerkan Schumacher melalui judul bukunya, agaknya memungkinkan pemimpin dapat mewujudkan pola First Think First dalam mengadaptasi perubahan maupun kepentingan dirinya.
5. Perluasan Jaringan Kerjasama
Ceritera Robinson Crusso, si manusia yang hidup ditengah serigala, tidak mungkin ditemukan dalam bidang organisasi. Setiap organisasi menerima pengaruh dari pihak luar, seperti hanya sebuah pabrik, menerima bahan baku (input) dari luar dan setelah menjadi produk (out put) akan melemparnya ke luar lagi. Bahkan dewasa ini, proses yang selama ini dianggap sebagai Black Box System (Sistem Kotak Hitam), ternyata telah ditinggalkan, dan sekarang menuntut setiap lembaga akuntabel dan transparan bagaikan rumah kaca.
Oleh sebab itu, jaringan kerja sama antar organisasi sangat diperlukan. Tidak hanya dengan stokeholder, tetapi dengan berbagai pihak termasuk jaringan kerja internal maupun eksternal. Kerjasama itu bisa dilakukan dengan menggunakan berbagai modus guna memanfaatkan perubahan yang terjadi. Mulai dari yang kecil atau sederhana sampai yang canggih dan komplek. Seperti pengembangan komunikasi interpersonal, pengembangan jaringan melalui media cetak, (koran,majalah, jurnal) media ekektronik (radio, telpon, tv, internet), atau melalui jalur organisasi seperti pertemuan, seminar, forum dsbnya.
Jaringan kerjasama ini, akan memudahkan proses fisrt think first bagi pemimpin dalam pengambilan keputusan. Tuntutan akan perubahan sebagai akibat jaringan yang luas akan mudah diakomodir dan diadaptasi kepentingan individu maupun dengan tuntutan perubahan yang terjadi. Atau dengan kata lain, dengan membangun jaringan yang luas akan dapat mengurangi kondisi pradok diantara tuntutan perubahan dengan kepentingan individu .
6. Akselerasi
Untuk mengantisipasi perubahan yang tengah dan akan berlangsung, pemimpin setiap organisasi perlu melakukan langkah-langkah yang bersifat adaptif, atau oleh Tofller (1989) disebut dengan akselerasi. Dalam salah satu buku terlarisnya yang ditejemahkan dalam banyak bahasa termasuk Bahasa Indonesia "Perusahaan Adaptif" ia menggambarkan betapa organisasi terutama dunia usaha setiap hari harus memperhatikan gerak maju masyarakat yang cenderung menjadi semakin selektif dan variatif.
Karena dunia selalu berubah, tidak abadi, maka perubahan itu justru jadi abadi. Selalu melakukan usaha akselerasi akan mendorong pemimpin untuk siap dan bahkan amat peduli dengan perubahan. Kondisi ini akan bisa mengeliminasi paradok antara kepentingan individu pemimpin dengan tuntutan perubahan.
Perubahan telah menjadi kebutuhan dalam berbagai kehidupan, termasuk dalam organisasi. Dalam konteks First Think First, pemimpin seyogyanya mengambil keputusan yang mampu mengantisipasi perubahan ketimbang menyesuaikan diri dengan perubahan. Pemimpin yang First Think First hendaknya menggunakan perubahan yang tengah terjadi dengan membuat keputusan yang strategis, visioner atau berwawasan jauh ke depan sehingga dapat mendahului arah perubahan yang tengah bergulir. PK hendaknya tidak dipandang sekedar kebutuhan, tetapi hendaknya ditempatkan sebagai kekuatan yang harus dimanfaatkan guna mewujudkan tujuan organisasi, demikian dipesankan oleh Barron (Wibowo,2006)
E. TEORI YANG ADAPTIF DENGAN PERUBAHAN
Kewajiban untuk mengambil keputusan terdapat disemua lini pemimpin organisasi atau lembaga, baik besar atau kecil, profit atau non-profit. Setiap saat pemimpin harus mengambil keputusan guna mewujudkan tujuannya Sifat keputusan itu mulai dari yang sederhana (operasional) sampai kepada yang kompleks (strategis), dari yang mungkin rutin sampai kepada yang extraordinary, unik, dan tak terprogramkan.
Keputusan bukanlah hasil, tetapi sebenarnya merupakan sarana atau mekanisme organisasi dalam rangka mewujudkan tujuannya. Keputusan masih merupakan pekerjaan pikiran untuk memilih sesuatu yang akan dilakukan. Setelah pekerjaan pikiran ini selesai barulah diambil tindakan atau implementasi keputusan. Meskipun PK dan implementasi adalah dua hal yang berbeda, PK adalah pikiran dan implementasi adalah perbuatan, akan tetapi keduanya tidak bisa dipisahkan. Keputusan baru akan berarti bila diikuti dengan implementasinya atau tindakan. Bukanlah keputusan namanya, bila tidak diikuti dengan tindakan
Kehidupan organisasi sama dinamisnya dengan kehidupan masyarakat. Setiap saat selalu terjadi perubahan akibat tuntutan hidup. Perubahan terjadi dalam segala lini kehidupan, mulai dari kehidupan individu, keluarga, bermasyarakat, sampai kepada kehidupan organisasi Namun tidak jarang perubahan membawa konsekuensi yang paradok dengan kepentingan seseorang, termasuk dalam pengambilan keputusan.
Perubahan yang terjadi dalam era globalisasi sekarang, menurut Toffler (1989), semakin cepat dan seakan-akan tidak teramati dengan mata lagi. Kejadian di suatu benua akan menimbulkan pengaruh cepat dan luar biasa pada belahan dunia lainnya. Misalnya, perang, kebakaran kilang minyak, atau laporan lembaga keuangan, segera disambut dengan revisi harga minyak dunia, atau nilai tukar mata uang yang dampaknya sampai ke desa yang mungkin sekali berada di pedalaman
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan itu sangat banyak, bahkan Wibowo (2006) mengutip berbagai pandangan ahli tentang faktor-faktor yang menimbulkan perubahan itu. Sekurang-kurangnya ada 8 (delapan) faktor yang dominan; antara lain adalah: (1) kemajuan teknologi, (2) semakin intensifnya persaingan, (3) semakin cerdas dan banyaknya tuntutan konsumen, (4) perubahan pasar dan kejutan ekonomi, (5) tekanan sosial dan politik, (6) pergeseran demokrafis penduduk, (7) kesenjangan tenaga kerja, dan (8) kebijakan pemerintah dan privatisasi
Karena itu, perubahan tak bisa dihambat, apalagi untuk distop. Siapapun, di manapun dan dengan kekuatan apapun, termasuk pemimpin atau menejer manapun juga, tidak akan berhasil mengehentikannya Konsekuensinya, tak ada satupun negara dan organisasi yang bisa menutup diri dari perubahan itu. Mengisolasi diri dari perubahan sama halnya dengan bunuh diri, karena akan tertinggal dan dikalahkan oleh persaingan atau kompetitornya.
Perubahan dan keputusan saling pengaruh-mempengauhi. Keputusan diperlukan karena adanya perubahan, namun sering kali perubahan tercipta karena adanya keputusan. Keputusan karena perubahan atau keputusan untuk perubahan adalah dua hal yang berbeda. Secara konseptual, keduanya bisa dipisahkan. Yang pertama adalah bersifat penyelesaian masalah dan sering dilakukan oleh menejer, sedangkan yang kedua adalah bersifat strategis dan visioner dan dilakukan oleh pemimpin. Namun keduanya memerlukan PK. Artinya, setiap tahap dari penyelesaian masalah maupun dalam pengambilan keputusan yang bersifat penyelesaian masalah atau strategis sama-sama berkepentingan dengan PK.
Dalam pengambilan keputusan dikenal berbagai macam teori, dintaranya adalah 1) teori birokrasi, 2) scientific, 3) sistimatic analysis, 4) planning anticipating, 5) human relations, dan 6) pengambilan keputusan komprehensif (Salusu). Bahkan juga ada yang disebut dengan 7) teori black box system.
Disebut teori birokratik karena keputusan menggunakan jalur atau jenjang birokrasi. Disebut scientific dijabarkan dalam konseptual yang logis dan teoritis terlebih dahulu dalam indikator yang kecil. Analisis Sistimeatis adalah keputusan diambil berdasarkan analisis dengan menggunakan formula tertentu. Planning anticipating adalah merancang dulu kegiatan untuk mengtasipasi kondisi mendatang. Human relations mendahulukan hubungan kemanusiaan seperti kepuasan kerja. Sedangkan analisis sistem bermaksud melihat organisasi suatu sistem yang terdiri dari komponen sistem, dan saling berkaitan dengan sistem lainnya.
Namun kesemua teori ini sebenarnya berangkat dari dua sifat yang berbeda, yaitu penyelesaian masalah atau bersifat strategis. Teori birokrasi, rutin, repitif, sistimatis, adalah bentuk keputusan yang bersifat penyelesaian masalah. Sedangkan sifat yang strategi dapat diwakili oleh planning anticipating, human relations, dan pengambilan keputusan komprehensif.
Dari berbagai teori ini, strategi first think first untuk mengatisipasi perubahan adalah dengan memandang perubahan sebagai suatu tantangan yang perlu diatasi dan diantisipasi. Usaha itu dilakukan dengan mengambil keputusan yang bersifat strategis, visioner atau berwawasan jauh ke depan, yang dimulai dengan mengembangkan bersama visi dan misi, melakukan scanning lingkungan internal dan eksterna, menghimpun alternatif, memilih atau mengambil keputusan, implementasi serta pengawasan dan evaluasi.
Karena, keputusan stratejik adalah langkah yang bersifat visioner, utuh, dan faktual. Ia mengggantung cita ke langit kakinya masih tetap berpijak di bumi (Akdon, 2006) atau bagaikan sutradara (Starratt,2007) tidak saja bisa mengantisipasi tetapi sekurang-kurang menempatkan semua anggota dalam organisasi untuk siap melakukan perubahan. Dibandingkan teori lain, keputusan yang stratejik akan bisa mengakomodir kekuatan atau keunggualan dari teori yang lain, sementara berbagai kelemahan atau kekurangan akan bisa diwaspadai kalaupun tidak bisa untuk dieliminasi.
F. PARADOK PENGARUH NILAI BUDAYA & RELIGI DALAM PK
PK adalah pekerjaan sekarang yang hasilnya dirasakan setelah sekian lama keputusan itu diimplementasikan. Meskipun memiliki data dan informasi yang cukup, masa datang hanya bisa diprediksi, namun tak bisa dipastikan. Sebab, mempertimbangan informasi yang diperoleh sekarang tidak selalu akurat untuk memprediksi masa depan. Penyebab yang kecil dan mungkin tidak terduga, justru bisa membelokkan arah organisasi.
Oleh sebab itu tidak sedikit pemimpin yang takut atau mikir-mikir dalam waktu lama untuk mengambil keputusan. Dalam lembaga formal seperti pemerintahan maupun lembaga privat, seringkali kondisi ini dijumpai, pemimpin menahan diri dari pada harus cepat-cepat memutuskan menerima atau menolak, sampai ia yakin bahwa keputusan yang akan diambil itu tidak berimplikasi negatif terhadap dirinya; baik dalam hubungan dirinya dengan atasan maupun dengan bawahan serta stakeholders yang terkait dengan keputusan itu.
Pertimbangan semacam inilah yang memberi peluang masuknya faktor nilai, budaya, religi dan kebiasaan sebagai salah satu saringan yang mempengaruhi proses PK dan implementasinya. Tidak jarang terjadi, pertimbangan yang strategikpun bisa dikalahkan bilamana tidak sesuai dengan faktor nilai, budaya, religi dan kebiasaan. Kalaupun tidak membatalkan, paling tidak akan terjadi penundaan, seperti kasus penundaan undang-undang lalu lintas yang terjadi di zaman Soeharto lalu.
Nilai, budaya, kebiasaan dan religi yang berkembang pada masyarakat dan pemimpin memiliki pengaruh besar dalam proese PK maupun implementasinya. Dalam proses PK, terutama bila berhadapan dengan situasi harus memilih, maka ada kecenderungan pemimpin memilih alternatif yang dianggapnya sesuai dengan nilai, budaya, kebiasaan dan nilai-nilai agama. Begitu juga dalam implementasinya, bila dalam pelaksanaanya dirasakan memiliki hal yang kontradiksi dengan nilai, budaya,kebiasan dan agama, maka suatu keputusan kemungkinan ditangguhkan atau dibatalkan.
Gibson, Ivancevich dan Donnelly (1997) menjelaskan pengaruh nilai, budaya dan kebiasaan dan agama dalam setiap tahap proses pengambilan keputusan. Dalam menetapkan sasaran, pertimbangan tata nilai mesti dibuat saat memilih alternatif dan menetapkan prioritas. Dalam mengembangkan alternatif, pertimbangan tata nilai tentang berbagai kemungkinan yang dibutuhkan dan pengambil keputusan akan cenderung memilih yang cocok dengan tata nilainya. Memilih alternatif, sistem tata nilai pengambil keputusan mempengaruhi alternatif yang dipilih dan mendorong ia memilih tata nilai yang dipegangnya kendatipun ada kelemahan dari lainnya. Implementasi keputusan, pertimbangan sistem tata nilai akan memberi prioritas untuk nilai yang diharapkannya. Bahkan sampai saat melaksanakan kontrol dan evaluasi, tata nilai akan mempengaruhi standar penilaiannya.
Sementara di pihak lain, pemimpin bekerja bukanlah untuk dirinya, tetapi adalah untuk lembaga atau organisasi yang dipimpinnya, yang besar kemungkinannya terdiri dari berbagai kepentingan. Sehingga tidak tertutup munculnya standar nilai, norma, kebiasaan serta religi yang berbeda.
Untuk mengatasi hal yang paradoks ini, strategi first think first yang bisa diterapkan agaknya bisa mengikuti pandangan Herbert Simon yang mengutamakan satisficing (kepuasan). Untuk menemukan kepuasan itu, pemimpin perlu menghindari atau mengeliminasi keputusan yang bersifat ekstrim bertentangan dengan nilai, norma, kebiasaan dan agama, tetapi mendahulukan keputusan mengutamakan nilai kebersamaan antara nilai individu pemimpin itu sendiri dengan nilai kelompok kepentingan tersebut. Artinya, pemimpin harus menghindari bila keputusan dan proses implemntasinya akan bertentang secara ekstrim dengan nilai, norma dan kebiasaan serta sistem religi masyarakat. Sebab, tidak jarang terjadi keputusan yang baik, tidak dapat mencapai sasarannya bila menimbulkan dampak luar biasa terhadap nilai, budaya, kebiasaan, dan religi masyarakat. Kasus internet masuk sekolah yang tengah digulirkan oleh Mendiknas, mungkin akan menjadi contoh nyata dari hal ini.
G. KEPUTUSAN PROFESIONAL UNTUK SKALA PRIORITAS SUATU PROGRAM
Bila dulu, dalam lembaga tradisional, orang lebih mengutamakan tindakan dari pada proses pengambilan keputusan, namun sekarang keduanya dianggap sama pentingnya. Oleh sebab itu, guna mengembangkan aksi tindakan atau program perlu mempertimbangkan cara keputusan diambil. Bagaimana menyikapi hal ini, khususnya menyangkut persoalan skala prioritasnya?
Bisakah pertimbangan keputusan profesional dijadikan skala prioritas dalam membuat program ?
Pemimpin dan Menejer dapat dibedakan atas keputusan yang dihasilkannya. Keputusan yang bersifat terprogram atau rutin dan sejenisnya biasanya menjadi tugas menejer. Sementara keputusan yang tak terprogram, unik, khusus, dan strategis dihasilkan oleh pemimpin. Ini hanyalah peran, tidak berarti kedua orang tersebut harus hadir dalam suatu institusi. Seseorang pemimpin, dalam suatu waktu bisa berperan sebagai menejer dan sekali waktu berperan sebagai pemimpin.
Untuk menyelenggarakan program, para pemimpin dewasa ini perlu melakukan analisis yang komprehensif terhadap berbagai langkah atau tahapan sebelum sampai kepada suatu keputusan. menurut Anwar (2007) langkah-langkah pengambilan keputusan ada 7 tahap, yaitu: 1) identifikasi dan pemahaman masalah, 2) pengumpulan dan analisis informasi, 3) penyusunan alternatif, 4) analisis tingkat konsekuensi/resiko, 5) pemilihan alternatif terbaik, 6) evaluasi alternatif, dan 7) implementasi keputusan..
Dalam menjalani tahapan pengambilan keputusan ini, diperlukan keterampilan untuk menyesuaikan setiap tahapan itu dengan sifat masalah, waktu yang tersedia, dukungan dana serta profesionalitas dalam pengambilan dan pemilihan keputusan. Keterampilan yang demikian akan semakin dirasakan urgensinya bila mana berhadapan dengan keputusan yang tidak terprogram, atau dalam pengambilan keputusan yang stratejik.
Untuk memutuskan suatu program kegiatan, pemimpin hendaknya mengutamakan yang utama atau bertidak secara first think first, dengan cara mengusahakan semaksimal mungkin melakukan pendekatan pengambilan keputusan yang profesional disat program itu dirancang. Hal ini tentu saja pemimpin mengkaji ulang secara cermat tahap demi tahapan sebelum memutuskan.
H. MENGAMBIL KEPUTUSAN DI TENGAH PERSAINGAN BEBAS
Salah satu ciri dari globalisasi sekarang ini munculnya tuntutan kebebasan pasar, dan mendorong terciptanya kompetisi secara sehat diantara lembaga profit bahkan juga lembaga-lembaga non-profit. Bagaimanakah tantangan ini bila dikaitkan dengan PK, aspek manakah yang perlu mendapat perhatian ?
Dalam menghadapi persaingan bebas dewasa ini, setiap organisasi baik profit maupun non profit, dituntut untuk meningkat mutunya dalam artian yang luas. Namun mutu itu sendiri sangat abstrak dan subjektif. Karena ukuran mutu bukan saja ditentukan dengan kuantitatif, tetapi juga ditentukan oleh kepuasan subjektif dari stakeholders (konsumen atau pengguna jasa, atau pemasok, distrubutor, pemerintah, masyarakat sekitar, pers, atau pihak lain terkait) bahkan pihak internal (menejer lini, pemilik, pendiri, pemegang saham, karyawan dan keluargnya). Karena sifatnya yang subjektif ditambah lagi dengan keragaman kepentingan stakeholders, maka ukuran mutu hendaknya tidak ditentukan oleh pemimpin, tetapi justru dilihat dari kepuasan dari pelanggan.
Perubahan orientasi mutu dari semula secara sepihak ditentukan pemimpin menjadi mutu yang diorientasikan kepada pelanggan, telah dikembangkan seorang ahli fisika, E. Edwards Deming, dengan istilah TQM (total quality management) dan kemudian diadaptasikan untuk pendidikan oleh Edward Sallis (1993) atau di Indonesia populer dengan MMT (menejemen mutu total).
TQM atau MMT pada prinsipnya mengajak atau mengilhami para pemimpin untuk membina hubungan yang saling memuaskan baik dalam lingkungan internal atau eksternal lembaga, caranya adalah menjadikan aspirasi, kehendak, atau harapan menjadi ukuran mutu. Sehingga akan mendorong terbentuknya citra atau imej yang positif terhadap institusi dan pada gilirannya akan menentukan kelanjutan institusi itu dalam menghadapi kompetitornya.
Dalam menghadapi persaingan bebas, menuntut pemimpin untuk menciptakan keunggulan komperatif atau dalam lembaga profit disebut keungggulan kompetitif. Keunggulan komperatif/kompetitif bukanlah dimaksudkan memenangkan persaingan dengan cara mengalahkan kompetitor, tetapi adalah menjadi lembaga atau institusi pemenang tanpa mematikan kompetitor, sebab kompetitor itu sangat diperlukan dalam kelanggengan suatu lembaga atau institusi, baik profit apalagi non profit. Bila keunggulan justru mematikan kompetitor akan menimbulkan monopoli yang pada saatnya nanti akan menghadapi tantangan internal yang berdampak kehancuran lembaga yang bersangkutan.
Meskipun hal ini terlihat logis dan sederhana sehingga akan terasa mudah dicapai, namun dalam penerapannya di lapangan sebenarnya TQM/MMT memerlukan strategi implementasi yang komprehensif, baik menyangkut pelayanan pemimpin dan anggota terhadap kepentingan semua pihak. Untuk mendukung kualitas yang hendak diwujudkan dalam TQM/MMT mengandung aturan yang oleh Salusu (2003) dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Kualitas berarti setiap orang harus melakukan pekerjaan dengan baik
2) Kualitas muncul dari pencegahan bukan pemeriksaan atau inspeksi. Ini menuntut setiap orang hati-hati jangan sampai berbuat kesalahan
3) Kualitas adalah berarti memenuhi keinginan dan kebutuhan konsumen berarti bahwa harus diketahui, terus menerus dicermati arah dan dinamika keinginan atau harapan pelanggan itu.
4) Kualitas memerlukan komunikasi yang baik, yaitu membina hubungan dan jaringan kerja yang apik dengan pihak dalam maupun luar
5) Kualitas menuntut perencanaan yang stratejik, untuk mengantisipasi jangka panjang, baik dari stakeholders maupun mempertahankan keunggulan komperatif
Mengutamakan mutu yang dapat memuaskan semua pihak, termasuk kepuasan internal lembaga sendiri yang dapat menjadikan organisasi memiliki keunggulan komparatif. Ini adalah strategi peerapan first think first yang harus dipilih setiap pemimpin. Artinya, pemimpin hendaknya mengembangkan citra dari organisasi atau institusinya menjadi institusi atau organisasi terbaik, favorit, unggul, pilihan, dan istilah sejenisnya, baik dalam hasil maupun proses. Citra sebagai lembaga yang unggul itulah yang akan memungkinkan suatu organisasi bisa bertahan di alam persaingan bebas sekarang. Bukankah banyak lembaga atau institusi yang bisa bertahan sampai sekarang karena citra atau merek yang mereka punyai telah menjadi jaminan mutu bagi produknya
I. P E N U T U P
Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, maka berikut ini dapat disimpulkan:
1. Dalam mengambil keputusan sering kali pemimpin dihadapkan kepada polaritas; terima atau tolak, yang kadang-kadang bersifat paradok. Kondisi ini menuntut kearifan dan kecerdasaran agar pemimpin menempatkan prioritas yang tepat, mengutamakan yang lebih utama atau disebut dalam makalah ini dengan strategi first think first.
2. Dalam menghadapi kondisi paradok antara kekuatan individu, kelompok dan lingkungan, pemimpin hendaknya mempertimbangkan kepuasan (satisficing), dan bila masih berada pada daerah kelabu (grey area), maka diperlukan penerapan keputusan etis yang mengacu kepada prinsip, norma, atau standar baku dalam organisasi atau masyarakat.
3. Untuk mengatasi tarik menarik antara kepentingan individu dengan tuntutan perubahan, pemimpin hendaknya mengutamakan keputusan yang adaptif dan visionner; ini menuntut pemimpin menggunakan perubahan sebagai kekuatan untuk perbaikan.
4. Paradoks nilai, norma, kebiasaan serta religi dapat diatasi dengan mengutamakan satisficing (kepuasan). Namun untuk menghasilkan kepuasan itu, pemimpin perlu menghindari atau mengeliminasi keputusan yang bersifat ekstrim. Artinya, pemimpin harus menghindari bila keputusan dan proses implementasinya akan bertentang secara ekstrim dengan nilai, norma dan kebiasaan serta sistem religi masyarakat
5. Dalam menetapkan program, pemimpin hendaknya mengutamakan yang utama atau bertidak secara first think first, dengan cara semaksimal mungkin melakukan pendekatan pengambilan keputusan yang profesional, mengkaji secara cermat tahap demi tahapan proses pengambilan keputusan.
6. Untuk menghadapi persaingan bebas sekarang ini, pemimpin dapat menerapkan TQM dengan memusatkan perhatian bahwa proses dan produk harus memuaskan semua pihak (stakeholders) termasuk internal lembaga sendiri. Lembaga yang memenuhi standar mutu yang memusakan seluruh pihak itu, akan memiliki keungguan komparatif/kompetitif, dan pada gilirannya akan mampu betahan menghadapi persaingan global.
DAFTAR PUSTAKA
Akdon. (2006) Strategic Management for Educational Management (Manajemen Stategik untuk Manajemen Pendidikan ). Bandung: Alfabeta
Anwar, Idochi. 2007. Teori dan Proses Pengambilan Keputusan. Handout Perkuliahan. Bandung: Sekolah Pasca Sarjana UPI
Sallis, E. 1993. Total Quality Managemen in Education. Philadelphia. Kogan Page Educational Management Series.
Salusu, J. 2003. Pegambilan Keputusan Stratejik untuk Organisasi Publik dan Organisasi Nonprofit. Jakarta; Grasindo.
Semiawan, S. 2001 Memupuk bakat dan Kreativitas Siswa Sekolah Menengah. Jakarta: Gramedia.
Starratt, Robert J. (2007). Menghadirkan Pemimpin Visioner (terjemahan), Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Supriadi, D. 1994. Kreativitas, Kebudayaan dan Perkembangan IPTEK. Bandung; ALFABTA
Toffler.A. (1988). Kejutan Masa Depan. Jakarta: PT Panca Simpati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar yang sopan