- Teriakan Orientalis tentang Zainab bt. Jahsy - Zainab menurut gambaran kaum Orientalis - - Orang-orang besar tidak tunduk kepada undang-undang - - Penggambaran Orientalis yang keliru - - Sampai usia 50 tahun hanya beristerikan Khadijah - - Hanya Khadijah yang membawa keturunan - Perkawinan Sauda bt. Zam’a - - Penelitian sejarah dan kesimpulannya Cerita Zainab bt. Jahsy - - Kekeluargaan Muhammad dengan Zainab - - Melamarnya untuk Zaid dan penolakan Zainab - - Terpaksa menerima - Zaid mengadukan Zainab dan perceraian - - Hukum pengaduan dalam Islam - Bagaimana Muhammad kawin dengan Zainab - - Bagaimana pendapat kaum Orientalis tentang cerita Zainab bt. Jahsy - - Muhammad menjunjung tinggi kedudukan wanita - |
SEMENTARA peristiwa-peristiwa dalam dua bagian di atas itu terjadi, Muhammad kawin dengan Zainab bt. Khuzaima, kemudian kawin dengan Umm Salama bt. Abi Umayya bin’l-Mughira, selanjutnya kawin lagi dengan Zainab bt. Jahsy setelah dicerai oleh Zaid b. Haritha. Zaid inilah yang telah diangkat sebagai anak oleh Muhammad setelah dibebaskan sebagai budak sejak ia dibelikan oleh Yasar untuk Khadijah. Di sinilah kaum Orientalis dan misi-misi penginjil itu kemudian berteriak keras-keras: Lihat! Muhammad sudah berubah. Tadinya, ketika ia masih di Mekah sebagai pengajar yang hidup sederhana, yang dapat menahan diri dan mengajarkan tauhid, sangat menjauhi nafsu hidup duniawi, sekarang ia sudah menjadi orang yang diburu syahwat, air liurnya mengalir bila melihat wanita. Tidak cukup tiga orang isteri saja dalam rumah, bahkan ia kawin lagi dengan tiga orang wanita seperti yang disebutkan di atas. Sesudah itu mengawini tiga orang wanita lagi, selain Raihana. Tidak cukup kawin dengan wanita-wanita yang tidak bersuami, bahkan ia jatuh cinta kepada Zainab bt. Jahsy yang masih terikat sebagai isteri Zaid b. Haritha bekas budaknya. Soalnya tidak lain karena ia pernah singgah di rumah Zaid ketika ia sedang tidak ada di tempat itu, lalu ia disambut oleh Zainab. Tatkala itu ia sedang mengenakan pakaian yang memperlihatkan kecantikannya, dan kecantikan ini sangat mempengaruhi hatinya. Waktu itu ia berkata “Maha suci Ia yang telah dapat membalikkan hati manusia!” Kata-kata ini diulanginya lagi ketika ia meninggalkan tempat itu. Zainab mendengar kata-kata itu dan ia melihat api cinta itu bersinar dari matanya. Zainab merasa bangga terhadap dirinya dan apa yang didengarnya itu diberitahukannya kepada Zaid. Langsung waktu itu juga Zaid menemui Nabi dan mengatakan bahwa ia bersedia menceraikannya. Lalu kata Nabi kepadanya:
“Jaga baik-baik isterimu, jangan diceraikan. Hendaklah engkau takut kepada Allah.”
Tetapi pergaulan Zainab dengan Zaid sudah tidak baik iagi. Kemudian ia dicerai. Muhammad menahan diri tidak segera mengawininya sekalipun hatinya gelisah. Ketika itu firman Tuhan datang:
“Ingat, tatkala engkau berkata kepada orang yang telah diberi karunia oleh Allah dan engkau pun telah pula berbudi kepadanya: Jagalah baik-baik isterimu. Hendaklah engkau takut kepada Allah. Dan engkau menyembunyikan sesuatu di dalam hatimu apa yang oleh Tuhan sudah diterangkan. Engkau takut kepada manusia, padahal seharusnya Allah yang lebih patut kautakuti. Maka setelah Zaid meluluskan kehendak wanita itu, Kami kawinkan dia dengan engkau, supaya kelak tidak menjadi alangan bagi orang-orang beriman kawin dengan (bekas) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, bilamana kehendak mereka (wanita-wanita) itu sudah diluluskan. Perintah Allah itu mesti dilaksanakan.” (Qur’an, 33:37)
Ketika itulah wanita itu dikawininya. Dengan perkawinan ini semarak cinta berahi dan api asmaranya yang menyala-nyala dapat dipadamkan. Nabi apa itu!? Bagaimana ia membenarkan hal itu buat dirinya sedang buat orang lain tidak?! Bagaimana ia tidak tunduk kepada undang-undang yang katanya diturunkan Tuhan kepadanya?! Bagaimana pula “harem” ini diciptakan, yang mengingatkan orang pada raja-raja yang hidup mewah-mewah, bukan pada para nabi yang saleh dan memperbaiki kehidupan umat?! Selanjutnya bagaimana pula ia menyerah kepada kekuasaan cinta dalam hubungannya dengan Zainab sehingga ia menghubungi Zaid bekas budaknya supaya menceraikannya, kemudian ia tampil mengawininya! Hal semacam ini pada zaman jahiliah dilarang, tapi nabinya orang Islam ini membolehkan, karena mau menuruti kehendak nafsunya, mau memenuhi dorongan cintanya.
Bilamana kaum Orientalis dan para misi penginjil bicara mengenai masalah ini dalam sejarah Muhammad, maka mereka membiarkan khayal mereka itu bebas tak terkendalikan lagi; sehingga ada diantara mereka itu yang menggambarkan Zainab - ketika terlihat oleh Nabi - dalam keadaan setengah telanjang atau hampir telanjang, dengan rambutnya yang hitam panjang lepas terurai sampai menjamah tubuhnya yang lembut gemulai, yang akan dapat menterjemahkan segala arti cinta berahi. Yang lain lagi menyebutkan, bahwa ketika ia membuka pintu rumah Zaid, angin menghembus menguakkan tabir kamar Zainab. Ketika itu ia sedang telentang di tempat tidur dengan mengenakan baju tidur. Pemandangan ini sangat menggetarkan jantung laki-laki yang gila perempuan dengan kecantikannya itu. Ia menyembunyikan perasaan hatinya meskipun sebenarnya ia tidak dapat tahan lama demikian!
Gambaran yang diciptakan oleh khayal demikian itu banyak sekali. Akan kita jumpai ini dalam karya-karya Muir, Dermenghem, Washington Irving, Lammens dan yang lain, baik mereka ini para Orientalis atau misi-misi penginjil. Dan yang sungguh disayangkan lagi karena dalam membuat cerita-cerita itu, semua mereka memang mengambil sumbernya dari kitab-kitab sejarah Nabi dan tidak sedikit pula dari hadis. Kemudian dengan apa yang mereka gambarkan itu, mereka membangun istana-istana gading dari khayal mereka sendiri tentang Muhammad serta hubungannya dengan wanita. Alasan mereka ialah karena isterinya banyak, yang sampai sembilan orang menurut pendapat yang lebih tepat, atau lebih dari itu menurut sumber-sumber lain.
Sebenarnya dapat saja kita membantah semua kata-kata mereka itu dengan ucapan: Anggaplah semua itu benar, tetapi dengan itu apa pula kiranya yang akan dapat mendiskreditkan kebesaran Muhammad atau kenabian dan kerasulannya. Undang-undang yang biasanya berlaku pada umum, tidak mempan terhadap orang-orang besar, lebih-lebih terhadap para rasul dan nabi. Bukankah ketika Musa a.s. melihat perselisihan dua orang, yang seorang dari golongannya sendiri, dan yang seorang lagi dari pihak musuhnya, ditinjunya orang yang dari pihak musuh itu hingga menemui ajalnya, padahal pembunuhan demikian itu dilarang, baik dalam perang atau pun setengah perang? Ini berarti melanggar undang-undang. Jadi Musa tidak tunduk kepada undang-undang, tapi juga tidak berarti ini dapat mendiskreditkan kenabian atau kerasulannya, bahkan mengurangi kebesarannyapun juga tidak. Dan dalam hal Isa, dalam menyalahi undang-undang lebih besar lagi dari masalah Muhammad, dari para nabi dan para rasul semuanya. Dan soalnya tidak hanya terbatas pada besarnya kekuatan dan keinginan saja, bahkan kelahiran dan kehidupannya pun sudah melanggar undang-undang dan kodrat alam. Di hadapan ibunya malaikat muncul sebagai manusia yang sempurna, yang akan mengantarkan seorang anak yang suci bersih kepadanya. Wanita itu keheranan, sambil berkata: “Bagaimana aku akan beroleh seorang putera, padahal aku belum disentuh seorang manusia, juga aku bukan seorang pelacur.” Malaikat berkata, bahwa Tuhan menghendaki supaya ia menjadi pertanda bagi umat manusia.
Setelah terasa sakit hendak melahirkan, ia berkata: “Aduhai, coba sebelum ini aku mati saja, maka aku akan hilang dilupakan orang.” Lalu datang suara memanggilnya dari bawah:
“Jangan berdukacita, Tuhan telah mengalirkan sebatang anak sungai di bawahmu.” Dibawanya anak itu kepada keluarganya. Mereka pun berkata: “Maryam, engkau datang membawa masalah besar. Dalam buaiannya itu (usia semuda itu) Isa berkata kepada mereka: “Aku adalah hamba Allah É” dan seterusnya.
Betapapun orang-orang Yahudi menolak semua ini, dan oleh mereka Isa dinasabkan kepada Yusuf an-Najjar (Yusuf anak Heli), sebagian sarjana semacam Renan sampai sekarang pun memang menganggapnya demikian. Kebesaran Isa, kenabiannya dan kerasulannya serta penyimpangannya dari hukum dan kodrat alam adalah suatu pertanda mujizat Tuhan kepadanya. Tapi anehnya, misi-misi penginjil Kristen itu minta orang supaya percaya kepada hal-hal yang di luar hukum alam mengenai diri Yesus, sementara mengenai diri Muhammad mereka sudah menjatuhkan hukuman sendiri. Padahal apa yang dilakukannya tidak seberapa dan tidak lebih karena Muhammad memang terlalu tinggi untuk dapat tunduk kepada undang-undang masyarakat yang berlaku terhadap setiap orang besar, terhadap raja-raja, kepala-kepala negara yang pada umumnya sudah didahului oleh undang-undang dasar sehingga membuat mereka tak dapat diganggu-gugat.
Sebenarnya dapat saja kita membantah semua kata-kata mereka itu dengan jawaban yang sudah tentu akan menjatuhkan semua argumen misi-misi penginjil dan orang-orang Orientalis yang juga mau ikut cara-cara mereka itu. Tetapi dalam hal ini kita lalu memperkosa sejarah dan memperkosa kebesaran Muhammad dan kerasulannya. Dia bukanlah orang seperti yang mereka gambarkan: orang yang pikirannya dipengaruhi oleh hawa nafsu. Tak ada isterinya itu yang dikawininya hanya karena ia terdorong oleh syahwat atau nafsu berahi saja. Kalaupun ada beberapa penulis Muslim pada zaman-zaman tertentu dengan sesuka hati berkata demikian dan mengemukakan alasan itu kepada lawan-lawan Islam dengan niat baik, soalnya ialah karena tradisi yang berlaku telah membawa mereka kepada pengertian materi. Mereka ingin menggambarkan Muhammad itu besar dalam segalanya, juga besar dalam kehidupan hawa nafsu. Sudah tentu ini suatu penggambaran yang salah sama sekali. Sejarah hidup Muhammad sama sekali tak dapat menerima ini, dan seluruh hidup pribadinya pun dengan sendirinya sudah menolak.
Ia kawin dengan Khadijah dalam usia duapuluh tiga tahun, usia muda-remaja, dengan perawakan yang indah dan paras muka yang begitu tampan, gagah dan tegap. Namun sungguhpun begitu Khadijah adalah tetap isteri satu-satunya, selama duapuluh delapan tahun, sampai melampaui usia limapuluhan. Padahal masalah poligami ialah masalah yang umum sekali di kalangan masyarakat Arab waktu itu. Di samping itu Muhammad pun bebas kawin dengan Khadijah atau dengan yang lain, dalam hal ia dengan isterinya tidak beroleh anak laki-laki yang hidup, sedang anak perempuan pada waktu itu dikubur hidup-hidup dan yang dapat dianggap sebagai keturunan pengganti hanyalah anak laki-laki.
Catatan kaki:
1 Shalat’l-khauf, harfiah salat ketakutan, yakni sembahyang darurat dalam keadaan bahaya. Syarat-syarat dan ketentuan-ketentuannya terdapat dalam buku-buku fikih (A).
1 Shalat’l-khauf, harfiah salat ketakutan, yakni sembahyang darurat dalam keadaan bahaya. Syarat-syarat dan ketentuan-ketentuannya terdapat dalam buku-buku fikih (A).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar yang sopan