Usaha

 photo cooltext934587768.png
Home » » Neisseria gonorrhoeae, Treponema pallidum, Leptospira interoogans, Gardnerella vaginalis, Neisseria meningitides, Listeria monocytogenes, Mycobacterium leprae, Clostridium tetani, Clostridium botulinum

Neisseria gonorrhoeae, Treponema pallidum, Leptospira interoogans, Gardnerella vaginalis, Neisseria meningitides, Listeria monocytogenes, Mycobacterium leprae, Clostridium tetani, Clostridium botulinum

BAB I
PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang
Bakteri, dari kata  bacterium (jamak, bacteria), adalah kelompok raksasa dari organisme  hidup. Mereka sangat kecil (mikroskopik) dan kebanyakan uniseluler (bersel tunggal). Secara mikroskopik mereka dapat dikategorikan berdasarkan bentuk, Gram, motilitas, dan kebutuhannnya akan oksigen. Tiap bakteri menyebabkan penyakit tertentu dan menyerang daerah tertentu pada tubuh manusia. Diantaranya disebabkan oleh bakteri  Neisseria gonorrhoeae, Treponema pallidum, Leptospira interoogans, Gardnerella vaginalis  yang menyerang saluran urogenital.  Beberapa yang lain menyerang sistem saraf, seperti Neisseria meningitides, Listeria monocytogenes, Mycobacterium leprae, Clostridium tetani, Clostridium botulinum. Semua bakteri tersebut menimbulkan berbagai penyakit, diantaranya   Gardnerella vaginalis yang menggantikan Lactobacillus sp sebagai bakteri penyebab suasana asam menjadi suasana basa,, Neisseria gonorrhoeae biasa menyerang organ kelamin pria ataupun wanita. Hampir sebagian penyakit yang disebabkan oleh bakteri tersebut merupakan penyakit yang sering diderita oleh masyarakat, terutama bakteri yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan dan minuman yang dikonsumsi oleh manusia.
            Jadi, diharapkan semua manusia dapat hidup lebih sehat dan selalu menjaga kebersihan karena ukuran mikroskopik yang dimiliki oleh bakteri dan keberadaan bakteri yang tersebar dimana-mana seperti di air, udara, dan tempat lainnya menyebabkan manusia mudah terserang penyakit.

1.2 Tujuan Penulisan
     Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui lebih dalam tentang bakteri patogen khususnya pada saluran urogenital dan sistem sarafbakteri  Neisseria gonorrhoeae, Treponema pallidum, Leptospira interoogans, Gardnerella vaginalis  yang menyerang saluran urogenital dan  Neisseria meningitides, Listeria monocytogenes, Mycobacterium leprae, Clostridium tetani, Clostridium botulinum yang menyerang sistem saraf  serta penyakit yang disebabkan, gejala, pengobatan, dan pencegahan yang di timbulkan.

1.3  Rumusan Masalah
Tim penulis membatasi ruang lingkup kajian makalah pada:
·         Penyakit-penyakit apa yang ditimbulkan oleh bakteri patogen khususnya bakteri  sarafbakteri  Neisseria gonorrhoeae, Treponema pallidum, Leptospira interoogans, Gardnerella vaginalis, Neisseria meningitides, Listeria monocytogenes, Mycobacterium leprae, Clostridium tetani, Clostridium botulinum
·         Bagaimana morfologi dan fisiologi bakteri Neisseria gonorrhoeae, Treponema pallidum, Leptospira interoogans, Gardnerella vaginalis, Neisseria meningitides, Listeria monocytogenes, Mycobacterium leprae, Clostridium tetani, Clostridium botulinum
·         Bagaimana cara pencegahan dan pengobatan penyakit yang disebabkan oleh bakteri sarafbakteri  Neisseria gonorrhoeae, Treponema pallidum, Leptospira interoogans, Gardnerella vaginalis, Neisseria meningitides, Listeria monocytogenes, Mycobacterium leprae, Clostridium tetani, Clostridium botulinum

1.4  Metode Penelitian
        Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian dan penyusunan makalah ini yaitu metode studi pustaka. Studi pustaka ini kami ambil dari berbagai sumber, seperti buku dan internet untuk memperkaya dan menyempurnakan makalah ini.



1.5 Sistematika Penulisan
       Bab I Pendahuluan terdiri atas latar belakang, tujuan, rumusan masalah, metode penelitian, dan sistematika  penulisan. Bab II  terdiri dari morfologi, fisiologi, gejala klinis, epidemologi, pencegahan, dan pengobatan penyakit yang ditimbulkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium leprae, Neisseria meningitidis, Neisseria gonorrhoeae, Salmonella typhi, Escherichia coli. Kemudian dilanjutkan dengan Bab III yang berisi kesimpulan dan saran dati tim penulis bagi pembaca. Akhirnya makalah ini ditutup dengan daftar pustaka.






















BAB II

MIKROBIOLOGI

II.1 Bakteri Patogen Saluran Urogenital
II.1.1  Neisseria gonorhorroeae
Orang pernah menderita penyakit ini, di waktu kencing merasa sakit dan bernanah. Bila tidak mendapat pengobatan yang baik akan menjadi menahun, kadang-kadang kencingnya tidak lagi bernanah tetapi pada pagi hari tampak bercak kuning di celana dalam.
Bila gonore menyerang wanita kadang-kadang penderita tidak sadar karena tidak ada gejala khas yang berupa kencing nanah. Gonore pada wanita dapat menjalar sampai ke rahim, tabung rahim, indung telur, dubur, dan kadang-kadang dapat pula bersarang di kerongkongan.Wanita hamil yang menderita gonore bila melahirkan bayinya bisa buta bila tidak cepat diobati sakit mata bayi itu.
Pada lelaki gonore yang tidak mendapat pengobatan sempurna dapat mengenai kelenjar prostat, dubur, dan persendian. Lelaki yang menjilat alat kelamin wanita penderita gonore dapat pula menderita gonore kerongkongan dan lidah.
Karakteristik
1. Ciri organisme
Secara umum ciri-ciri neisseriae adalah bakteri gram negatif, diplokokus non motil, berdiameter mendekati 0,8 μm. Masing-masing cocci berbentuk ginjal; ketika organisme berpasangan sisi yang cekung akan berdekatan.



2. Kultur
Selama 48 jam pada media yang diperkaya (misalnya Mueller-Hinton, modified Thayer-Martin), koloni gonococci berbentuk cembung, berkilau, meninggi dan sifatnya mukoid berdiameter 1-5 mm. Koloni transparan atau pekat, tidak berpigmen dan tidak bersifat hemolitik.

           
           


3. Karakteristik pertumbuhan
Neisseriae paling baik tumbuh pada kondisi aerob, namun beberapa spesies dapat tumbuh pada lingkungan anaerob. Mereka membutuhkan syarat pertumbuhan yang kompleks. Sebagian besar neisseriae memfermentasikan karbohidrat, menghasilkan asam tetapi bukan gas dan pola fermentasi karbohidratnya merupakan faktor yang membedakan spesies mereka. Neisseria menghasilkan oksidase dan memberikan reaksi oksidase positif, tes oksidase merupakan kunci dalam mengidentifikasi mereka. Ketika bakteri terlihat pada kertas filter yang telah direndam dengan tetrametil parafenilenediamin hidroklorida (oksidase), neisseria akan dengan cepat berubah warna menjadi ungu tua.
Gonococci paling baik tumbuh pada media yang mengandung substansi organik yang kompleks seperti darah yang dipanaskan, hemin, protein hewan dan dalam ruang udara yang mengandung 5% CO2. pertumbuhannya dapat dihambat oleh beberapa bahan beracun dari media seperti asam lemak dan garam. Organisme dapat dengan cepat mati oleh pengeringan, penjemuran, pemanasan lembab dan desinfektan. Mereka menghasilkan enzim autolitik yang dihasilkan dari pembengkakan yang cepat dan lisis in vitro pada suhu 25º C dan pada pH alkalis.

4. Koloni dan antigen
Gonoccoci biasanya menghasilkan koloni yang lebih kecil dibandingkan neisseriae lainnya. Gonoccoci yang membutuhkan arginin, hipoxantin dan urasil cenderung tumbuh dengan sangat lambat pada kultur primernya. Gonoccoci diisolasi dari spesimen klinis atau dipertahankan oleh subkultur nonselektifr yang memiliki ciri koloni kecil yang mengandung bakteri berpili. Pada subkultur nonselektif, koloni yang lebih besar yang mengandung gonoccoci yang berpili juga terbentuk. Varian yang pekat dan transparan pada kedua bentuk koloni (besar dan kecil) juga terbentuk, koloni yang pekat berhubungan dengan keberadaan protein yang berada di permukaan, yang disebut Opa.
           
5. Struktur antigen
N. gonorrhoeae adalah antigen yang heterogen dan mampu berubah struktur permukaannya pada tabung uji (in vitro) – yang diasumsikan berada pada organisme hidup (in vivo) – untuk menghindar dari pertahanan inang (host). Struktur permukaannya adalah sebagai berikut:
A. Pili
Pili adalah tentakel berbentuk rambut yang dapat memanjang hingga beberapa mikrometer dari permukaan gonoccoci. Perpanjangan tersebut menempel pada sel inang dan resisten terhadap fagositosis. Mereka terbuat dari sekumpulan protein pilin (BM 17.000-21.000). terminal amino dari molekul pilin, yang mengandung persentase yang tinggi dari asam amino hidrofobik tetap dipertahankan. Rangkaian asam amino yang dekat dengan setengah porsi molekul juga dipertahankan; porsi tersebut menempel pada sel inang dan kurang dikenal oleh respon kekebalan. Asam amino yang dekat terminal karboksil sangat bervariasi; porsi molekul ini sangat dikenal oleh respon kekebalan. Pilin-pilin dari hampir seluruh strain N. Gonorrhoeae secara antigen berbeda-beda dan setiap strain dapat membuat bentuk pilin yang unik secara antigen.

B. Por
Por membesar hingga mencapai membran sel gonoccoci. Ini terjadi dalam trimer untuk membentuk pori-pori pada permukaan melalui nutrisi yang masuk ke dalam sel. Berat molekul por sangat bervariasi 34.000 hingga 37.000. Setiap strain gonoccocus hanya menampilkan satu tipe por, tetapi por dari strain yang berbeda, berbeda pula secara antigen. Pengklasifikasian secara serologis terhadap por dengan menggunakan reaksi aglutinasi dengan antibodi monoklonal dapat dibedakan menjadi 18 serovar PorA dan 28 serovar PorB (serotyping hanya dapat dilakukan berdasarkan referensi laboratorium).

C. Opa
Protein ini berfungsi dalam adhesi gonoccoci dalam koloni dan dalam penempelan gonoccoci pada sel inang, khususnya sel-sel yang menampilkan antigen karsinoembrionik (CD 66). Satu porsi dari molekul Opa berada di bagian terluar dari membrangonoccoci dan sisanya berada pada permukaan. Berat molekul Opa berkisar antara 24.000 hingga 32.000. Setiap strain gonoccocus dapat menampilkan hingga tiga tipe Opa, dimana masing-masing strain memiliki lebih dari 10 gen untuk Opa yang berbeda-beda.
 



D. Rmp
Protein ini (BM sekitar 33.000) secara antigen tersimpan di semua gonoccoci. Protein ini mengubah berat molekulnya pada saat terjadi reduksi. Mereka bergabung dengan Por pada saat pembentukan pori-pori pada permukaan sel.

E. Lipooligosakarida (LOS)
Berbeda dengan batang enterik gram negatif, pada gonococci LPS tidak memiliki rantai antigen-O panjang dan disebut dengan lipooligosakarida. Berat molekulnya adalah 3000 - 7000. Gonococci dapat menampilkan Iebih dari satu rantai LOS yang secara antigen berbeda secara simultan. Toksisitas pada injeksi gonococci sebagian besar disebabkan oleh efek endotoksin dari LOS.
Dalam bentuk perkembangbiakan secara molekuler, gonococci membuat molekul LOS yang secara struktural mirip dengan membran sel manusia, yaitu glikosfingolipid. Gonococci LOS dan glikosingolipid manusia dengan struktur kelas yang sama, bereaksi dengan antibodi monokloral yang sama, mengindikasikan perkembangan secara molekuler LOS yang dipertahankan memiliki lakto-N-neotetraose glikose moietas yang sama terbagi dalam serial paraglobosid glikosfingolipid manusia. Struktur glukosa neisseria LOS lainnya, globosid, gangliosid dan laktosid. Tampilan permukaan gonoeoci yang sama dengan struktur permukaan pada sel manusia membantu gonococci untuk menghindar dari pengenalan kekebalan (immune recognition).
Terminal galaktosa dari glikostmoolipid sering berkonjugasi dengan asam sialat. Asam sialat adalah asam 9 karbon yang juga disebut dengan asam N asetilneuraminat (NANA). Gonococci tidak membuat asam sialat tetapi membuat sialiltransferase yang berfungsi untuk mengambil NANA dari nukleotida otila asam sitidine 5-monofosfo-N-asetilneuraminat (CMP-NANA) dan menempatkan NANA pada terminal galaktosa dari gonococci penerima LOS.
Sialilasi berdampak pada patogenesis dari infeksi gonococci. Ini membuat gonococci resisten untuk dimatikan oleh sistem antibodi manusia dan mengintervensi gonococci yang mengikat pada penerima (reseptor) dari sel fagositik.
Neisseria meningtidis dan Haemophilus influenzae membuat banyak tapi tidak semua struktur LOS yang sama pada N gonorrhoeae. Biologi dari ketiga spesies LOS dan beberapa dari spesies neisseriae nonpatogenik adalah sama. Empat serogrup dari N. meningtidis membuat kapsul asam sialat yang berbeda, mengindikasikan bahwa mereka juga memiliki pola biosintetik yang berbeda dari gonococci. Keempat serogrup ini ber-sialilate dengan LOS-nya menggunakan asam sialat yang berasal dari kolam endogenus.

F. Protein Lain
Beberapa protein gonococci yang konstan secara antigen memiliki kinerja yang kurang jelas dalam patogenesisnya. Lip (H8) adalah protein yang terdapat pada permukaan dimana heat- modifiable seperti Opa.
Fbp (iron binding protein), yang berat molekulnya sama dengan Por, tampak pada saat persediaan besi terbatas, misalnya infeksi pada manusia. Gonococci mengkolaborasi IgA1 protease yang memisah dan menonaktifkan IgA1, sebagian besar selaput lendir immunoglobulin manusia. Meningococci, Haemophilus influenzae dan Streptococcus pneumoniae mengelaborasi protease IgA1 yang sama.

6. Genetik dan Heterogenitas Antigen
Gonococci telah mengembangkan mekanisme perpindahan yang dimulai dari satu bentuk antigen (pilin, Opa atau lipopolisakarida) ke bentuk antigen yang lain dari molekul yang sama. Perpindahan tersebut membutuhkan satu tempat untuk setiap 1025- 103 gono-cocci, sebuah perubahan yang sangat cepat bagi bakteri. Karena pilin, Opa dan lipopolisakacida adalah antigen yang terdapat pada permukaan gonococci, mereka berperan pepting dalam respon kekebalan terhadap infeksi. Molekul-molekul yang cepat berpindah dari satu bentuk antigen ke bentuk yang lain membantu gonococci untuk mampu menghindar dari sistem kekebalan inang.

7. Mekanisme Perpindahan Pilin Berbeda dengan Mekanisme Opa
Gonococci memiliki gen yang jamak, namun hanya satu gen yang dimasukkan ke dalam daerah penampakan. Gonococci menghilangkan seluruh atau sebagian dari gen pilin dan menggantikannya dengan seluruh atau sebagian dari gen pilin yang lain. Mekanisme ini membuat gonococci dapat muncul dalam berbagai bentuk molekul pilin sepanjang waktu.
Mekanisme perpindahan Opa, penambahan atau penghilangan DNA dari satu atau lebih kode pentamerik mengulang rangkaian. kode-kode untuk struktur gen Opa. Mekanisme perpindahan lipopolisakarida masih belum diketahui.
Gonococci mengandung beberapa plasmid; 95% strain memiliki plasmid cryptic kecil (BM 2,4 x 106) dari funosi yang belum diketahui. Sedangkan dua lainnya (BM 3,4 x 106 dan BM 4,7 x 106) mengandung gen yang mempunyai kode produksi _-laktamase, dimana menyebabkan mereka resisten terhadap penicillin. Plasmidplasmid ini berpindah melalui konjugasi antara gonococci; mereka r.iirip dergan plasmid yang ditemukan pada haemofilus yang memproduksi penisilinase dan didapat dari haemofilus atau organisme gram negatif lain. 5-20% gonococci mengandung sebuah plasmid (BM 24,5 x 106) dengan gen-gen yang terkode untuk berkonjugasi; kejadian paling tinggi terdapat di area geografis dimana, penisilinase yang menghasilkan gonococci banyak ditemui. Resistensi terhadap tetrasiklin yang tinggi telah berkembang di dalam gonococci melalui pemasukan kode gen streptococci ke dalam plasmid yang berkonjugasi.

Penyebaran & Penularan
Gonorrhea telah menyebar ke seluruh dunia. Di Amerika Serikat, tingkat kejadiannya meningkat secara recap dari tahun 1955 hingga akhir 1970 dengan 400 hingga 500 kasus per 100 ribu populasi. Berikutnya berhubungan dengan epidemi AIDS dan perkembangan penerapan seks yang aman, insiden telah menurun mendekati 100 kasus tiap 100 ribu populasi. Di Indonesia, infeksi gonore menempati urutan yang tertinggi dari semua jenis PMS. Beberapa penelitian di Surabaya, Jakarta, dan Bandung terhadap WPS menunjukkan bahwa prevalensi gonore berkisar antara 7,4%--50%6,7,8,9.
Gonorrhea yang secara khusus ditularkan melalui hubungan seksual, kebanyakan merupakan infeksi yang tanpa gejala. Tingkat infeksi dari organisme, yang dilihat dari kemungkinan seseorang untuk mendapat infeksi dari. pasangan seksualnya yang telah terinfeksi, mencapai 20 - 30% pada pria dan lebih besar lagi pada wanita. Tingkat infeksi dapat dikurangi dengan menghindari berganti-ganti pasangan, pemberanrasan gonorrhea dari individu yang terinfeksi (yang dapat dilakukan dengan diagnosa dini dan pengobatan), serta temuan kasus-kasus dan kontak-kontak melalui penyuluhan dan penyaringan populasi yang beresiko tinggi. Mekanisme profilaksis (kondom) dapat menjadi perlindungan yang parsial. Penggunaan metode chemoprophylaxis menjadi terbatas karena meningkatnya resistensi gonococcus terhadap antibiotik.
PPNG pertama kali muncul pada tahun 1975. Strain gonococci yang resisten terhadap penicillin ini muncul di banyak bagian dunia, dengan kejadian tertinggi pada populasi khusus seperti 50% kasus yang terdapat di tempat prostitusi yang ada di Filipina. Wilayah lain dengan tingkat kejadian tinggi adalah Singapura, sebagian Gurun Sahara - Afrika, dan Miami- Florida. Fokus dari wabah penyakit yang disebabkan oleh PPNG telah terjadi di banyak wilayah di Amerika Serikat dan di tempat lain dan fokus endemik sedang dikembangkan.
Gonococci menunjukkan beberapa tipe morfologi koloni (lihat di atas), tetapi hanya tipe 1 dan 2 yang tampaknya virulen dan mempunyai pili yang melekat pada sel-sel epitel dan membantu melawan fagositosa. Gonococci yang membentuk koloni opak dan menghasilkan Opa diisolasi dari pria yang menderita uretritis simtomatik dan dari biakan serviks rahim di tengah siklus. Gonococci yang membentuk koloni transparan sering diisolasi dari pria yang menderita infeksi uretra asimtomatik, dari wanita yang sedang haid, dan dari gonore bentuk invasif, termasuk salpingitis dan infeksi yang tersebar luas. Pada wanita, tipe koloni yang dibentuk oleh satu strain gonococci akan berubah-ubah selama siklus menstruasi.
Gonococci menyerang selaput lendir saluran genitourinari, mata, rektum, dan tenggorokan, mengakibatkan supurasi akut yang dapat menyebabkan invasi jaringan; hal ini diikuti oleh peradangan kronis dan fibrosis. Pada pria biasanya terdapat uretritis, dengan nanah yang berwarna krem kuning dan nyeri waktu kencing. Proses dapat menjalar ke epididimis. Pada infeksi yang tidak diobati, sementara supurasi mereda, terjadi fibrosis, yang kadang-kadang mengakibatkan striktur uretra. Infeksi uretra pada pria dapat tanpa gejala. Pada wanita, infeksi primer terjadi di endoserviks dan meluas ke uretra dan vagina, mengakibatkan sekret mukopurulen. Infeksi kemudian dapat menjalar ke tuba uterina dan menyebabkan salpingitis, fibrosis, dan obliterasi tuba. Infertilitas terjadi pada 20% wanita yang menderita salpingitis gonococci. Servisitis kronis atau proktitis akibat gonococci sering tanpa gejala.
Bakteremia gonococci mengakibatkan lesi kulit (terutama papula hemoragik dan pustula) pada tangan, lengan bagian bawah, kaki, dan tungkai bawah, serta tenosinovitis dan artritis supuratif, biasanya pada lutut, pergelangan kaki, dan pergelangan tangan. Gonococci dapat dibiak dari darah dan cairan sendi hanya pada 30% penderita artritis gonococci. Endokarditis gonococci tidak umum, tetapi menyebabkan infeksi hebat. Gonococci kadang-kadang menyebabkan meningitis dan infeksi mata pada orang dewasa; gejalanya menyerupai penyakit yang disebabkan meningokokus.
Oftalmia neonatorum gonococci, infeksi mata pada bayi yang baru lahir, diperoleh ketika bayi melewati jalan lahir yang terinfeksi. Konjungtivitis yang timbul dapat berkembang cepat dan, jika tidak diobati, akan mengakibatkan kebutaan. Untuk menghindari penyakit ini, di AS diwajibkan penetesan tetrasiklin, eritromisin, atau perak nitrat ke dalam kantong konjungtiva bayi yang baru lahir.
Gonococci yang menyebabkan infeksi lokal sering peka terhadap serum tetapi relatif resisten terhadap obat antimikroba. Sebaliknya, gonococci yang masuk ke dalam aliran darah dan menyebabkan infeksi yang menyebar biasanya resisten terhadap serum tetapi peka terhadap penisilin dan obat antimikroba lainnya serta berasal dari auksotipe yang memerlukan arginin, hipoxantin, dan urasil untuk pertumbuhannya.

Gejala
Gejala gonorrhea pada pria lebih jelas daripada yang terdapat pada wanita. Wanita seringkali hanya mengalami gejala ringan atau tidak ada sama sekali. Pada pria gejala pertama biasanya timbul 2-7 hari setelah terjadinya kontak seksual dengan seseorang yang mengidap penyakit ini. Gejala yang dialami pria dimulai dengan rasa tidak nyaman pada saluran kencing, yang diikuti dengan rasa sakit ketika kencing atau keluarnya cairan dari penis. Gejala yang juga muncul adalah perasaan ingin buang air kecil terus menerus (anyang-anyangan), dan makin memburuk ketika penyakit ini menyebar ke bagian atas dari uretra. Ujung penis juga menjadi kemerahan dan membengkak. Pada wanita, gejala pertama kali timbul 7-21 hari setelah ia terinfeksi. Atau seringkali wanita yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala apapun sampai berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan setelah ia terinfeksi, dan baru ketahuan setelah pria pasangannya diketahui terinfeksi kemudian ia ikut diperiksa. Kalaupun terdapat gejala pada wanita biasanya ringan. Namun pada beberapa kasus, gejala yang biasanya timbul adalah sebagai berikut:
» Keluarnya cairan hijau kekuningan dari vagina
» Demam
» Muntah-muntah
» Rasa gatal dan sakit pada anus serta sakit ketika buang air besar, umumnya terjadi pada wanita dan homoseksual yang melakukan anal seks dengan pasangan yang terinfeksi
» Rasa sakit pada sendi
» Munculnya ruam pada telapak tangan
» Sakit pada tenggorokan (pada orang yang melakukan anal seks dengan pasangan yang terinfeksi)

 Kekebalan
Infeksi berulang-ulang dan relaps merupakaan kebiasaan pada infeksi gonokokus resistensi terhadap reinfeksi rupanya tidak terbentuk sebagai bagian dari proses penyakit.Sementara sejumlah antibodi dapat dibuktikan, antibody tersebut atau merupakan sangat strain spesifik atau memiliki daya lindung lemah, meskipun IgA pada permukaan selaput lendir.

Komplikasi
Apabila gonorrhea tidak diobati, bakteri dapat menyebar ke aliran darah dan mengenai sendi, katup jantung atau otak. Konsekuensi yang paling umum dari gonorrhea adalah Pelvic Inflammatory Disease (PID), yaitu infeksi serius pada organ reproduksi wanita, yang dapat menyebabkan infertilitas. Selain itu, kerusakan yang terjadi dapat menghambat perjalanan sel telur yang sudah dibuahi ke rahim. Apabila ini terjadi, sebagai akibatnya sel telur ini berkembang biak di dalam saluran falopii atau yang disebut kehamilan di luar kandungan, suatu hal yang dapat mengancam nyawa sang ibu apabila tidak terditeksi secara dini.
Seorang wanita yang terinfeksi dapat menularkan penyakitnya kepada bayinya ketika sang bayi melalui jalan lahir. Pada kebanyakan kasus dimana Ibu mengidap gonorrhea, mata bayi ditetesi obat untuk mencegah infeksi gonococcus yang dapat menyebabkan kebutaan. Karena adanya resiko infeksi Ibu dan bayi, biasanya dokter menyarankan agar ibu hamil menjalani tes gonorrhea setidaknya sekali selama kehamilannya. Sedangkan pada pria, apabila tidak ditangani secara serius gonorrhea dapat menyebabkan impotensi.

Pengobatan
Mintalah bantuan dokter umum.Biasannya dokter akan member ampisilin 3,5 mg dimakan sekaligus lalu disuntuk penisilin beberapa kali. Yang penting adalah pencegahannya. Tentu saja yang terbaik jangan berhubungan kelamin dengan penderita.Bila tetap mau berhubungan pakailah sarung KB (kondom) dan beberapa jam sebelum berhubungan makanlah ampisilin 3,5 mg sekaligus.
Semua bayi baru lahir tanpa memandang ibunya sakit atau tidak,matanya harus diberi obat tetes,larutan garam perak nitrat 1% atau salep mata tetrasiklin 1%.
Irigasi lokal uretra hanya sedikit efeknya. Banyak strain gonokokus resisten terhadap sulfonamida. Selama 30 tahun terakhir,resitensi terhadap penisilin G lambat laun bertambah (diduga karena seleksi mutan khromosom) sehingga sekarang banyak starin memerlukan 2 satuan penisilin G/ml untuk penghambatan.Ini mengakibatkan terjadi peningkatan pada dosis anjuran untuk pengobatan. Pada tahun 1982, dosis 4,8 juta saluran prokain penisilin IM dengan 1g probenesid dianjurkan untuk infeksi akut.
Pada tahun 1976, gonokokus yang menghasilkan beta-laktmase pertama kali timbul.Organisme ini mungkin mendapatkan plasmid yang menatur pembentukan enzim dari Haemophilus atau sesuatu kuman gram-negatif lainnya. Menjelang awal 1977.strain gonokokus yang benar-benar resisten terhadap penisilin ini telah timbul di banyak bagian dunia.Tetapi frekuensinya tetap rendah kecuali pada populasi khusus (misalnya, pelacur di Filipina dengan insiden 50%). Namun,telah timbul penyebaran setempat gonokokus yang menghasilkan beta-laktamase sejak 1980 di California, New York, dan tempat lainnya,serta telah ditetapkan daerah-daerah endemik.Infeksi demikian mungkin membutuhkan pengunaan spektosinin yang meningkat atau pada kasus faringitis-diberikan trimetropim-sulfametoksazol dalam dosis yang tinggi selama 5 hari. Strain N Gonnorrheae penghasil laktamase yang resisten terhadap spektinomisin telah diketemukan sejak tahun 1981.Pilihan lain adalah pemberian tetrasiklin selama 5 hari mungkin efektif. Sefoksitin diberikan 1 gram secara intramuskuler dua kali sehari dengan jarak waktu 5 jam antara suntikan dapat mengobati uretritis, serviksitis dan “carriage” rectal tetapi tidak untuk infeksi orofaringeal karena gonokokus
Kebanyakan kasus gonorrhea yang telah menyebar luas tetap disebabkan oleh strain yang peka terhadap penisilin, dan penisilin G, 10 juta satuan setiap hari selama 5-10 hari kelihatan merupakan terapi yang cocok. Pada salpingtis menahun, prostatitis, dan infeksi yang lama lainnya, pengobatan jangka lama dianjurkan.
Pada semua tipe gonorrhea, pengobatan harus dilakukan dengan tindak lanjut yang berulang, termasuk pembiakan dari tempat yang terkena. Karena penyakit-penyakit yang ditularkan secara seksual lainnya dapat diperoleh pada saat yang sama(lihat pembicaraan khlamidia, sifilis, dan sebagainnya ), langkah-langkah diagnostic yang cocok juga harus dilakukan
Sejak meluasnya pemakaian penisilin, resistensi gonokokus terhadap penisilin perlahan-lahan timbul karena seleksi mutan kromosom, sehingga sekarang banyak strain yang memerlukan penisilin G kadar tinggi (MIC ≥ 1μg/mL) untuk menghambatnya. N gonorrhoeae penghasil penisilinase (PPNG) juga mengalami peningkatan dalam prevalensinya (lihat atas). Sering ditemukan bentuk resisten terhadap tetrasiklin yang diperantarai secara kromosom (MIC ≥ 1μg /mL), dan 40% atau lebih yang resisten terhadap gonokokus pada kadar tersebut. Selain resistensi terhadap tetrasiklin dalam kadar tinggi (MIC ≥ 32 μg/ mL), terdapat juga resistensi spektinomisin seperti resistensi terhadap antimikroba lain. Karena masalah resistensi terhadap antimikroba pada N gonorrhoeae, Pelayanan Kesehatan Masyarakat di AS menganjurkan agar infeksi genital atau rektal yang tidak berkomplikasi diobati dengan seftriakson 250 mg secara intramuskuler dalam dosis tunggal. Terapi tambahan dengan doksisiklin 100 mg yang diberikan melalui oral dua kali sehari selama 7 hari, dianjurkan bagi yang kemungkinan disertai infeksi klamidia; pada wanita hamil, selain doksisiklin diberikan juga eritromisin basa 500 mg melalui oral empat kali sehari selama 7 hari. Modifikasi terapi ini dianjurkan untuk infeksi N gonorrhoeae jenis lain.

Pencegahan
Karena gonorrhea ini sangat menular namun seringkali tidak menampakkan gejala-gejala khusus, seseorang yang pernah melakukan hubungan seks dengan lebih dari satu pasangan sebaiknya memeriksakan dirinya dengan teratur. Penggunaan kondom dan difragma dapat mencegah penularan. Selain itu perlu terus waspada, karena sekali seseorang terinfeksi, tidak berarti selanjutnya ia menjadi kebal atau imun. Banyak orang terserang gonorrhea ini lebih dari sekali.
Pencegahan jauh lebih baik dan lebih mudah dibandingkan dengan pengobatan. Perlu di tinjau kembali perilaku seksual sekarang, dan segera meninggalkan perilaku yang beresiko dan tidak bertanggung jawab. Jika sudah terlanjur terinfeksi, segeralah memeriksakan diri ke dokter.

II.1.2  Treponema pallidum


Treponema pallidum


Karakteristik
Penyebab sifilis adalah spiroketa Treponema pallidum, mikroorganisme ini halus, berpilin ketat dengan ujung meruncing dan terdiri dari 6 sampai 14 spiral; berukuran lebar 0,25 sampai 0,3 um dan panjang 6 sampat 15 um. Organisme ini dapat dikenali paling jelas pada suatu spesimen klinis yang berasal dari luka sifilitik stadium primer dan sekunder dibawah mikroskop medan gelap ; ini jelas terlihat dari bentuk spiral dan pergerakannya yang seperti putaran pembuka sumbat.
Treponema pallidum mempunyai membran luar, atau selongsong yang disebut periplas yang melingkungi komponen-komponen dalam sel (keseluruhannya disebut silinder protoplasma). Suatu filamen aksial, yang terdiri dari tiga sampai enam fibril, terletak diantara periplas dan silinder protoplasma.
T. pallidum yang virulen belum berhasil di biakkan secara in vitro. Galur-galur T.pallidum yang non virulen (tidak patogenik), seperti galur Reiter dan Noguchi, telah berhasil dibiakkan invitro dan menjadi sumber antigen untuk uji-uji diagnostik laboratoris.

SIFILIS
Sifilis disebabkan oleh bakteri yang disebut spiroketa. Penyebarannya tidak seluas gonorea, tetapi lebih menakutkan karena kerusakan yang mungkin ditimbulkannya lebih besar. Seperti gonorea, penyakit ini disebarkan melalui kontak langsung dengan luka-luka pada orang yang ada pada stadium menular. Spiroketa, seperti gonokokus, adalah mikrobe yang tidak tahan berada di luar tubuh manusia, sehingga kemungkinan tertulari dari benda mati sangat kecil.
Treponema pallidum masuk ke dalam tubuh sewaktu terjadi hubungan kelamin melalui luka-luka goresan yang amat kecil pada epitel, dengan cara menembus selaput lendir yang utuh ataupun mungkin melalui kulit yang utuh lewat kantung rambut. Masa inkubasi sifilis berkisar 10-90 hari (rata-rata 21 hari) setelah infeksi. Bila tidak diobati, sifilis dapat timbul dalam beberapa stadium penyakit.

SIFILIS PRIMER : Gejala pertamanya adalah munculnya bisul kecil keras yang disebut syanker pada situs infeksi. Biasanya di ujung batang pelir pada pria dan di leher rahim atau vagina wanita. Syanker itu terlihat jelas pada pria, tetapi pada wanita seringkali tersembunyi. Bisul itu tidak gatal ataupun sakit. Jadi sifilis primer dapat berkembang tanpa diketahui. Treponema biasanya dapat ditemukan di dalam syanker semacam itu melalui pemeriksaan mikroskopis medan gelap.
Juga dalam stadium ini, spiroketa menyerang kelenjar getah bening, menyebabkan menjadi lebih besar dan keras. Setelah 3-5 minggu, syanker itu sembuh secara spontan, dan penyakit itu dari luar nampak tenang-tenang saja. Tetapi sementara itu organisme tersebut disebarkan lewat aliran darah ke seluruh tubuh.

SIFILIS SEKUNDER : Stadium penyakit ini di dahului oleh ruam ( pemunculan pada kulit) yang timbul setiap saat pada 2 sampai 12 minggu setelah hilangnya syanker. Penyakit itu sekarang tersebar umum dan juga terjadi limfodenopati (kelenjar getah belling yang berpenyakit) yang tersebar luas. Sifilis disebut pula "peniru besar" karena gejala-gejala yang timbul pada stadium ini mirip dengan yang ditimbulkan oleh penyakit lain seperti flu atau mononuleosis menular. Selain ruam gejala-gejala lainnya meliputi radang tenggorokan, kelenjar getah bening yang lembek, demam, lesu dan pusing. Kadang-kadang disertai rontoknya rambut sebagian-sebagian. Luka patogenik terjadi pada selaput lendir, mata, dan sistim syaraf pusat luka-luka ini penuh dengan treponema. Korban dapat menderita hanya satu atau dua dari seluruh gejala penyakit ini atau semua gejala. Stadium ini berlangsung beberapa minggu, dan gejala-gejalanya termasuk luka-luka patogenik, hilang tanpa pengobatan. Tetapi sementara itu treponema mungkin sudah mulai menyerang organ-organ lain dalam tubuh.
Seorang penderita dapat menularkan penyakit ke orang lain hanya bila menderita sifilis stadium primer dan sekunder, yang berlangsung sampai selama 2 tahun.
SIFILIS LATEN: Bila tidak diobati, sifilis sekunder berlanjut menjadi sifilis laten. Selama stadium ini penderita sama sekali tidak menunjukkan gejala yang jelas. Stadium ini dapat berlangsung berbulan-bulan, bertahun-tahun atau bahkan seumur hidup. Stadium laten hanya dapat diketahui dengan melakukan uji darah (serologis).

SIFILIS TERSIER ATAU LANJUT : Satdium ini timbul pada sekitar 30% dari orang-orang yang tidak diobati dan dapat terjadi 5 sampai 40 tahun sesudah infeksi mula-mula. Hasil kerja spiroketa secara diam-diam tetapi mematikan selama stadium laten itu menjadi jelas. Luka-luka patogenik tersier terjadi pada sistim safar pusat, sistim pembuluh darah jantung, kulit dan organ-organ vital lain seperti mata, otak, tulang, ginjal dan hati. Luka-luka ini yang disebut gumata lalu pecah dan menjadi borok .Penderita dapat terserang sakit jiwa, kebutaan atau penyakit jantung ; dan akhirnya dapat meninggal.

SIFILIS SYARAF
Selama stadium early, sepertiga dari penderita sifilis dapat terkena susunan syaraf pusatnya dan setengah dari golongan ini jika tidak mendapat pengobatan akan menderita laten neurosifilis, yang jaraknya dari stadium primer dapat mencapai waktu lebih dari 5 tahun. Penyakit ini terjadi tanpa gejala, sedangkan gejala klasik dapat timbul dalam bentuk dementia paralytica, tabes dorsalis dan sebagainya. Gejala penyakit yang timbul juga dapat menyerupai penyakit saraf lainnya.

SIFILIS KARDIOVASKULER
Setelah 10-40 tahun sejak terjadinya sifilis primer, penderita yang tidak mendapat pengobatan dapat,menunjukkan tanda-tanda terkena sistim kardiovaskuler. Terjadi kelainan sifilis pada aorta dan arteritis paru-paru. Reaksi peradangan yang terjadi dapat menyebabkan stenosis yang berakibat angina, insufisiensi miokardium yang dapat mengakibatkan kematian.



SIFILIS KONGENITA
Sifilis kongenita merupakan penyakit sifilis yang timbul pada bayi waktu lahir, beberapa waktu atau beberapa tahun sesudahnya. Wanita hamil yang sedang menderita sifilis, terutama stadium sekunder, dapat menularkannya pada bayi yang sedang dikandungnya secara transplasenta. Treponema pallidum yang terdapat dalam peredaran darah ibu masuk ke janin pada waktu kehamilan minggu ke 16. Pada saat itu lapisan gel Langhans telah menjadi atropik. Jika infeksinya terjadi secara masif,maka dapat mengakibatkan kematian janin, atau bayi lahir terus mati. Infeksi treponema juga dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan janin intra atau ekstrauteri. Jika wanita hamil baru terkena sifilis pada waktu 6 minggu terakhir kehamilannya, maka biasanya janin belum sempat terkena sifilis, karena kuman belum sempat tersebar di dalam peredaran darah ibu.

SIFILIS KONGENITA PRAEKOKS
Penyakit ini mulai menunjukkan gejala pada waktu bayi lahir atau setelah berumus 1-3 bulan. Terlihat bullae pada telapak tangan, condylomata lata, osteochondritis atau periostitis epiphysis tulang panjang yang dapat menyebabkan terjadinya pseudoparalisis dari Parrot, kelainan pada tulang tibia atau sabre bone, terjadi patah tulang spontan atau penonjolan tulang dahi. Selain itu dapat terjadi gejala penyumbatan hidung atau snuffle-nose, hepatosplenomegali, atropi dan distropi otot, sehingga berat badan statis tidak bertambah.

SIFILIS KONGENITA TARDA
Penyakit ini mulai menunjukkan gejala pada usia lebih dari satu tahun sampat usia 6- 7 tahun. Akan ditemukan trias Hutchinson, yaitu berupa tuli syaraf ke-8 atau tuli perseptif, defo~itas gigi seri atas tengah dan keratitisinterstitialis.



Syphilis d'emblee
Penyakit ini terjadi karena infeksi Treponema lewat tusukan jarum yang dalam, misalnya pada transfusi darah yang berasal dari penderita sifilis. Biasanya tidak dijumpai stadium primer melainkan langsung muncul gejala-gejala stadium sekunder.

Struktur Antigen
T.pallidum tidak dapat dibiakkan in-vitro yang jelas memiliki ciri khas terbatas dari antigennya. Hal ini menjadi tidak jelas jika selubung glikosaminoglikan berasal dari sel inang atau dibuat oleh treponema. Fungsi selubung untuk menghambat pemtumbuhan organisme berperantara antibodi atau berperantara komplemen. Terdapat asam sialat pada permukaan organisme yang berfungsi untuk menghambat aktivasi jalur komplemen altematif. T.pallidum subsp pallidum memiliki hialuronidase yang menguraikan asam hialuronat dalam substansi dasar jaringan dan diduga meningkatkan kemampuan invasif organisme. Bentuk protein T. pallidum (semuanya subspesies ) tidak dapat dibedakan ; lebih dari 100 protein antigen. Endoflagel terdiri dari 3 protein inti yang homolog terhadap protein flagelin bakteri lain, ditambah protein selubung yang tidak berhubungan. Terdapat banyak kelompok lipoprotein yang telah diketahui fungsinya, diduga semua ini tampak penting dalam respon imun. Kardiolipin adalah komponen renting dari antigen treponema.


Patogenitas
Sifilis berjangkit secara alamiah hanya pada manusia dan terutama ditularkan lewat hubungan kelamin atau dari ibu yang terinfeksi kepada janinnya (sifilis bawaan atau sebelum lahir) lewat ari-ari. Pada kasus yang tidak diobati 25% di antara janin meninggal meninggal sebelum lahir 25-30% meninggal segera setela dilahirkan yang lain menunjukkan gejala komplikasi lanjut (misalnya menjadi tuli).Sejumlah besar treponema dalarn darah dan jaringan musnah selama sifilis sekunder. Penisilin adalah adalah antibiotik yang dipilih untuk pengobatan sifilis.

Diagnosa  
Diagnosa sifilis biasanya dapat ditentukan dari gabungan informasi mengenai gejala, sejarah eksposi, dan uji darah yang positif atau dengan pemeriksaan mikroskop medan gelap.
Hasil positif pengamatan luka dengan mikroskop medan gelap (untuk sifat morfologis dan pergerakan spiroketa) adalah cara satu-satunya untuk membuat diagnosis sifilis primer yang pasti. Untuk sifilis sekunder juga, diagnosis yang pasti bergantung kepada pemeriksaan dengan mikroskop medan gelap terhadap eksudat dari luka basah pada kulit dan bukan pada mulut. (Rongga mulut mungkin banyak mengandung spiroketa yang bukan penyebab sifilis). Uji-uji serologis sifilis reaktif atau dapat diandalkan pada stadium kedua penyakit ini.

Epidimologi
Sejak 1962, kasus-kasus sifilis di Amerika Serikat yang dilaporkan bertambah setiap tahunnya sekurang-kurangnya 4,7%. Seperti gonorae, jumlah sifilis dini (kasus primer, sekunder dan laten dini) yang dilaporkan tidak merupakan indikasi insiden yang sebenamya, karena kebanyakan kasus tidak dilaporkan.

Pencegahan
Tidak ada vaksin terhadap sifilis. Untuk perseorangan penggunaan kondom sangat efektif. Untuk masyarakat, cara utama pencegahan sifilis ialah melalui pengendalian yang meliputi pemeriksaan serologis dan pengobatan penderita. Sifilis bawaan dapat dicegah dengan perawatan prenatal (sebelum kelahiran) yang semestinya.


II.1.3  Leptospira interoogans
Klasifikasi
Kingdom         : Monera

Phylum            : Spirochaetes
Class                : Spirochaetes
Order               : Spirochaetales
Family             : Leptospiraceae
Genus              : Leptospira
Species            : Leptospira  interoogans

Karakteristik

Ciri-ciri bakteri Leptospira antara lain berbentuk spiral, dapat hidup di air tawar selama satu bulan, bersifat patogen dan saprofitik. Spesies Leptospira yang mampu menyebabkan penyakit (patogen) bagi manusia adalah Leptospira interrogans.
Leptospirosis disebabkan bakteri pathogen berbentuk spiral termasuk genus Leptospira, famili leptospiraceae dan ordo spirochaetales. Spiroseta berbentuk bergulung-gulung tipis, motil, obligat, dan berkembang pelan secara anaerob. Setiap spesies leptospira terbagi menjadi puluhan serogrup dan terbagi lagi menjadi puluhan, bahkan ratusan serovar. Saat ini, Leptospira interrogans yang bersifat patogen telah dikenal lebih dari 200 serovar. Jasad renik ini biasanya hidup di dalam ginjal host dan dikeluarkan melalui air kencing (urin) saat berkemih. Host tersebut antara lain tikus, babi, kambing, domba, kuda, anjing, kucing, kelelawar, tupai dan landak. Tikus sering menjadi host bagi berbagai serovar leptospira. Akan tetapi, Leptospirosis akan mati apabila masuk ke air laut, selokan, dan air kemih manusia.
Leptospira dapat menginfeksi sekurangnya 160 spesies mamalia diantaranya adalah tikus, babi, anjing, kucing, rakun, lembu, dan mamalia lainnya. Resevoar paling utama adalah binatang pengerat dan tikus adalah yang paling sering ditemukan di seluruh belahan dunia. Di Amerika yang paling utama adalah anjing, ternak, tikus, binatang buas dan kucing.

Penularan
Penularan penyakit ini bisa melalui tikus, babi, sapi, kambing, kuda, anjing, serangga, burung, landak, kelelawar dan tupai. Di Indonesia, penularan paling sering melalui binatang tikus. Air kencing tikus terbawa banjir kemudian masuk ke dalam tubuh manusia melalui: permukaan kulit yang terluka, selaput lender mata dan hidung. Bisa juga melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi setitik urine tikus yang terinfeksi leptospira, kemudian dimakan dan diminum manusia. Urine tikus yang mengandung bibit penyakit leptospirosis dapat mencemari air di kamar mandi atau makanan yang tidak disimpan pada tempat yang aman.
Sejauh ini tikus merupakan reservoir dan sekaligus penyebar utama
penyebab leptospirosis. Beberapa jenis hewan lain seperti sapi, kambing, domba, kuda, babi, anjing dapat terserang leptospirosis, tetapi potensi hewan-hewan ini menularkan leptospirosis ke manusia tidak sehebat tikus.
Leptospirosis tidak menular langsung dari pasien ke pasien. Masa inkubasi leptospirosis adalah dua hingga 26 hari. Sekali berada di aliran darah, bakteri ini bisa menyebar ke seluruh tubuh dan mengakibatkan gangguan khususnya hati dan ginjal. Saat kuman masuk ke ginjal akan melakukan migrasi ke interstitium, tubulus renal, dan tubular lumen menyebabkan nefritis interstitial dan nekrosis tubular. Ketika berlanjut menjadi gagal ginjal biasanya disebabkan karena kerusakan tubulus, hipovolemia karena dehidrasi dan peningkatan permeabilitas kapiler. Gangguan hati tampak nekrosis sentrilobular dengan proliferasi sel Kupffer, ikterus terjadi karena disfunsi hepatocellular. Leptospira juga dapat menginvasi otot skletal menyebabkan edema, vacuolisasi miofibril, dan nekrosis focal. Muscular Gangguan sirkulasi mikro muskular dan peningkatan permeabilitas kapiler dapat menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemi sirkulasi. Dalam kasus berat “disseminated vasculitic syndrome” akan menyebabkan kerusakan endotelium kapiler. Gangguan paru adalah meknisme sekunder kerusakan pada alveolar and vaskular interstitial yang mengakibatkan hemoptu. Leptospira juga dapat menginvasi humor akuos mata yang dapat menetap dalam beberapa bulan, seringkali mengakibatkan uveitus kronis dan berulang. Meskipun kemungkinan dapat terjadi komplikasi yang berat tettapi lebih sering terjadi self limiting disease dan tidak fatal. Sejauh ini, respon imun siostemik dapat mengeliminasi kuman dari tubuh, tetapi dapat memicu reaksi gejala inflamasi yang dapat mengakibatkan “secondary end-organ injury”.

Gejala
     Infeksi leptospirosis mempunyai manifestasi yang sangat bervariasi dan kadang asimtomatis (tanpa gejala), sehingga sering terjadi misdiagnosis. Hampir 15-40% penderita yang terpapar infeksi tidak mengalami gejala tetapi menunjukkan. serologi positif.
Pada leptospirosis umumnya terdapat riwayat terpapar hewan terinfeksi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Masa inkubasi berlangsung selama 7-12 hari, disusul fase leptospiremia selama 4-7 hari. Pada fase ini dijumpai gejala mirip flu (Flu Like Syndrome) berupa demam, menggigil, sakit kepala hebat, mual, muntah, nyeri otot (terutama betis, pinggang, atau punggung belakang). Kadang-kadang nyeri tenggorokan dan terdapat gejala paru berupa batuk, nyeri dada, maupun hemoptisis (batuk darah). Kemudian setelah fase ini, pasien masuk kedalam fase bebas / asimptomatik (gejala hilang) selama 2 hari. Lalu kemudian gejala akan muncul kembali, dan penderita masuk ke dalam fase imun, dimana telah timbul antibody, dan leptospira tidak ada di darah tetapi ada di ginjal, urine, dan aqueous humor. Fase ini biasanya berlangsung selama 4-30 hari, dimana gejalanya mirip fase awal, namun biasanya demam tidak setinggi fase awal, juga nyeri otot tak seberat fase pertama. Pada fase ini dapat dijumpai meningitis, uveitis, gangguan fungsi hati dan ginjal, serta kelainan di paru-paru.
Terdapat varian leptospirosis yang lebih berat, yang biasanya disebut Weil Syndrome. Gejalanya adalah leptospirosis ditambah ikterus (mata kuning), perdarahan, gangguan jantung, paru, dan neurologik, serta mempunyai angka mortalitas yang tinggi. Penyebabnya adalah infeksi leptospira serovarian icterohemoragika / copenhagoni. Pada permulaan, penyakit berjalan seperti biasa, namun setelah 4-9 hari timbul ikterus, disfungsi hati dan ginjal, ikterus berwarna kemerahan (rubinic jaundice) dan memberi warna oranye pada kulit, kencing warna gelap, hepatomegali (pembesaran hati), peningkatan bilirubin dan alkali fosfatase, serta peningkatan ringan SGOT dan SGPT. Gangguan fungsi ginjal biasanya berlangsung pada minggu kedua, yang timbul sebagian akibat hipovolemia, dan penurunan perfusi ginjal yang kadang-kadang sampai memerlukan dialisis (cuci darah). Namun bila penyebab sudah teratasi, fungsi ginjal dapat pulih kembali.

Diagnosis
Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk konfirmasi diagnosis dan mengetahui sejauh mana gangguan organ tubuh dan komplikasi yang terjadi.



1. Isolasi (pengambilan) kuman leptospira dari jaringan lunak atau cairan   tubuh 
penderita adalah standar kriteria baku. Urin adalah cairan tubuh yang palih baik untuk diperiksa karena kuman leptospira terdapat dalam urin sejak gejala awal penyakit dan akan menetap hingga minggu ke-3. Cairan tubuh lainnya yang mengandung leptospira adalah darah, cerebrospinal fluid (CSF) tetapi rentang peluang untuk ditemukan isolasi kuman sangat pendek

2. Jaringan hati, otot, kulit dan mata adalah sumber identifikasi penemuan           kuman leptospira. Isolasi leptospira cenderung lebih sulit dan membutuhkan waktu diantaranya dalam hal referensi laboratorium dan membutuhkan waktu beberapa bulan untuk melengkapi identifikasi tersebut.


3. Spesimen serum akut dan serum konvalesen dapat digunakan untuk konfirmasi diagnosis. Tetapi, konfirmasi diagnosis ini lambat karena serum akut diambil saat 1-2 minggu setelah gejala awal timbul dan serum konvalesen diambil 2 minggu setelah itu. Antibodi antileptospira diperiksa menggunakan microscopic agglutination test(MAT).
    
4. Metoda laboratorium cepat dapat merupakan diagnosis yang cukup baik. Titer MAT tunggal sebesar 1:800 pada sera atau identifikasi spiroseta pada mikroskopi lapang gelap bila dikaitkan dengan manifestasi klinis yang khas akan cukup bermakna.

Pengobatan

Pengobatan awal memegang peranan penting; penggunaan pencilin dan streptomisin dianjurkan. Pengobatan tidak berguna bila terjadi kerusakan pada ginjal. Streptomisin pada dosis yang tinggi dapat mencegah “carrier”.

Pencegahan
            Bila leptospirosis merupakan wabah maka pencegahan utama yang dilakukan adalah pengendalian tikus dan pencemaran air. Leptospira dapat bertahan dalam air yang bersifat basa selama beberapa hari, namun hanya dapat bertahan dalam sampah selama 12 jam; mikroorganisme ini sangat peka terhadap kering dan panas.
            Pencegahan juga dapat dilakukan dengan cara vaksinasi. Perlindungan yang ditimbulkan kira-kira satu tahun.







II.1.4  Gardnerella vaginalis
Klasifikasi

Kingdom          : Bacteria
Phylum            : Actinobacteria
Order               : Bifidobacteriales
Family             : Bifidobacteriaceae
Genus              : Gardnerella
Species            : Gardnerella vaginalis
    
Karakteristik
Organisme ini mula-mula dikenal sebagai H. vaginalis kemudian diubah menjadi genus Gardnerella atas dasar penyelidikan mengenai fenetopik dan asam dioksi-ribonukleat. Tidak mempunyai kapsul, tidak bergerak dan berbentuk batang gram negatif atau variabel gram. Bewarna abu-abu dan tipis. Tes katalase, oksidase, reduksi nitrat, indole, dan urease semuanya negatif
Kuman ini bersifat fakultatif, dengan produksi akhir utama pada fermentasi berupa asam asetat, banyak galur yang juga menghasilkan asam laktat dan asam format. Ditemukan juga galur anaerob obligat. Dan untuk pertumbuhannya dibutuhkan tiamin, riboflavin, niasin, asam folat, biotin, purin, dan pirimidin.(7)
Berbagai literatura dalam 30 tahun terakhir membuktikan bahwa G. vaginalis berhubungan dengan bacterial vaginalis.        



Penularan
             Penyakit bakterial vaginosis lebih sering ditemukan pada wanita yang memeriksakan kesehatannya daripada vaginitis jenis lainnya. Frekuensi bergantung pada tingkatan sosial ekonomi penduduk pernah disebutkan bahwa 50 % wanita aktif seksual terkena infeksi G. vaginalis.
Gardnerella vaginalis dapat diisolasi dari 15 % anak wanita prapubertas yang masih perawan, sehingga organisme ini tidak mutlak ditularkan lewat kontak seksual. Meskipun kasus bakterial vaginosis dilaporkan lebih tinggi pada klinik PMS, tetapi peranan penularan secara seksual tidak jelas .Bakterial vaginosis yang rekuren dapat meningkat pada wanita yang mulai aktivitas seksualnya sejak umur muda, lebih sering juga terjadi pada wanita berkulit hitam yang menggunakan kontrasepsi dan merokok. Bakterial vaginosis yang rekuren prevalensinya juga tinggi pada pasangan-pasangan lesbi, yang mungkin berkembang karena wanita tersebut berganti-ganti pasangan seksualnya ataupun yang sering melakukan penyemprotan pada vagina.
Hampir 90 % laki-laki yang mitra seksual wanitanya terinfeksi Gardnerella vaginosis, mengandung G.vaginalis dengan biotipe yang sama dalam uretra, tetapi tidak menyebabkan uretritis.

                
Infeksi
Wanita dengan bakterial vaginosis dapat tanpa gejala. Gejala yang paling sering pada bakterial vaginosis adalah adanya cairan vagina yang abnormal (terutama setelah melakukan hubungan seksual) dengan adanya bau vagina yang khas yaitu bau amis/bau ikan (fishy odor). Bau tersebut disebabkan oleh adanya amin yang menguap bila cairan vagina menjadi basa. Cairan seminal yang basa (pH 7,2) menimbulkan terlepasnya amin dari perlekatannya pada protein dan amin yang menguap menimbulkan bau yang khas. Walaupun beberapa wanita mempunyai gejala yang khas, namun pada sebagian besar wanita dapat asimptomatik. Iritasi daerah vagina atau sekitar vagina (gatal, rasa terbakar), kalau ditemukan lebih ringan daripada yang disebabkan oleh Trichomonas vaginalis atau C.albicans. Sepertiga penderita mengeluh gatal dan rasa terbakar, dan seperlima timbul kemerahan dan edema pada vulva. Nyeri abdomen, dispareuria, atau nyeri waktu kencing jarang terjadi, dan kalau ada karena penyakit lain. Pada pemeriksaan biasanya menunjukkan sekret vagina yang tipis dan sering berwarna putih atau abu-abu, viskositas rendah atau normal, homogen, dan jarang berbusa. Sekret tersebut melekat pada dinding vagina dan terlihat sebagai lapisan tipis atau kelainan yang difus. Gejala peradangan umum tidak ada. Sebaliknya sekret vagina normal, lebih tebal dan terdiri atas kumpulan sel epitel vagina yang memberikan gambaran yang bergerombol.
Pada penderita dengan bakterial vaginosis tidak ditemukan inflamasi pada vagina dan vulva. Bakterial vaginosis dapat timbul bersama infeksi traktus genital bawah seperti trikomoniasis dan servisitis sehingga menimbulkan gejala genital yang tidak spesifik.

Pengobatan
Gardnerella vaginalis yang asimptomatik tidak memerlukan pengobatan. Se­men­tara VB meskipun dapat sembuh sen­diri, sudah menjadi kesepakatan un­tuk harus diobati, apalagi umumnya penderita mengeluhkan bau yang kurang se­dap. Karena VB dilaporkan banyak terjadi pada ibu hamil dan jika tidak ditataksana dapat menyebabkan partus preterm atau endometritiis pascapartus, maka regimen untuk VB pun diupayakan yang aman untuk ibu hamil.
Secara umum antibiotik merupakan pilihan pertama terapi VB, Metronidazole, Clindamycin, Tetrasiklin, serta krim sulfonamida. Sebagai terapi utama digunakan Metronidazole dengan dosis 2 x 400 mg atau 300 mg setiap hari selama 7 hari atau 5 g inttravaginal selama 7 hari. Metronidazole bersifat bakterisida terhadap bakteri anaerob. Metronidazole topikal (Flagyl) akan mematikan jaringan sehat di sekitarnya karena terbentuk radikal bebas dan bereaksi dengan komponen DNA interaseluler sehingga me­ma­tikan sel-sel di sekitarnya.
Clindamycin dan tetrasiklin sudah ti­dak banyak dipakai karena tidak terlalu efektif. Begitu juga krim sulfonamida tripel yang bersifat acid cream base se­hingga akan menurunkan pH jika dipakai setiap hari selama 7 hari. Pemberian an­tibiotik untuk VB tidak hanya ditujukan un­tuk eradikasi atau menurunkan jumlah G. Vaginalis dan kuman anaerob vaginal, te­ta­pi juga memiliki aktivitas minimal terha­dap flora vaginal. Pemakaian AKDR akan menimbulkan rekurensi VB. Pem­be­rian metronidazole 2 gram oral dosis tung­gal tiap bulan pada hari ke-3 siklus mens­truasi dianjurkan untuk profilaksis ter­ja­di­nya rekurensi. Besarnya jumlah rekurensi setelah pengobatan merupa­kan pertimbangan memilih obat untuk VB.
Selain pemakaian AKDR, faktor predis­posisi yang dapat menyebabkan VB ialah pemberian antibiotik, penurunan estrogen, pencucian vagina (vaginal douching), serta berhubungan seksual dengan pa­sangan yang terinfeksi Gardnerella vaginalis. Selain itu VB juga dapat menyebabkan beberapa komplikasi, di antara­nya salpingitis, endometritis, selulitis va­gi­na, reaksi simpang kehamilan, termasuk kehamilan prematur, korioamnionitis, dan endometritis pascapartum. Namun yang demikian relatif jarang terjadi, se­hingga prognosis VB jika tanpa kompli­kasi termasuk baik. Sementara prognosis jika terdapat komplikasi sangat tergantung pada komplikasi yang terjadi

Pencegahan
Untuk mencegah penyakit vaginalis yang dibawa oleh  Gardnerella vaginalis ini hendaknya kita tidak berganti pasangan walaupun sampai sekarang penularan  Gardnerella vaginalis melalui kegiatan seksual belum jelas kepastiannya. Kegiatan-kegitan yang mengurangi imun kita juag sebaiknya dihindari seperti merokok karena bagaimanapun juga hal yang pertama melawan bakteri yang masuk ke dalam tubuh adalah sistem imun











II.2  Bakteri Patogen Sistem Saraf
II.2.1   Neisseria meningitides

Klasifikasi ilmiah
Kingdom              : Bacteria
Filum                    : Proteobacteria
Class                     : Beta Proteobacteria
Ordo                     : Neisseriales
Famili                   : Neisseriaceae
Genus                   : Neisseria
Spesies                 : Neisseria meningitides




Karakteristik
Penyakit Meningokokus adalah satu penyakit berjangkit. Neisseria menigitides (meningokokus) merupakan bakteri kokus gram negatif yang secara alami hidup di dalam tubuh manusia. Meningokokus bisa menyebabkan infeksi pada selaput yang menyelimuti otak dan sumsum tulang belakang (meningitis), infeksi darah, dan infeksi berat lainnya pada dewasa dan anak-anak.

Patogenesis
Manusia adalah satu-satunya inang dimana meningococci menjadi patogen. Hidung dan tenggorokan merupakan pintu masuk bagi penyakit yang disebabkan oleh meningococci.
Pada organ tersebut, organisme menempel pada sel epitel dengan bantuan pilinya; mereka membentuk flora transient (yang berumur pendek) tanpa menampakkan gejala. Dari hidung dan tenggorokan (nasopharynx), organisme menuju aliran darah menimbulkan bakteremia; gejala yang timbul mungkin mirip dengan infeksi pada saluran pernafasan atas. Fulminant meningococcemia lebih parah lagi dengan demam yang tinggi dan ruam-ruam yang bisa menjadi koagulasi diseminasi intravaskular dan kolaps pada aliran darah (sindrom Waterhouse-Friderichsen). Meningitis adalah suatu komplikasi yang paling banyak ditemui pada meningococcemia. Muncul gejala mendadak dengan sakit kepala yang terus-menerus, muntah, dan leher kaku dan hal ini dapat berkembang ke arah koma hanya dalam waktu beberapa jam.
Selama proses meningococcemia, terdapat thrombosis pada pembuluh darah kecil di berbagai organ, dengan infiltrasi perivaskuler dan petechial hemorrhages. Mungkin terjadi myocarditis interstisial, arthritis dan lesi pada kulit. Pada meningitis, selaput otak akan terinflamasi akut dengan thrombosis pada pembuluh darah dan eksudasi pada leukosit polimorfonukleat, sehingga permukaan otak akan tertutupi oleh eksudat nanah yang kental.
Tidak diketahui apa yang mengubah sebuah infeksi yang tanpa gejala pada hidung dan tenggorokan menjadi meningococcemia dan meningitis, namun hal ini dapat dicegah dengan antibodi serum bakterisidal spesifik yang dapat melawan senotipe yang menginfeksi. Neisseria bakterimia menyukai kondisi yang tidak ada antibodi bakterisidalnya (IgM dan IgG), terhambatnya kinerja serum bakterisidal oleh blokade antibodi IgA atau kekurangan komponen-komponen komplemen (C5, C6, C7 atau C8). Meningococci siap berfagositosis dalam keadaan opsonin spesifik.
Infeksi berlaku secara epidemik terutama di kalangan anak-anak yang berumur 5 tahun ke bawah. Yang paling rentan ialah bayi berumur 6 - 24 bulan. Persentase kematian pada anak-anak mencapai 80% jika tidak dirawat. Dengan perawatan persentase ini dapat berkurang 10% dalam populasi. Persentase komplikasi neurologi rendah jika dibandingkan dengan meningitis yang disebabkan oleh organisme lain.

Kekebalan
Kekebalan terhadap infeksi yang disebabkan oleh meningococci berkaitan dengan keberadaan antibodi bakterisidal yang spesifik, komplemen-dependent dalam serum.
Antibodi-antibodi ini berkembang setelah infeksi subklinis dengan strain yang berbeda atau injeksi antigen grup spesifik, tipe spesifik, atau kedua-duanya. Antigen kekebalan untuk kelompok A, C, Y, dan W-135 adalah polisakarida kapsuler. Pada kelompok B, antigen spesifik yang cocok digunakan sebagai vaksin, belum terdefinisikan; namun vaksin dari kelompok B dengan campuran antigen telah digunakan di banyak bagian dunia. Vaksin yang berkonjugasi untuk beberapa kelompok sedang dalam perkembangan dan memberikan harapan besar. Balita mempunyai kekebalan pasif melalui antibodi IgG yang ditransfer dari ibunya. Anak-anak dibawah usia 2 tahun tidak mudah menghasilkan antibodi ketika diimunisasi dengan bakteri meningococci atau bakteri polisakarida lainnya.

Pengobatan
Penicillin G adalah obat yang dipilih untuk mengobati penyakit ini. Chlorampenicol atau cephalosporin generasi ketiga seperti cefotaxime atau ceftriaxone digunakan untuk orang yang alergi terhadap penicillin. Rifampin 600 mg 2 kali sehari selama 2 hari secara oral ( atau minocycline 100 mg setiap 12 jam ) dapat menghilangkan keberadaan carrier dan bekerja sebagai chemoprophylaxis.

Pencegahan
Kasus klinis dari meningitis hanya memperlihatkan sedikit sumber infeksi, dan isolasi hanya menjadi kegunaan yang terbatas. Lebih penting lagi adalah pengurangan kontak personal pada populasi yang memiliki tingkat carrier yang tinggi. Hal ini dapat dicapai dengan menghindari kepadatan populasi. Polisakarida spesifik dari kelompok A, C, Y, dan W-135 dapat menstimulasi respon antibodi dan melindungi orang yang rentan untuk melawan infeksi.


II.2.2  Listeria monocytogenes
Klasifikasi ilmiah

Kingdom  : Bacteria
Filum                    : Firmicutes
Class                     : Basilli
Ordo                     : Bacillales
Family                  : Listeriaceae
Genus                   : Listeria
Spesies                 : Listeria monocytogenes




Karakteristik
Bakteri ini merupakan bakteri Gram-positif, dan motil/bergerak dengan menggunakan flagella. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa 1-10% manusia mungkin memiliki L. monocytogenes di dalam ususnya. Bakteri ini telah ditemukan pada setidaknya 37 spesies mamalia, baik hewan piaraan maupun hewan liar, serta pada setidaknya 17 spesies burung, dan mungkin pada beberapa spesies ikan dan kerang. Bakteri ini dapat diisolasi dari tanah, silage (pakan ternak yang dibuat dari daun-daunan hijau yang diawetkan dengan fermentasi), dan sumber-sumber alami lainnya. Sebagai bakteri yang tidak membentuk spora, L. monocytogenes sangat kuat dan tahan terhadap efek mematikan dari pembekuan, pengeringan, dan pemanasan. Sebagian besar L. monocytogenes bersifat patogen pada tingkat tertentu.

Gejala Penyakit
Listeriosis merupakan nama penyakit yang disebabkan oleh L. monocytogenes. Secara klinis, suatu penyakit disebut listeriosis apabila L. monocytogenes diisolasi dari darah, cairan cerebrospinal (cairan otak dan sumsum tulang belakang), atau dari tempat lain yang seharusnya steril (misalnya plasenta, janin).Gejala listeriosis termasuk septicemia (infeksi pada aliran darah), meningitis (radang selaput otak) atau meningoencephalitis (radang pada otak dan selaputnya), encephalitis (radang otak), dan infeksi pada kandungan atau pada leher rahim pada wanita hamil, yang dapat berakibat keguguran spontan (trimester kedua/ketiga) atau bayi lahir dalam keadaan meninggal. Kondisi di atas biasanya diawali dengan gejala-gejala seperti influenza, antara lain demam berkepanjangan. Dilaporkan bahwa gejala-gejala pada saluran pencernaan seperti mual, muntah, dan diare dapat merupakan bentuk awal dari listeriosis yang lebih parah, namun mungkin juga hanya gejala itu yang terjadi. Secara epidemiologi, gejala pada saluran pencernaan berkaitan dengan penggunaan antasida atau cimetidine (antasida dan cimetidine merupakan obat-obatan yang berfungsi menetralkan atau mengurangi produksi asam lambung). Waktu mulai timbulnya gejala listeriosis yang lebih parah tidak diketahui, tetapi mungkin berkisar dari beberapa hari sampai tiga minggu. Awal munculnya gejala pada saluran pencernaan tidak diketahui, tetapi mungkin lebih dari 12 hari.
Dosis infektif L. monocytogenes tidak diketahui, tetapi diyakini bervariasi menurut strain dan kerentanan korban. Dari kasus yang disebabkan oleh susu mentah atau susu yang proses pasteurisasinya kurang benar, diduga kurang dari 1000 organisme dapat menyebabkan penyakit pada orang-orang yang rentan. L. monocytogenes dapat menyerang epithelium (permukaan dinding) saluran pencernaan. Sekali bakteri ini memasuki sel darah putih (tipe monocyte , macrophage , atau polymorphonuclear ) dalam tubuh korbannya, bakteri ini masuk ke aliran darah (septicemia) dan dapat berkembang biak. Keberadaannya di dalam sel fagosit memungkinkannya memasuki otak, dan pada wanita hamil, mungkin masuk ke janin melalui plasenta. Sifat patogenik L. monocytogenes berpusat pada kemampuannya untuk bertahan.


Makanan Terkait
L. monocytogenes dikaitkan dengan makanan seperti susu mentah, susu yang proses pasteurisasinya kurang benar, keju (terutama jenis keju yang dimatangkan secara lunak), es krim, sayuran mentah, sosis dari daging mentah yang difermentasi, daging unggas mentah dan yang sudah dimasak, semua jenis daging mentah, dan ikan mentah atau ikan asap. Kemampuannya untuk tumbuh pada temperatur rendah hingga 3°C memungkinkan bakteri ini berkembang biak dalam makanan yang disimpan di lemari pendingin.

Pencegahan
            Pencegahan secara total mungkin tidak dapat dilakukan, namun makanan yang dimasak, dipanaskan dan disimpan dengan benar umumnya aman dikonsumsi karena bakteri ini terbunuh pada temperatur 75°C. Resiko paling besar adalah kontaminasi silang, yakni apabila makanan yang sudah dimasak bersentuhan dengan bahan mentah atau peralatan (misalnya alas pemotong) yang terkontaminasi.


Populasi Rentan
 Populasi yang rentan pada listeriosis yaitu:
• wanita hamil/janin – infeksi perinatal (sesaat sebelum dan sesudah kelahiran) dan

Neonatal (segera setelah kelahiran)
• orang yang sistem kekebalannya lemah karena perawatan dengan corticosteroid          

(salahsatu jenis hormon), obat-obat anti kanker, graft suppression therapy      (perawatan setelah pencangkokan bagian tubuh, dengan obat-obat yang menekan sistem kekebalan tubuh), AIDS;
• pasien kanker – terutama pasien leukemia;
• lebih jarang dilaporkan – pada pasien penderita diabetes, pengecilan hati ( cirrhotic),

  asma, dan radang kronis pada usus besar ( ulcerative colitis );
• orang-orang tua;
• orang normal—beberapa laporan menunjukkan bahwa orang normal yang sehat      


dapat  menjadi rentan, walaupun penggunaan antasida atau cimetidine mungkin   berpengaruh.
 Kasus listeriosis yang pernah terjadi di Swiss, yang melibatkan keju, menunjukkan bahwa orang sehat dapat terserang penyakit ini, terutama bila makanan terkontaminasi organisme ini dalam jumlah besar.


II.2.3  Mycobacterium leprae

Klasifikasi Ilmiah
Kingdom              : Bacteria
Filum                    : Actinobacteria
Class                     : Actinomycetales
Ordo                     : Corynebacterineae
Family                  : Mycobacteriaceae
Genus                   : Mycobacterium
Spesies                 : Mycobacterium leprae
Mycobacterium leprae, juga disebut Basillus Hansen, adalah bakteri yang menyebabkan penyakit kusta (penyakit Hansen) yaitu infeksi menahun yang terutama ditandai oleh adanya kerusakan saraf perifer (saraf diluar otak dan medulla spinalis), kulit, selaput lendir hidung, buah zakar (testis) dan mata. Bakteri ini merupakan bakteri intraselular. M. leprae merupakan gram-positif berbentuk tongkat (basil). Mycobacterium leprae mirip dengan Mycobacterium tuberculosis dalam besar dan bentuknya.
Cara Penularan
            Cara penularan lepra belum diketahui secara pasti. Jika seorang penderita lepra berat dan tidak diobati bersih, maka bakteri akan menyebar ke udara. Sekitar 50% penderita mungkin tertular karena erhubungan dekat dengan seorang yang terinfeksi. Infeksi juga mungkin ditularkan melalui tanah, armadillo, kutu busuk dan nyamuk. 
             Sekitar 95% orang yang terpapar oleh bakteri lepra tidak menderita lepra karena sistem kekebalannya berhasil melawan infeksi. Penyakit yang terjadi bisa ringan (lepra tuberkuloid) atau berat (lepra lepromatosa). Penderita lepra ringan tidak dapat menularkan penyakitnya kepada orang lain. Lebih dari 5 juta penduduk dunia yang terinfeksi leh kuman ini. Lepra paling banyak terdapat di Asia, Afrika, Amerika Latin dan kepulauan Samudra Pasifik. Infeksi dapat terjadi pada semua umur, paling sering mulai dari usia 20-an dan 30-an. Bentuk lepromatosa 2 kali lebih sering ditemukan pada pria.

Gejala
            Bakteri penyebab lepra berkembang biak sangat lambat, sehingga gejalanya baru muncul minimal 1 tahun setelah terinfeksi (rata-rata muncul pada tahun ke-5-7). 
Gejala dan tanda yang muncul tergantung kepada respon kekebalan penderita. 
           Jenis lepra menentukan prognosis jangka panjang, komplikasi yang mungkin terjadi dan kebutuhan akan antibiotik.

.● Lepra tuberkuloid
ditandai dengan ruam kulit berupa 1 atau beberapa daerah     putih yang datar.    Daerah tersebut bebal terhadap sentuhan karena mikobakteri telah merusak
saraf-sarafnya.
Lepra lepromatosa
ditandai dengan munculnya benjolan kecil atau ruam menonjol yang lebih besar dengan berbagai ukuran dan bentuk. Terjadi kerontokan rambut tubuh,   termasuk alis dan bulu mata
Lepra perbatasan
merupakan suatu keadaan yang tidak stabil, yang memiliki gambaran   kedua bentuk lepra Jika keadaannya membaik, maka akan menyerupai lepra Tuberkuloid,  jika kaeadaannya memburuk, maka akan menyerupai lepra lepromatosa.                  .             Selama perjalanan penyakitnya, baik diobati maupun tidak diobati, bisa terjadi reaksi kekebalan tertentu, yang kadang timbul sebagai demam dan peradangan kulit, saraf tepi dan kelenjar getah bening, sendi, buah zakar, ginjal, hati dan mata. Pengobatan yang diberikan tergantung kepada jenis dan beratnya reaksi, bisa diberikan kostikosteroid atau talidomid. 
    
            Mycobacterium leprae adalah satu-satunya bakteri yang menginfeksi saraf tepi dan hampir semua komplikasinya merupakan akibat langsung dari masuknya bakteri ke dalam saraf tepi. Bakteri ini tidak menyerang otak dan medulla spinalis. 
            Kemampuan untuk merasakan sentuhan, nyeri, panas dan dingin menurun, sehingga penderita yang mengalami kerusakan saraf tepi tidak menyadari adanya luka bakar, luka sayat atau mereka melukai dirinya sendiri. Kerusakan saraf tepi juga menyebabkan kelemahan otot yang menyebabkan jari-jari tangan seperti sedang mencakar dan kaki terkulai. Karena itu penderita lepra menjadi tampak mengerikan. 
            Penderita juga memiliki luka di telapak kakinya. Kerusakan pada saluran udara di hidung bisa menyebabkan hidung tersumbat. Kerusakan mata dapat menyebabkan kebutaan.

Penderita lepra lepromatosa dapat menjadi impoten dan mandul, karena infeksi ini dapat menurunkan kadar testosteron dan jumlah sperma yang dihasilkan oleh testis.

Diagnosa
         Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya. Untuk memperkuat diagnosis bisa dilakukan pemeriksaan mikroskopik terhadap contoh jaringan kulit yang terinfeksi


Pengobatan
           Antibiotik dapat menahan perkembangan penyakit atau bahkan menyembuhkannya. Beberapa mikobakterium mungkin resisten terhadap obat tertentu, karena itu sebaiknya diberikan lebih dari 1 macam obat, terutama pada penderita lepra lepromatosa.

Antibiotik yang paling banyak digunakan untuk mengobati lepra adalah dapson, relatif tidak mahal dan biasanya aman. Kadang obat ini menyebabkan reaksi alergi berupa ruam kulit dan anemia.
    Rifampicin adalah obat yang lebih mahal dan lebih kuat daripada dapson. Efek samping yang paling serius adalah kerusakan hati dan gejala-gejala yang menyerupai flu. 
Antibiotik lainnya yang bisa diberikan adalah klofazimin, etionamid, misiklin, klaritromisin dan ofloksasin.

Terapi antibiotik harus dilanjutkan selama beberapa waktu karena bakteri penyebab lepra sulit dilenyapkan. Pengobatan bisa dilanjutkan sampai 6 bulan atau lebih, tergantung kepada beratnya infeksi dan penilaian dokter. Banyak penderita lepra lepromatosa yang mengkonsumsi dapson seumur hidupnya.
Pencegahan
            Dulu perubahan bentuk anggota tubuh akibat lepra menyebabkan penderitanya diasingkan dan diisolasi. Pengobatan dini bisa mencegah atau memperbaiki kelainan bentuk, tetapi penderita cenderung mengalami masalah psikis dan sosial. Tidak perlu dilakukan isolasi. Lepra hanya menular jika terdapat dalam bentuk lepromatosa yang tidak diobati dan itupun tidak mudah ditularkan kepada orang lain. 
Selain itu, sebagian besar secara alami memiliki kekebalan terhadap lepra dan hanya orang yang tinggal serumah dalam jangka waktu yang lama yang memiliki resiko tertular. 
Dokter dan perawat yang mengobati penderita lepra tampaknya tidak memiliki resiko tertular.


II.2.4  Clostridium tetani
Klasifikasi Ilmiah

Kingdom:
Bacteria
Division:
Firmicutes
Class:
Clostridia
Order:
Clostridiales
Family:
Clostridiaceae
Genus:
Clostridium
Species:
Clostridium tetani


Karakteristik
Clostridium tetani adalah bakteri gram positif berbentuk batang, anaerobic berspora, motil, memproduksi eksotoksin, berukuran panjang 2-5 mikron dan lebar 0,4-0,5 mikron.  Spora dari Clostridium tetani resisten terhadap panas dan juga biasanya terhadap antiseptis. Sporanya juga dapat bertahan pada autoclave pada suhu 249.8°F (121°C) selama 10–15 menit. Juga resisten terhadap phenol dan agen kimia yang lainnya. Kuman ini terdapat di tanah terutama tanah yang tercemar tinja manusia dan binatang.
Costridium tetani menghasilkan 2 eksotosin yaitu tetanospamin dan tetanolisin. Penyakit tetanus disebabkan oleh tetanospamin. Perkiraan dosis mematikan minimal dari kadar toksin (tetanospamin) adalah 2,5 nanogram per kilogram berat badan atau 175 nanogram untuk 70 kilogram (154lb) manusia.
Clostridium tetani tidak menghasilkan lipase maupun lesitinase, tidak memecah protein dan tidak memfermentasi sakarosa dan glukosa juga tidak menghasilkan gas H2S. Menghasilkan gelatinase, dan indol positif.

Infeksi
Tetanus terutama ditemukan di daerah tropis dan merupakan penyakit infeksi yang penting baik dalam prevalensinya maupun angka kematiannya yang masih tinggi . Tetanus merupakan infeksi berbahaya yang biasa mendatangkan kematian. Infeksi ini muncul (masa inkubasi) 3 sampai 14 hari. Di dalam luka yang dalam dan sempit sehingga terjadi suasana anaerob. Toksin, tetanospasmin, diproduksi pada masa pertumbuhan sel,sporulasi dan lisis. Toksin ini akan mencapai sistem syaraf pusat melalui syaraf motorik menuju ke bagian anterior spinal cord.
Jenis-jenis luka yang sering menjadi tempat masuknya kuman Clostridium tetani sehingga harus mendapatkan perawatan khusus adalah:
a) Luka-luka tembus pada kulit atau yang menimbulkan kerusakan luas
b) Luka bakar tingkat 2 dan 3
c) Fistula kulit atau pada sinus-sinusnya
d) Luka-luka di bawah kuku
e) Ulkus kulit yang iskemik
f) Luka bekas suntikan narkoba
g) Bekas irisan umbilicus pada bayi
h) Endometritis sesudah abortus septic
i) Abses gigi j) Mastoiditis kronis
k) Ruptur apendiks
l) Abses dan luka yang mengandung bakteri dari tinja

Gejala
Masa inkubasi tetanus umumnya antara 3-12 hari, kadang masa inkubasi singkat selama 1-2 hari atau panjang lebih dari satu bulan.  Makin pendek masa inkubasi, makin buruk prognosisnya. Terdapat hubungan antara jarak tempat masuk kuman Clostridium tetani dengan susunan saraf pusat, dan interval antara terjadinya luka dengan permulaan penyakit.  Makin jauh tempat invasi, masa inkubasi makin panjang.
Saat gejala muncul kesadaran tetap ada dan rasa sakit sangat hebat.  kematian biasanya karena gangguan alat-alat pernafasan.  Angka kematian pada tetanus yang menyeluruh biasanya kurang lebih 50%.
            Opistotonus 


Secara klinis tetanus dibedakan menjadi :
1. Tetanus Lokal
Ditandai dengan rasa nyeri dan spasmus otot di bagian proksimal luka karena     hanya sedikit toksin yang masuk.  Memiliki tingkat mortilitas yang rendah.
2. Tetanus Umum
Pada awalnya terjadi kekakuan otot kepala dan otot leher, kemudian menyebar    secara kaudal ke seluruh tubuh. Trismus yang menetap menyebabkan ekspresi wajah yang karakteristik berupa risus sardonicus. Terjadi opistotonos karena spasme otot pungggung. Selama periode ini penderita berada dalarn kesadaran penuh
3. Tetanus
     Biasanya terjadi disfungsi saraf cranial local dengan trauma kepala atau infeksi    telinga tengah.  Memilliki tingkat mortilitas yang tinggi.

Diagnosis
Diagnosis tetanus ditegakan berdasarkan gejala-gejala klinik yang khas. Secara bakteriologi biasanya tidak diharuskan oleh karena sukar sekali mengisolasi Clostridium tetani dari luka penderita , yang kerap kali sangat kecil dan sulit dikenal kembali oleh penderita sekalipun.
Diagnosis tetanus dapat diketahui dari pemeriksaan fisik pasien sewaktu istirahat, berupa :
1.Gejala klinik
- Kejang tetanic, trismus, dysphagia, risus sardonicus ( sardonic smile ).
2. Adanya luka yang mendahuluinya. Luka adakalanya sudah dilupakan.
3. Kultur: C. tetani (+).
4. Lab : SGOT, CPK meninggi serta dijumpai myoglobinuria.

Pengobatan
1. Antibiotika :
Diberikan parenteral Peniciline 1,2juta unit / hari selama 10 hari, IM. Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit / KgBB/ 12 jam secafa IM diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30-40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam dosis terbagi ( 4 dosis ). Bila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan dengan dosis 200.000 unit /kgBB/ 24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari.
     Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani, bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika broad spektrum dapat dilakukan.
2. Antitoksin
    Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin ( TIG) dengan dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh diberikan secara intravena karena TIG mengandung "anti complementary aggregates of globulin ", yang mana ini dapat mencetuskan reaksi allergi yang serius. Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan tetanus antitoksin, yang berawal dari hewan, dengan dosis 40.000 U, dengan cara pemberiannya adalah : 20.000 U dari antitoksin dimasukkan kedalam 200 cc cairan NaC1 fisiologis dan diberikan secara intravena, pemberian harus sudah diselesaikan dalam waktu 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan secara IM pada daerah pada sebelah luar.
3.Tetanus Toksoid
    Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama,dilakukan bersamaan dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan secara I.M. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai
4. Antikonvulsan
Penyebab utama kematian pada tetanus neonatorum adalah kejang klonik
yang hebat, muscular dan laryngeal spasm beserta komplikaisnya. Dengan penggunaan obat – obatan sedasi/muscle relaxans, diharapkan kejang dapat diatasi. Contohnya :
- Diazepam 0,5 – 1,0 mg/kg Berat badan / 4 jam (IM)
- Meprobamat 300 – 400 mg/ 4 jam (IM)
- Klorpromasin 25 – 75 mg/ 4 jam (IM)
- Fenobarbital 50 – 100 mg/ 4 jam (IM)

Pencegahan
Pencegahan merupakan tindakan paling penting, yang dapat dilakukan dengan cara :
1. imunisasi aktif dengan toksoid
2. perawatan luka menurut cara yang tepat
3. penggunaan antitoksi profilaksis

Namun sampai pada saat ini pemberian imunisasi dengan tetanus toksoid merupakan satu-satunya cara dalam pencegahan terjadinya tetanus. Pencegahan denganpemberian imunisasi telah dapat dimulai sejak anak berusia 2 bulan, dengan cara pemberian imunisasi aktif (DPT atau DT).

II.2.5 Clostridium botulinum




Klasifikasi Ilmiah

Kingdom:
Bacteria
Division:
Firmicutes
Class:
Clostridia
Order:
Clostridiales
Family:
Clostridiaceae
Genus:
Clostridium
      Species:
Clostridium botulinum









Karakteristik Umum
Clostridium botulinum adalah bakteri gram positif berbentuk batang, terdapat tunggal, berpasangan, atau dalam rantai, anaerobic, tak berspora, tak berkapsul, motil, peritikus, memproduksi eksotoksin yang menyebabkan botulisme,
Terdapat secara luas di alam, kadang ada dalam feses binatang.  Terdapat enam tipe berdasarkan toksin, yaitu A, B, C, D, E, F.  Pada manusia didapatkan tipe A, B, dan E.  Eksotoksin yang dikeluarkan adalah protein dengan BM 70.000 yang termolabil (1000C-20 menit menjadi inaktif).  Dosis letal untuk manusia = 1 ɱg.  Kerja toksin adalah memblokir pembentukan atau pelepasan asetilkolin pada hubungan saraf otot sehingga terjadi kelumpuhan otot. 

Cara Penularan
C. botulinum biasanya menyebabkan keracunan makanan oleh toksin yang termakan bersama dengan makanan.  Pada beberapa kasus bakteri tumbuh dan menghasilkan toksin pada jaringan yang mati, kemudian menyebabkan kontaminasi luka.  Makanan yang sering tercemar dengan Clostridium adalah makanan yang berbumbu, makanan yang diasap, makanan kalengan yang dimakan tanpa dimasak terlebih dahulu.

Gejala
Gejalanya biasanya setelah 18-96 jam makan toksin dengan keluhan penglihatan karena otot mata yang tidak ada koordinasi. Sulit menelan, sulit bicara.  kematian biasanya karena paralisis otot pernafasan atau kelumpuhan jantung (cardiac arrest).  Angka kematian botulismus adalah tinggi.
Pada botulisme bayi, organisme yang masuk melalui makanan memproduksi toksin di usus bayi sehingga bayi mengalami badan lemah, tidak dapat buang air besar dan lumpuh.  Organisme biasanya masuk melalui madu yang mengandung spora Clostridium botulinum.


Diagnosis
Biasanya dengan cara mendeteksi toksin di dalam sisa makanan, dan tidak dalam serum penderita.  Dapat dideteksi dengan cara reaksi netralisasi antigen-antibodi atau secara aglutinasi sel darah merah yang dilapisi dengan antiserum, atau dengan percobaan pada mencit yang disuntik bahan tersangka.  Kultur biasanya tidak dilakukan.
Cara utama untuk memperkuat diagnosis botulisme di laboratorium ialah menunjukkan adanya toksin botulisme dalam serum atau tinja penderita atau pada makanan yang dimakan.  Suntikan intraperitoneal (dalam perut) serum atau ekstrak cairan tinja penderita atau makanan tersebut pada mencit akan mengakibatkan kematian pada hewan tersebut, karena mencit sangat peka terhadap toksin ini. Juga specimen tinja dan makanan itu harus dikulturkan untuk mengisolasi organisme tersebut.

Pengobatan
Dengan pemberian antitoksin polivalen (tipe A, B, dan C) yang disuntikkan I.V. dan secara simptomatik terutama untuk pernafasan (pernafasan buatan). Pengobatan
Bila terjadi kelumpuhan pada pernafasan dapat dilakukan trakeomi  (bedah batang tenggorokan) dan diberikan pernafasan buatan.

     
Kehilangan control otot mata karena botulisme
Risus sardonicus
Opistotonus pada bayi



Pencegahan
Makanan yang diawetkan di rumah harus dimasak secara baik sehingga dapat membunuh spora dan makanan harus dimasak sebelum dimakan.  Makanan rumah yang harus diperhatikan adalah: kacang-kacangan, jagung, ikan asap atau ikan segar dalam plastik Makanan yang mengandung toksin tidak selalu kelihatan atau menimbulkan bau yang berbeda dari makan yang tidak tercemar
.

BAB III
PENUTUP

III.1 Kesimpulan
  Bakteri patogen adalah bakteri yang dapat menimbulkan penyakit kepada manusia. Diantaranya disebabkan oleh bakteri  Neisseria gonorrhoeae, Treponema pallidum, Leptospira interoogans, Gardnerella vaginalis  yang menyerang saluran urogenital.  Beberapa yang lain menyerang sistem saraf, seperti Neisseria meningitides, Listeria monocytogenes, Mycobacterium leprae, Clostridium tetani, Clostridium botulinum. Gardnerella vaginalis yang menggantikan Lactobacillus sp sebagai bakteri penyebab suasana asam menjadi suasana basa, Neisseria gonorrhoeae biasa menyerang organ kelamin pria ataupun wanita. Hampir sebagian penyakit yang disebabkan oleh bakteri tersebut merupakan penyakit yang sering diderita oleh masyarakat, terutama bakteri yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan dan minuman yang dikonsumsi oleh manusia.

III.2  Saran
Kita harus waspada terhadap bakteri patogen karena bakteri ini ada dimana-mana dan dapat menyebabkan penyakit yang fatal bagi tubuh kita. Kita harus mengenali gejala infeksi serta jalur infeksi daripada bakteri-bakteri patogen. Dengan begitu, kita dapat mencegah dan bertindak cepat dan tepat jika ada yang terkena infeksi bakteri patogen seperti   Neisseria gonorrhoeae, Treponema pallidum, Leptospira interoogans, Gardnerella vaginalis  yang menyerang saluran urogenital.  Beberapa yang lain menyerang sistem saraf, seperti Neisseria meningitides, Listeria monocytogenes, Mycobacterium leprae, Clostridium tetani, Clostridium botulinum.





DAFTAR PUSTAKA

  • Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1993. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Binarupa Aksara.
  • Pelczar dan Chan. 1988. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
  • Rahma SN, Adriani A, Tabri F. Vaginosis bacterial. In : Amiruddin MD. editor. Penyakit menular seksual. Makassar: Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
  • Daili SF, Makes WIB, Zubier F, Judanarso J. Vaginosis Bakterial. In: Maskur Z. editor. Penyakit menular seksual. Edisi kedua. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ; 2003.p. 79-84.
  • Cole DJ, Hill VR, Humenik FJ: Health, safety, and environmental concerns of
farm animal waste. Occup Med 1999 Apr-Jun; 14(2): 423-48
  • Doudier B, Garcia S, Quennee V: Prognostic factors associated with severe
leptospirosis. Clin Microbiol Infect 2006 Apr; 12(4): 299-300.


Share this games :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar yang sopan