Usaha

 photo cooltext934587768.png
Home » » HUNAIN DAN TA’IF

HUNAIN DAN TA’IF


- Malik b. ‘Auf menghasut Hawazin dan Thaqif - Bertahan di selat Lembah Hunain -
- Muslimin berangkat ke Hunain - Memasuki selat Lembah di pagi buta -
- Serangan Hawazin dan Thaqif, mundur dalam kekalahan - 
- Keteguhan hati Muhammad menghadapi maut - Teriakan Abbas supaya Muslimin kembali - - Kembali kepada Rasulullah, pertempuran dan kemenangan - Rampasan perang -
-  Perjalanan ke Ta’if - Pengepungan dan menghindari pertempuran - Kebun dibakar -
- Permohonan Nabi untuk tidak melakukan itu - Kembali dan pengepungan -
- Hawazin menerima Islam - Cerita Syaima’ - 
- Kembali ke Ji’rana dan pembagian rampasan perang - ‘Umrah - Kembali ke Medinah -


DENGAN perasaan gembira karena kemenangan yang telah diberikan Tuhan, kaum Muslimin masih tinggal di Mekah setelah kota itu dibebaskan. Mereka sangat bersenang hati sekali karena kemenangan besar ini tidak banyak minta kurban. Setiap terdengar suara Bilal mengucapkan azan sembahyang, cepat-cepat mereka pergi ke Mesjid Suci, berebut-rebutan di sekitar Rasulullah, dimana saja ia berada dan ke mana saja ia pergi.

Kaum Muhajirin pun sekarang dapat pulang, dapat berhubungan dengan keluarga mereka, yang kini telah mendapat petunjuk Tuhan. Hati mereka pun sudah yakin bahwa keadaan Islam sudah mulai stabil, dan bahwa perjuangan sebagian besar sudah membawa kemenangan. Akan tetapi limabelas hari kemudian setelah mereka tinggal di Mekah itu, tiba-tiba tersiar berita yang membuat mereka harus segera sadar kembali. Soalnya ialah, Kabilah Hawazin yang tinggal di pegunungan tidak jauh di sebelah timur-laut Mekah, setelah melihat kemenangan Muslimin yang telah membebaskan Mekah dan menghancurkan berhala-berhala, mereka pun kuatir akan mendapat giliran; pihak Muslimin akan juga menyerbu daerah mereka. Terpikir oleh mereka apa yang harus mereka lakukan dalam mencegah bencana yang akan menimpa mereka itu. dan membendung Muhammad serta mencegah arus kaum Muslimin yang akan menghilangkan kemerdekaan kabilah-kabilah itu di seluruh jazirah bila mereka semua digabungkan kedalam suatu kesatuan di bawah naungan Islam.

Untuk itu Malik b. ‘Auf dari Banu Nashr sekarang berusaha mengumpulkan kabilah-kabilah Hawazin dan Thaqif, demikian juga kabilah-kabilah Nashr dan Jusyam. Dari pihak Hawazin semua ikut, kecuali Ka’b dan Kilab. Sedang dari pihak Jusyam ada orang yang bernama Duraid bin’sh-Shimma, orang yang sudah berusia lanjut dan sudah tidak berguna buat ikut berperang, tetapi sebagai orang yang sudah bertahun-tahun punya pengalaman dalam perang, pendapatnya sangat diperlukan. Kabilah-kabilah itu semua berkumpul, membawa serta harta-benda, wanita dan anak-anak mereka. Mereka menuju dataran Autas. Bilamana dengusan unta, keledai yang melengking, tangisan anak dan kambing yang mengembik-embik sampai ke telinga Duraid, ia bertanya kepada Malik b. ‘Auf:

“Kenapa semua harta-benda, wanita dan anak-anak itu ikut serta dalam peperangan?”

Malik menjawab bahwa hal itu dilakukan guna memberi semangat kepada angkatan perangnya.

“Kalau kalian akan mengalami kekalahan mungkinkah hal ini bisa mencegahnya?” kata Duraid lagi. “Kalau harus menang juga, maka yang penting hanyalah laki-laki dengan pedang dan panahnya; sebaliknya kalau kamu harus mengalami kekalahan, keluarga dan hartamu hanya akan membawa bencana.”

Dengan Malik ia berselisih pendapat. Tetapi orang banyak ikut Malik. Dia seorang pemuda berusia tigapuluh tahun, bersemangat dan punya kemauan keras. Sekalipun sudah berpengalaman dalam perang, sekali ini Duraid menyerah kepada pendapat mereka.

Sekarang Malik memerintahkan supaya orang berangkat ke puncak gunung dan ke selat Lembah Hunain. Bilamana nanti kaum Muslimin turun ke lembah itu, maka hendaklah mereka diserang, sehingga dengan serangan satu orang saja barisan mereka akan sudah jadi lemah, mereka akan kucar-kacir, akan saling menghantami sesama mereka. Dengan demikian mereka akan hancur, pengaruh kemenangan mereka ketika membebaskan Mekah sudah takkan berarti lagi. Yang ada nanti hanya kemenangan kabilah-kabilah Hunain itu saja di seluruh jazirah Arab, suatu kemenangan yang akan dapat dibanggakan dalam menghadapi kekuatan yang kini menguasai tanah Arab itu. Perintah Malik ditaati oleh kabilah-kabilah dan mereka membuat pertahanan di selat wadi itu.

Pihak Muslimin sendiri setelah dua minggu tinggal di Mekah, dalam persiapan senjata dan tenaga yang belum pernah mereka alami sebelum itu, dengan pimpinan Muhammad mereka berangkat pula cepat-cepat. Mereka bergerak dalam jumlah duabelas ribu orang. Sepuluh ribu terdiri dari mereka yang telah menyerbu dan membebaskan Mekah dan yang dua ribu lagi terdiri dari orang-orang Quraisy yang sudah Islam - di antaranya Abu Sufyan b. Harb. Mereka semua mengenakan pakaian berlapis besi didahului oleh pasukan berkuda dan unta yang membawa perlengkapan dan bahan makanan. Keberangkatan Muslimin dengan pasukan demikian ini, sebenarnya memang belum pernah dikenal di seluruh jazirah. Setiap kabilah didahului oleh panjinya masing-masing, tampil kedepan dengan hati bangga karena jumlah yang begitu besar, yang tidak akan dapat dikalahkan. Sampai-sampai antara mereka satu sama lain ada yang berkata: Karena jumlah kita yang besar ini sekarang kita takkan dapat dikalahkan.

Menjelang sore hari itu mereka sudah sampai di Hunain. Di pintu-pintu masuk wadi itu mereka berhenti dan tinggal di sana sampai waktu fajar keesokan harinya. Ketika itulah pasukan mulai bergerak lagi. Muhammad mengikuti dari belakang dengan menunggang bagalnya yang putih. Sementara Khalid bin’lWalid yang memimpin Banu Sulaim berada di depan. Dari selat Hunain itu mereka menyusur ke sebuah wadi di Tihama. Akan tetapi sementara mereka sedang menuruni lembah itu, tiba-tiba datanglah serangan mendadak secara bertubi-tubi dari pihak kabilah-kabilah dengan komando Malik b. ‘Auf. Sementara masih dalam keadaan remang-remang subuh itu mereka telah dihujani panah oleh pihak Malik. Ketika itulah keadaan Muslimin jadi kacau-balau. Dalam keadaan terpukul demikian itu mereka berbalik surut dengan membawa perasaan takut dan gentar dalam hati, dan ada pula yang lari sekuat-kuatnya. Dalam hal ini, dengan senyum gembira di bibir - Abu Sufyan yang sekarang melihat kegagalan orang-orang yang kemarin telah dapat mengalahkan Quraisy itu - berkata “Mereka takkan berhenti lari sebelum sampai ke laut.”

Begitu juga Syaiba b. ‘Uthman b. Abi Talha berkata: “Sekarang aku dapat membalas Muhammad.” Berkata begitu, karena bapanya telah terbunuh dalam perang Uhud.

Ketika Kalada b. Hanbal berkata: “Ya, sihirnya sekarang sudah tidak mempan,” dibalas oleh Shafwan saudaranya sendiri: “Diam kau! Sungguh aku lebih suka di bawah orang Quraisy daripada di bawah Hawazin.”

Percakapan demikian itu terjadi sementara keadaan pasukan perang sedang kucar-kacir. Dalam pada itu, kabilah-kabilah yang sedang mengalami kekalahan itu satu demi satu berlarian di hadapan Nabi yang berada di belakang - tanpa melihat ke kanan kiri lagi.

Apa kiranya yang diperbuatnya? Mungkinkah pengorbanan yang duapuluh tahun itu akan hilang dalam sekejap mata begitu saja pada pagi buta itu? Ataukah Tuhan sudah menjauhinya dan sudah tidak lagi memberikan pertolongan? Tidak! Tidak! Ini tidak mungkin! Sebelum itu, sudah ada bangsa-bangsa yang sudah punah, golongan-golongan yang sudah tak ada lagi. Sebelum itu pun Muhammad sudah biasa bergumul dengan maut, dan kalau-kalau dalam mati membela agama Allah itu kemenangan akan ada. Dan apabila ajal itu sudah datang tidak akan dapat sedetik pun ditunda atau dimajukan.

Muhammad tetap tabah tiada bergerak di tempatnya. Beberapa orang dari kalangan Muhajirin, Anshar serta kerabat-kerabatnya tetap berada di sekelilingnya.

Dalam pada itu dipanggilnya orang-orang yang melarikan diri lewat di hadapannya itu seraya katanya: “Hai orang-orang! Kamu mau ke mana? Mau ke mana?”

Tetapi, orang-orang yang sudah penuh ketakutan itu sudah tidak mendengar apa-apa lagi. Yang tergambar dalam mata mereka hanya Hawazin dan Thaqif yang kini sedang meluncur turun dari perkubuan di puncak-puncak gunung mengejar mereka. Dan gambaran mereka itu tidak salah. Pihak Hawazin sudah mulai turun dari tempat semula, didahului oleh seseorang di atas seekor unta berwarna merah, dan membawa sebuah bendera hitam yang dipancangkan pada sebilah tombak panjang. Setiap ia bertemu dengan pihak Muslimin ditetakkannya tombak itu kepada mereka, sementara pihak Hawazin, Thaqif dan sekutu-sekutunya terus meluncur turun dari belakang sambil terus menghantam.

Semangat baru timbul dalam hati Muhammad. Dengan bagalnya yang putih itu ia ingin menerjang sendiri ke tengah-tengah musuh yang sedang meluap-luap seperti banjir itu. Sesudah itu terserah kepada Tuhan. Akan tetapi Abu Sufyan b. Harith b. ‘Abd’l-Muttalib segera menahan kekang bagal itu dan dimintanya jangan dulu maju.

Abbas b. ‘Abd’l-Muttalib seorang laki-laki yang berperawakan besar dan lantang sekali suaranya. Ia berseru yang kira-kira akan dapat didengar oleh semua orang dari segenap penjuru:
“Saudara-saudara dari kalangan Anshar yang telah memberikan tempat dan pertolongan! Saudara-saudara dari Muhajirin yang telah memberikan ikrar di bawah pohon! Marilah saudara-saudara, Muhammad masih hidup!”

Seruan demikian itu diulang-ulangnya oleh Abbas, sehingga suaranya bersipongang dan bergema ke segenap penjuru wadi. Disinilah adanya mujizat itu: Orang-orang ‘Aqaba mendengar nama ‘Aqaba, teringat oleh mereka Muhammad, teringat akan janji dan kehormatan diri mereka. Demikian juga orang-orang Muhajirin, begitu mendengar nama Muhajirin, teringat oleh mereka akan pengorbanan mereka selama ini, teringat akan kehormatan diri mereka. Mereka itu sudah mendengar dan mengetahui tentang ketenangan dan ketabahan hati Muhammad, disamping sejumlah kecil orang-orang Muhajirin dan Anshar, yang sama tabahnya seperti ketika Perang Uhud dulu - dalam menghadapi musuh yang begitu besar. Dalam hati mereka kini terbayang betapa akibatnya kemenangan orang-orang musyrik itu terhadap agama Allah kelak sekiranya mereka ini sekarang gagal.

Seruan Abbas yang selama itu masih tetap berkemandang dalam telinga, hati mereka sekaligus tersentak karenanya. Ketika itulah mereka saling menyambut dari segenap penjuru:
“Labbaika,1 Labbaika! “

Mereka-semua kini kembali, dan bertempur lagi secara heroik sekali.

Pihak Hawazin yang sudah menyusur turun dari tempatnya semula, sekarang sudah berhadapan muka dengan Muslimin dalam lembah itu. Sinar siang sudah mulai tampak dan remang pagi dengan sendirinya menghilang. Di sarnping Rasulullah sekarang sudah berkumpul beberapa ratus orang siap akan berhadapan dengan kabilah-kabilah itu. Jumlah mereka ini bertambah juga. Dan dengan kembalinya mereka itu, semangat yang tadinya sudah lemah kini kembali berkobar-kobar. Pihak Anshar sendiri berteriak: “Hai Anshar!” Lalu mereka saling memanggil-manggil:
“Hai Khazraj!”

Perasaan lega mulai terasa oleh Muhammad tatkala dilihatnya mereka kini kembali lagi.

Sementara Muhammad menyaksikan pertempuran itu berkobar dengan pertarungan yang semakin sengit dan melihat moril anak buahnya makin tinggi dalam memukul lawan, ia berkata: “Sekarang pertempuran benar-benar berkobar. Tuhan tidak menyalahi janji kepada RasulNya.”

Kepada Abbas dimintanya segenggam batu kerikil dan kemudian kerikil itu dilemparkannya ke muka musuh seraya katanya: “Wajah-wajah yang buruk!” Dan terjunlah kaum Muslimin itu ke tengah-tengah gelanggang dengan tidak lagi menghiraukan maut demi di jalan Allah. Mereka percaya, bahwa kemenangan pasti datang dan barang siapa gugur ia akan mendapat kemenangan yang lebih besar lagi daripada hidup. Perjuangan ketika itu hebat sekali. Baik Hawazin maupun Thaqif dan pengikut-pengikutnya, begitu melihat bahwa setiap perlawanan ternyata tidak berhasil, bahkan mereka sendiri terancam akan habis samasekali, cepat-cepat mereka lari dalamkeadaan berantakan tanpa melihat ke kanan-kiri lagi, dengan meninggalkan wanita-wanita dan anak-anak mereka sebagai rampasan perang di tangan kaum Muslimin, yang ketika itu dihitung sebanyak 22.000 ekor unta, 40.000 kambing dan 4.000 ‘uqiya2 perak. Sedang tawanan perang yang terdiri dari 6.000 orang itu telah dipindahkan dengan pengawalan ke Wadi Ji’rana. Mereka ditempatkan disana sementara menunggu Muslimin kembali dan mengejar sisa-sisa musuh serta sekaligus mengepung pihak Thaqif di Ta’if.

Muslimin meneruskan pengejarannya terhadap musuh mereka itu. Lebih tertarik lagi mereka mengadakan pengejaran itu karena Rasul mengumumkan, bahwa barang siapa dapat menyerbu orang musyrik, maka ia boleh merampasnya. Ketika itu Rabi’a bin’d-Dughunna telah dapat mengejar seekor unta yang membawa pelangkin, yang diduganya berisi wanita; ia pun ingin merampasnya. Unta itu berlutut dan ternyata isinya seorang laki-laki tua yang oleh pemuda itu tidak dikenalnya, yaitu Duraid bin’sh-Shimma. Kepada Rabi’a itu Duraid bertanya: Mau diapakan dirinya. “Akan kubunuh kau,” jawabnya, sambil mengayunkan pedang. Tetapi tidak berhasil.

“Jahat sekali ibumu mempersenjataimu!” kata Duraid. “Ambillah pedangku di belakang itu dan pukulkan. Keluarkan tulang dan otaknya. Begitulah aku menghantam orang dengan pedang itu. Dan kalau kau sudah pulang, katakan kepada ibumu bahwa engkau telah membunuh Duraid bin’sh-Shimma. Sudah sering sekali aku melindungi wanita-wanitamu.”

Sesampainya di rumah, oleh Rabi’a hal itu diceritakan kepada ibunya.

“Dasar tangan celaka kau,” kata ibunya. “Dia mengatakan itu hanya akan mengingatkan kita akan jasa-jasanya kepada engkau. Dia telah memerdekakan tiga orang ibu pada suatu pagi: Yaitu aku, ibuku dan ibu ayahmu.”

Pengejaran terhadap pihak Hawazin oleh pihak Muslimin diteruskan sampai di Autas. Di tempat ini mereka digempur dam dihancurkan samasekali. Kaum wanita dan barang-barang mereka dirampas lalu dibawa kepada Muhammad. Malik b. ‘Auf hanya sebentar saja bertahan kemudian ia pun lari, dia bersama-sama dengan kabilahnya dan golongan Hawazin, dan di Nakhla ia berpisah dengan mereka. Ia memutar haluan ke Ta’if dan di tempat ini ia berlindung.

Dengan demikian nyatalah sudah kemenangan orang-orang beriman itu dan nyata pula kehancuran total orang-orang musyrik, setelah remang-remang subuh itu pihak Muslimin dalam keadaan terancam, mendapat serangan serentak sehingga mereka menjadi kacau-balau. Kemenangan Muslimin yang sangat menentukan itu ialah karena ketabahan Muhammad dan sejumlah kecil orang-orang di sekelilingnya. Dalam hal inilah firman Tuhan turun:

“Tuhan telah menolong kamu pada beberapa tempat dan dalam Perang Hunain, tatkala kamu merasa bangga sekali karena jumlah kamu yang besar. Tetapi ternyata jumlah yang besar itu sedikit pun tidak menolong kamu, dan bumi yang seluas ini pun terasa amat sempit buat kamu, lalu kamu berbalik mundur. Sesudah itu Tuhan menurunkan perasaan tenang kepada Rasul dan kepada orang-orang beriman serta diturunkanNya pula balatentara yang tidak kamu lihat, dan disiksanya orang-orang kafir itu, dan memang itulah balasan buat orang-orang kafir. Sesudah itu kemudian Allah menerima taubat barangsiapa yang dikehendakiNya, Allah Maha Pengampun dan Penyayang. Orang-orang beriman! Ingatlah, orang-orang musyrik itu kotor. Sebab itu sesudah ini, janganlah mereka memasuki Mesjid Suci, dan kalau kamu kuatir menjadi miskin, maka Tuhan dengan kurniaNya akan memberikan kekayaan kepada kamu, jika dikehendaki. Sesungguhnya Tuhan Maha tahu dan Bijaksana.” (Qur’an, 9: 25-28)

Akan tetapi kemenangan ini tidak diperoleh dengan harga murah oleh kaum Muslimin. Mereka membayarnya dengan harga yang cukup mahal. Mungkin ini tidak akan mereka lakukan, kalau tidak karena pada mulanya mereka telah mengalami kegagalan lari dalam kekalahan, sehingga seperti dikatakan oleh Abu Sufyan “Mereka takkan berhenti lari sebelum mencapai laut.” Mereka membayar harga mahal itu dengan jiwa orang-orang penting dengan pahlawan-pahlawan yang gugur dalam pertempuran itu, meskipun jumlah semua kurban tidak disebutkan dalam buku-buku biografi Nabi. Seperti sudah disebutkan, bahwa dua kabilah Muslimin hampir habis binasa, dan Nabi telah mendoakan semoga Tuhan memasukkan arwah mereka ke dalam surga. Tetapi bagaimana pun juga nyatanya ia telah mendapat kemenangan: kemenangan total yang diperoleh Muslimin terhadap lawan mereka, disertai rampasan dan tawanan perang, yang sebelum itu tidak pernah mereka alami. Kemenangan adalah segalanya dalam suatu pertempuran, betapa pun besarnya harga yang harus dibayar, selama itu merupakan suatu kemenangan terhormat. Dengan demikian Muslimin merasa gembira sekali akan kurnia yang telah diberikan Tuhan itu. Mereka tinggal menunggu pembagian rampasan perang dan dengan itu mereka kembali pulang. Akan tetapi Muhammad menginginkan suatu kemenangan yang lebih cemerlang lagi. Kalau Malik b. ‘Auf yang telah mengerahkan orang-orang, kemudian setelah mengalami kekalahan ia sendiri mencari perlindungan pada pihak Thaqif di Ta’if, maka pihak Muslimin sekarang hendaknya dapat mengepung Ta’if lebih ketat lagi. Begitu itulah cara dalam Khaibar setelah perang Uhud, dan terhadap Quraiza setelah Khandaq. Mungkin suasana ini mengingatkan dia ketika beberapa tahun sebelum Hijrah ia pergi ke Ta’if, menganjurkan Islam kepada penduduk kota itu. Tetapi dia malah dicemooh, dan anak-anak melemparinya dengan batu, sehingga terpaksa ia berlindung pada sebuah kebun anggur. Juga mungkin ia teringat betapa benar ia berangkat seorang diri ketika itu, dalam keadaan sangat lemah, tiada daya upaya selain Tuhan, selain iman yang besar yang telah memenuhi dadanya, iman yang telah dapat meruntuhkan gunung. Sekarang, sekarang ia berangkat menuju Ta’if dengan sebuah rombongan Muslimin, dengan suatu jumlah yang belum pernah disaksikan sepanjang sejarah jazirah itu.
Catatan kaki:
1 Harfiah, ‘kupenuhi panggilanmu’, yakni aku siap (A).

2 ‘Uqiya. ‘Dahulu kala sama dengan 40 dirham (drakhma) dan di luar hadis sama dengan setengah 1/6 rati, yakni 1/12 bagian, dan ini tergantung kepada istilah negeri masing-masing’ (N). Pada umumnya ‘uqiya sekarang ditaksir sekitar 30 gram (A).
Share this games :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar yang sopan