Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S.
Makalah:
Disampaikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dewan
Pendidikan Kabupaten
Wonogiri, 23 Juli 2005
PROFESIONALISME GURU DAN
PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN
DI ERA OTONOMI DAERAH
Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S. *)
PENDAHULUAN
Tuntutan terhadap
lulusan dan layanan lembaga pendidikan yang bermutu semakin mendesak karena
semakin ketatnya persaingan dalam lapangan kerja. Salah satu implikasi
globalisasi dalam pendidikan yaitu adanya deregulasi yang memungkinkan peluang
lembaga pendidikan asing membuka sekolahnya di Indonesia. Oleh karena itu
persaingan antar lembaga penyelenggara pendidikan dan pasar kerja akan semakin
berat.
Mengantisipasi
perubahan-perubahan yang begitu cepat serta tantangan yang semakin besar dan
kompleks, tiada jalan lain bagi lembaga pendidikan kecuali hanya mengupayakan
segala cara untuk meningkatkan daya saing lulusan serta produk-produk akademik
dan layanan lainnya, yang antara lain dicapai melalui peningkatan mutu
pendidikan.
Dalam tulisan ini
dibahas tentang paradigma baru dalam pendidikan, apa dan mengapa mutu, etos
kerja dan profesionalisme guru serta tantangan dunia pendidikan terkait dengan
perkembangan teknologi informasi dan otonomi daerah/desentralisasi pendidikan.
PARADIGMA BARU
Untuk mencapai
terselenggaranya pendidikan bermutu, dikenal dengan paradigma baru manajemen
pendidikan yang difokuskan pada otonomi, akuntabilitas, akreditasi dan
evaluasi. Keempat pilar manajemen ini diharapkan pada akhirnya mampu
menghasilkan pendidikan bermutu (Wirakartakusumah, 1998).
1.
Mutu
Mutu adalah suatu terminologi subjektif
dan relatif yang dapat diartikan dengan berbagai cara dimana setiap definisi
bisa didukung oleh argumentasi yang sama baiknya. Secara luas mutu dapat
diartikan sebagai agregat karakteristik dari produk atau jasa yang memuaskan
kebutuhan konsumen/pelanggan. Karakteristik mutu dapat diukur secara
kuantitatif dan kualitatif. Dalam pendidikan, mutu adalah suatu keberhasilan
proses dan hasil belajar yang menyenangkan dan memberikan kenikmatan.
*)
Pembantu Rektor I
Bidang Akademik dan Guru Besar Sosiologi Pendidikan FKIP UNS Solo.
Seminar Nasional Pendidikan “Profesionalisme Guru dan
Peningkatan Mutu Pendidikan
|
2
|
|
di Era
Otonomi Daerah”, Wonogiri 23 Juli 2005.
|
|
|
|
|
Pelanggan
bisa berupa mereka yang langsung menjadi penerima produk dan jasa tersebut atau
mereka yang nantinya akan merasakan manfaat produk atau hasil dan jasa
tersebut.
2.
Otonomi
Pengertian otonomi dalam pendidikan
belum sepenuhnya mendapatkan kesepakatan pengertian dan implementasinya. Tetapi
paling tidak, dapat dimengerti sebagai bentuk pendelegasian kewenangan seperti
dalam penerimaan dan pengelolaan peserta didik dan staf pengajar/staf non
akademik, pengembangan kurikulum dan materi ajar, serta penentuan standar
akademik. Dalam penerapannya di sekolah, misalnya, paling tidak bahwa
guru/pengajar semestinya diberikan hak-hak profesi yang mempunyai otoritas di
kelas, dan tak sekedar sebagai bagian kepanjangan tangan birokrasi di atasnya.
3.
Akuntabilitas
Akuntabilitas diartikan sebagai
kemampuan untuk menghasilkan output dan outcome yang memuaskan pelanggan.
Akuntabilitas menuntut kesepadanan antara tujuan lembaga pendidikan tersebut
dengan kenyataan dalam hal norma, etika dan nilai (values) termasuk
semua program dan kegiatan yang dilaksanakannya. Hal ini memerlukan
transparansi (keterbukaan) dari semua fihak yang terlibat dan akuntabilitas
untuk penggunaan semua sumberdayanya.
4.
Akreditasi
Akreditasi merupakan suatu pengendalian
dari luar melalui proses evaluasi tentang pengembangan mutu lembaga pendidikan
tersebut. Hasil akreditasi tersebut perlu diketahui oleh masyarakat yang
menunjukkan posisi lembaga pendidikan yang bersangkutan dalam menghasilkan
produk atau jasa yang bermutu. Pelaksanaan akreditasi dilakukan oleh suatu
badan independen yang berwenang. Di Indonesia pelaksanaan akreditasi pendidikan
untuk Perguruan Tinggi dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional (BAN) dan
sekolah-sekolah menengah ke bawah oleh Badan Akreditasi Sekolah (BAS).
5.
Evaluasi
Evaluasi adalah suatu upaya sistematis
untuk mengumpulkan dan memproses informasi yang menghasilkan kesimpulan tentang
nilai, manfaat, serta kinerja dari lembaga pendidikan atau unit kerja yang
dievaluasi, kemudian menggunakan hasil evaluasi tersebut dalam proses
pengambilan keputusan dan perencanaan. Evaluasi bisa dilakukan
Seminar Nasional Pendidikan “Profesionalisme Guru dan
Peningkatan Mutu Pendidikan
|
3
|
|
di Era
Otonomi Daerah”, Wonogiri 23 Juli 2005.
|
|
|
|
|
secara internal atau eksternal. Suatu
evaluasi akan lebih bermanfaat bila dilakukan secara berkesinambungan. Salah
satu evaluasi terpenting dalam pendidikan adalah evaluasi diri (self
evaluation) yang dilakukan bertahap dan terus menerus atas seluruh
komponen-komponen pendidikan.
APA DAN MENGAPA
MUTU
Mutu adalah sifat dari benda dan jasa. Setiap orang
selalu mengharapkan bahkan menuntut mutu dari orang lain, sebaliknya orang lain
juga selalu mengharapkan dan menuntut mutu dari diri kita. Ini artinya, mutu
bukanlah sesuatu yang baru, karena mutu adalah naluri manusia. Benda dan jasa
sebagai produk dituntut mutunya, sehingga orang lain yang menggunakan puas
karenanya. Dengan demikian, mutu adalah paduan sifat-sifat dari barang atau jasa,
yang menunjukkan kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan pelanggan, baik
kebutuhan yang dinyatakan maupun yang tersirat.
Benda dan jasa sebagai hasil kegiatan manusia yang
secara sadar dilakukannya disebut “kinerja”. Kinerja itulah yang dituntut
mutunya, sehingga muncul istilah “mutu kinerja manusia”. Suatu kinerja disebut
bermutu jika dapat menemuhi atau melebihi kebutuhan dan harapan pelanggannya.
Oleh karena itu, maka suatu produk atau jasa sebagai kinerja harus dibuat
sedemikian rupa agar dapat memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggannya.
Dalam pembicaraan tentang mutu, terdapat unsur-unsur
yang terkait, yaitu: produk dan jasa, penghasil produk/jasa, pelanggan,
kebutuhan dan harapan, produk/jasa yang bermutu dan kepuasan.
Produk dan jasa adalah hasil yang diproduksi karena
ada yang memerlukan. Orang yang membuat produk atau jasa disebut penghasil
produk/jasa, sedangkan orang yang memerlukan produk/jasa itu disebut pelanggan.
Adapun kebutuhan dan harapan adalah cerminan dari apa saja yang diharapkan atau
dibutuhkan oleh pelanggan dari pihak penghasil produk/jasa. Adanya produk/jasa
yang disebut bermutu bila dapat memenuhi atau bahkan melebihi dari sekedar
kebutuhan dan harapan pelanggan/ penggunanya, yang ditandai dengan kepuasan.
Ciri-ciri mutu (sebagai
bentuk pelayanan pelanggan) ditandai dengan: (1) ketepatan waktu pelayanan, (2)
akurasi pelayanan, (3) kesopanan dan keramahan (unsur menyenangkan pelanggan),
(4) bertanggung jawab atas segala keluhan (complain)
Seminar Nasional Pendidikan “Profesionalisme Guru dan
Peningkatan Mutu Pendidikan
|
4
|
|
di Era
Otonomi Daerah”, Wonogiri 23 Juli 2005.
|
|
|
|
|
pelanggan,
(5) kelengkapan pelayanan, (6) kemudahan mendapatkan pelayanan, (7) variasi
layanan, (8) pelayanan pribadi, (9) kenyamanan, (10) dan ketersediaan atribut
pendukung (Slamet, 1999).
Setiap produk/jasa yang bermutu memberikan pelayanan
tepat waktu seperti yang disepakati dengan pelanggan. Kemoloran atau
tertundanya waktu dari yang telah disepakati menjadi cacat mutu karena cidera
janji.
Akurasi pelayanan atau
ketepatan produk/jasa seperti yang diminta atau dipesan oleh pelanggan juga
merupakan salah satu dari ciri mutu pelayanan. Kesalahan atau kemelencengan
dari apa yang dipesan, menyebabkan produk/jasa tersebut tidak bermanfaat bahkan
mendatangkan kerugian bagi pelanggan. Untuk itu menjadi penting melakukan
proses pendefisian kebutuhan pelanggan sebelum proses produksi/layanan
dilakuan.
Setiap pelayanan yang bermutu harus menyenangkan
pelanggan, sehingga kesopanan dan keramah-tamahan dalam berkomunikasi dengan
pelanggan menjadi unsur penting untuk menjaga mutu. Ungkapan sehari-hari dalam
dunia bisnis: “pembeli adalah raja” maksudnya adalah berusaha menyenangkan
pembeli agar kembali lagi untuk membeli di kesempatan lain.
Setiap penghasil
produk/jasa harus berani bertanggung jawab atas segala yang telah diperbuatnya,
ia harus mempertanggung jawabkan atas segala resiko yang diakibatkan oleh
pekerjaan itu. Semua yang menjadi keluhan (complain) pelanggan harus
dipertanggung jawabkan, jika produk tidak sesuai dengan yang dipesan/dibutuhkan
sesuai janji kesepakatan sebelumnya, maka ia harus bertanggung jawab untuk
menggantinya.
Sebagai penghasil
produk/jasa haruslah selengkap mungkin menyediakan sarana dan kemampuan yang
diperlukan oleh pelanggan. Ini artinya, bahwa penghasil produk/jasa haruslah
profesional dan kompeten dengan bidangnya. Selain itu, sebagai penghasil
produk/jasa haruslah memberikan kemudahan kepada pelanggan untuk mendapatkan
produk/jasa tersebut, baik yang berhubungan dengan waktu, tempat, atau
kemudahan menjangkaunya.
Bentuk pelayanan
hendaknya juga bervariasi, sehingga banyak pilihan bagi pelanggan. Inovasi
haruslah digalakkan sehingga banyak temuan untuk menunjang variasi layanan
tersebut.
Sedapat mungkin pelayanan bersifat pribadi lebih
ditonjolkan, sehingga tidak terkesan kaku, fleksibel dan terkesan ada
penanganan khusus bagi pelanggan. Kenyamanan
Seminar Nasional Pendidikan “Profesionalisme Guru dan
Peningkatan Mutu Pendidikan
|
5
|
|
di Era
Otonomi Daerah”, Wonogiri 23 Juli 2005.
|
|
|
|
|
pelayanan harus pula diciptakan,
misalnya berhubungan dengan lokasi/ruangan, fasilitas pelayanan yang memadai
seperti petunjuk-petunjuk yang mudah dikenali oleh pelanggan, dan ketersediaian
informasi yang dibutuhkan oleh pelanggan.
Peranan atribut pendudukung seperti lingkungan yang
nyaman, kebersihan yang standar, ruangan ber AC, ruang tunggu dan lain-lain
yang bersifat penunjang sangat diperlukan bagi suksesnya pelayanan mutu. Oleh
karena itu perlu diperhatikan.
Konsep mutu sebenarnya selain bersifat absolut juga
bersifat relatif dari pelanggannya. Mutu yang bersifat absolut menunjuk pada
suatu produk/jasa yang standar tertentu, dipatok dengan ukuran tertentu oleh
suatu lembaga yang memiliki otonomi untuk itu. Mutu suatu produk/jasa yang
bersifat relatif berarti tergantung pada konsumennya/pelanggannya bagaimana
mereka menetapkan standar kebutuhan dan harapannya.
Mengapa produk/jasa harus bermutu? Dalam persaingan
bebas kita seharusnya berorientasi pada kebutuhan dan harapan konsumen atau
pelanggan (customers). Jika produk/layanan hasil kinerja kita tidak
bermutu, maka customers akan meninggalkan kita, karena ada alternatif
lain yang bisa dipilih oleh mereka. Jika penghasil produk/jasa ingin tetap
berlangsung usahanya (dipakai oleh customers), maka ia harus menjaga
mutu bahkan meningkatkan mutu produk/jasa layanannya seiring dengan tuntutan
kebutuhan dan harapan customers.
Adapun sifat-sifat pokok mutu jasa, menurut Slamet
(1999) adalah mengadung unsur-unsur: (1) keterpercayaan (reliability),
(2) keterjaminan (assurance), (3) penampilan (tangibility), (4)
perhatian (emphaty), dan (5) ketanggapan (responsiveness).
Keterpercayaan dapat
dihasilkan dari sikap dan tindakan seperti: jujur, tepat waktu pelayanan,
terjaminnya rasa aman dengan produk/jasa yang dipergunakan/diperoleh, dan
ketersediaan produk/jasa saat dibutuhkan pelanggan.
Keterjaminan suatu mutu
jasa dapat ditimbulkan oleh kondisi misalnya penghasil produk/jasa memang
kompeten dalam bidangnya, obyektif dalam pelayanannya, tampil dengan percaya
diri dan meyakinkan pelanggannya.
Penampilan adalah sosok
dari produk/jasa dan hasil karyanya. Misalnya bersih, sehat, teratur dan rapi,
enak dipandang, serasi, berpakaian rapi dan harmonis, dan buatannya baik.
Seminar Nasional Pendidikan “Profesionalisme Guru dan
Peningkatan Mutu Pendidikan
|
6
|
|
di Era
Otonomi Daerah”, Wonogiri 23 Juli 2005.
|
|
|
|
|
Empati adalah berusaha merasakan apa yang dialami
oleh pelanggan (“seandainya saya dia”). Cara berempati dapat dinyatakan dengan
penuh perhatian terhadap pelanggan, melayani dengan ramah dan memuaskan,
memahami keinginan pelanggan, berkomunikasi dengan baik dan benar, dan bersikap
penuh simpati.
Adapun ketanggapan
adalah ungkapan cepat tanggap dan perhatian terhadap keluhan pelanggan.
Ungkapan tersebut dapat dinyatakan dengan cepat memberi respon pada permintaan
pelanggan dan cepat memperhatikan dan mengatasi keluhan pelanggan.
Dalam kerangka manajemen pengembangan mutu terpadu,
usaha pendidikan tidak lain adalah merupakan usaha “jasa” yang memberikan
pelayanan kepada pelangggannya yang utamanya yaitu kepada mereka yang belajar
dalam lembaga pendidikan tersebut.
Para pelanggan layanan pendidikan dapat terdiri dari
berbagai unsur paling tidak empat kelompok (Sallis, 1993). Mereka itu adalah pertama
yang belajar, bisa merupakan mahasiswa/pelajar/murid/peserta belajar yang biasa
disebut klien/pelanggan primer (primary external customers).
Mereka inilah yang langsung menerima manfaat layanan pendidikan dari
lembaga tersebut. Kedua, para klien terkait dengan orang yang
mengirimnya ke lembaga pendidikan, yaitu orang tua atau lembaga tempat klien
tersebut bekerja, dan mereka ini kita sebut sebagai pelanggan sekunder (secondary
external customers). Pelanggan lainnya yang ketiga bersifat tersier
adalah lapangan kerja, bisa pemerintah maupun masyarakat pengguna output
pendidikan (tertiary external customers). Selain itu, yang keempat,
dalam hubungan kelembagaan masih terdapat pelanggan lainnya yaitu yang berasal
dari intern lembaga; mereka itu adalah para guru/dosen/tutor dan tenaga
administrasi lembaga pendidikan, serta pimpinan lembaga pendidikan (internal
customers). Walaupun para guru/dosen/tutor dan tenaga administrasi, serta
pimpinan lembaga pendidikan tersebut terlibat dalam proses pelayanan jasa,
tetapi mereka termasuk juga pelanggan jika dilihat dari hubungan manajemen.
Mereka berkepentingan dengan lembaga tersebut untuk maju, karena semakin maju
dan berkualitas dari suatu lembaga pendidikan mereka akan diuntungkan, baik
kebanggaan maupun finansial (Karsidi, 2000).
Seperti disebut diatas bahwa program peningkatan
mutu harus berorientasi kepada kebutuhan/harapan pelanggan, maka layanan
pendidikan suatu lembaga haruslah memperhatikan kebutuhan dan harapan
masing-masing pelanggan diatas. Kepuasan dan kebanggaan dari mereka sebagai
penerima manfaat layanan pendidikan harus menjadi acuan bagi program
peningkatan mutu layanan pendidikan.
Seminar Nasional Pendidikan “Profesionalisme Guru dan
Peningkatan Mutu Pendidikan
|
7
|
|
di Era
Otonomi Daerah”, Wonogiri 23 Juli 2005.
|
|
|
|
|
ETOS KERJA DAN PROFESIONALISME GURU
Profesi diukur
berdasarkan kepentingan dan tingkat kesulitan yang dimiliki. Dalam dunia
keprofesian kita mengenal berbagai terminologi kualifikasi profesi yaitu:
profesi, semi profesi, terampil, tidak terampil, dan quasi profesi.
Gilley dan Eggland
(1989) mendefinisikan profesi sebagai bidang usaha manusia berdasarkan
pengetahuan, dimana keahlian dan pengalaman pelakunya diperlukan oleh
masyarakat. Definisi ini meliputi aspek yaitu :
a.
Ilmu pengetahuan tertentu
b.
Aplikasi kemampuan/kecakapan, dan
c.
Berkaitan dengan kepentingan umum
Aspek-aspek yang terkandung dalam profesi tersebut
juga merupakan standar pengukuran profesi guru.
Proses profesional
adalah proses evolusi yang menggunakan pendekatan organisasi dan
sistemastis untuk mengembangkan profesi ke arah status professional
(peningkatan status). Secara teoritis menurut Gilley dan Eggland (1989)
pengertian professional dapat didekati dengan empat prespektif
pendekatan yaitu orientasi filosofis, perkembangan bertahap, orientasi
karakteristik, dan orientasi non-tradisonal.
1.
Orientasi
Filosofi
Ada tiga pendekatan dalam orientasi
filosofi, yaitu pertama lambang keprofesionalan adalah adanya sertifikat,
lissensi, dan akreditasi. Akan tetapi penggunaan lambang ini tidak diminati
karena berkaitan dengan aturan-aturan formal. Pendekatan kedua yang digunakan
untuk tingkat keprofesionalan adalah pendekatan sikap individu, yaitu
pengembangan sikap individual, kebebasan personal, pelayanan umum dan aturan
yang bersifat pribadi. Yang penting bahwa layanan individu pemegang profesi
diakui oleh dan bermanfaat bagi penggunanya. Pendekatan ketiga: electic,
yaitu pendekatan yang menggunakan prosedur, teknik, metode dan konsep dari
berbagai sumber, sistim, dan pemikiran akademis. Proses profesionalisasi
dianggap merupakan kesatuan dari kemampuan, hasil kesepakatan dan standar
tertentu. Pendekatan ini berpandangan bahwa pandangan individu tidak akan lebih
baik dari pandangan kolektif yang disepakati bersama. Sertifikasi profesi
memang diperlukan, tetapi tergantung pada tuntutan penggunanya.
Seminar Nasional Pendidikan “Profesionalisme Guru dan
Peningkatan Mutu Pendidikan
|
8
|
|
di Era
Otonomi Daerah”, Wonogiri 23 Juli 2005.
|
|
|
|
|
2.
Orientasi
Perkembangan
Orientasi perkembangan menekankan pada
enam langkah pengembangan profesionalisasi, yaitu:
a.
Dimulai dari
adanya asosiasi informal individu-individu yang memiliki minat terhadap
profesi.
b.
Identifikasi dan adopsi
pengetahuan tertentu.
c.
Para praktisi biasanya lalu
terorganisasi secara formal pada suatu lembaga.
d.
Penyepakatan
adanya persyaratan profesi berdasarkan pengalaman atau kualifikasi tertentu.
e.
Penetuan kode etik.
f.
Revisi
persyaratan berdasarkan kualifikasi tertentu (termasuk syarat akademis) dan
pengalaman di lapangan.
3.
Orientasi
Karakteristik
Profesionalisasi juga dapat ditinjau
dari karakteristik profesi/pekerjaan. Ada delapan karakteristik pengembangan
profesionalisasi, satu dengan yang lain saling terkait:
a.
Kode etik
b.
Pengetahuan yang terorganisir
c.
Keahlian dan kompetensi yang bersifat
khusus
d.
Tingkat pendidikan minimal yang
dipersyaratkan
e.
Sertifikat keahlian
f.
Proses tertentu
sebelum memangku profesi untuk bisa memangku tugas dan tanggung jawab
g.
Kesempatan untuk penyebarluasan
dan pertukaran ide di antara anggota profesi
h.
Adanya tindakan
disiplin dan batasan tertentu jika terjadi malpraktek oleh anggota profesi
4.
Orientasi
Non-Tradisional
Perspektif pendekatan
yang keempat yaitu
prespektif non-tradisonal yang
menyatakan
bahwa seseorang dengan bidang ilmu
tertentu diharapkan mampu melihat dan merumuskan karakteristik yang unik dan
kebutuhan dari sebuah profesi. Oleh karena itu perlu dilakukan identifikasi
elemen-elemen penting untuk sebuah profesi, misalnya termasuk pentingnya
sertifikasi professional dan perlunya standarisasi profesi untuk menguji
kelayakannya dengan kebutuhan lapangan.
Seminar Nasional Pendidikan “Profesionalisme Guru dan
Peningkatan Mutu Pendidikan
|
9
|
|
di Era
Otonomi Daerah”, Wonogiri 23 Juli 2005.
|
|
|
|
|
Tentu saja, pekerjaan
guru tidak diragukan untuk dapat dikatakan sebagai profesi pendidikan dan
pengajaran. Namun, hingga kini “pekerjaan untuk melakukan pendidikan dan
pengajaran” ini masih sering dianggap dapat dilakukan oleh siapa saja. Inilah
tantangan bagi profesi guru. Paling tidak hal ini masih sering terjadi di
lapangan.
Profesionalisme guru
perlu didukung oleh suatu kode etik guru yang berfungsi sebagai norma hukum dan
sekaligus sebagai norma kemasyarakatan. Kelembagaan profesi guru (seperti PGRI)
sangat diperlukan untuk menghindari terkotak-kotaknya guru karena alasan
struktur birokratisasi atau kepentingan politik tertentu.
Profesionalisme guru
harus didukung oleh kompetensi yang standar yang harus dikuasai oleh para guru
profesional. Kompetensi tersebut adalah pemilikan kemampuan atau keahlian yang
bersifat khusus, tingkat pendidikan minimal, dan sertifikasi keahlian haruslah
dipandang perlu sebagai prasarat untuk menjadi guru profesional. Menurut Surya
(2003) guru yang profesional harus menguasai keahlian dalam kemampuan materi
keilmuan dan ketrampilan metodologi. Guru juga harus memiliki rasa tanggung jawab
yang tinggi atas pekerjaannya baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, bangsa dan
negara, lembaga dan organisasi profesi. Selain itu, guru juga harus
mengembangkan rasa kesejawatan yang tinggi dengan sesama guru. Disinilah peran
Perguruan Tinggi Pendidikan dan organisasi profesi guru (seperti PGRI) sangat
penting. Kerjasama antar keduanya menjadi sangat diperlukan. Lembaga Pendidikan
dalam memproduk guru yang profesional tidak dapat berjalan sendiri, kecuali
selain harus bekerjasama dengan lembaga profesi guru, dan sebaliknya.
Untuk itu, maka pengembangan profesionalisme guru
juga harus mempersyaratkan hidup dan berperanannya organisasi profesi guru
tenaga kependidikan lainnya yang mampu menjadi tempat terjadinya penyebarluasan
dan pertukaran ide diantara anggota dalam menjaga kode etik dan pengembangan
profesi masing-masing.
Orientasi mutu, profesionalisme dan menjunjung
tinggi profesi harus mampu menjadi etos kerja guru. Untuk itu maka, kode etik
profesi guru harus pula ditegakkan oleh anggotanya dan organisasi profesi guru
harus pula dikembangkan kearah memiliki otoritas yang tinggi agar dapat
mengawal profesi guru tersebut.
Seminar Nasional Pendidikan “Profesionalisme Guru dan
Peningkatan Mutu Pendidikan
|
10
|
di Era
Otonomi Daerah”, Wonogiri 23 Juli 2005.
|
|
TANTANGAN
PROFESI GURU
(1) Perkembangan
Teknologi Informasi
Dalam rangka meningkatkan profesionalisme guru,
terjadinya revolusi teknologi informasi merupakan sebuah tantangan yang harus
mampu dipecahkan secara mendesak. Adanya perkembangan teknologi informasi yang
demikian akan mengubah pola hubungan guru-murid, teknologi instruksional dan
sistem pendidikan secara keseluruhan. Kemampuan guru dituntut untuk
menyesuaikan hal demikian itu. Adanya revolusi informasi harus dapat
dimanfaatkan oleh bidang pendidikan sebagai alat mencapai tujuannya dan bukan
sebaliknya justru menjadi penghambat. Untuk itu, perlu didukung oleh suatu
kehendak dan etika yang dilandasi oleh ilmu pendidikan dengan dukungan berbagai
pengalaman para praktisi pendidikan di lapangan.
Perkembangan teknologi
(terutama teknologi informasi) menyebabkan peranan sekolah sebagai lembaga
pendidikan akan mulai bergeser. Sekolah tidak lagi akan menjadi satu-satunya
pusat pembelajaran karena aktivitas belajar tidak lagi terbatasi oleh ruang dan
waktu. Peran guru juga tidak akan menjadi satu-satunya sumber belajar karena
banyak sumber belajar dan sumber informasi yang mampu memfasilitasi seseorang
untuk belajar.
Wen (2003) seorang usahawan teknologi mempunyai
gagasan mereformasi sistem pendidikan masa depan. Menurutnya, apabila anak
diajarkan untuk mampu belajar sendiri, mencipta, dan menjalani kehidupannya
dengan berani dan percaya diri atas fasilitasi lingkungannya (keluarga dan
masyarakat) serta peran sekolah tidak hanya menekankan untuk mendapatkan
nilai-nilai ujian yang baik saja, maka akan jauh lebih baik dapat menghasilkan
generasi masa depan. Orientasi pendidikan yang terlupakan adalah bagaimana agar
lulusan suatu sekolah dapat cukup pengetahuannya dan kompeten dalam bidangnya,
tapi juga matang dan sehat kepribadiannya. Bahkan konsep tentang sekolah di masa
yang akan datang, menurutnya akan berubah secara drastis. Secara fisik, sekolah
tidak perlu lagi menyediakan sumber-sumber daya yang secara tradisional berisi
bangunan-bangunan besar, tenaga yang banyak dan perangkat lainnya. Sekolah
harus bekerja sama secara komplementer dengan sumber belajar lain terutama
fasilitas internet yang telah menjadi “sekolah maya”.
Bagaimanapun kemajuan
teknologi informasi di masa yang akan datang, keberadaan sekolah tetap akan
diperlukan oleh masyarakat. Kita tidak dapat menghapus sekolah, karena dengan
alasan telah ada teknologi informasi yang maju. Ada sisi-sisi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar yang sopan